KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah diperkirakan akan tertahan di kisaran USD70 (Rp1.120.000) per barel pada 2025. Permintaan yang lemah dari China, ditambah dengan peningkatan pasokan global, diprediksi akan membayangi upaya OPEC+ untuk menstabilkan pasar, menurut survei bulanan Reuters yang dirilis Selasa, 31 Desember 2024.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, 31 Desember 2024, survei yang melibatkan 31 ekonom dan analis ini memproyeksikan harga rata-rata Brent crude pada 2025 mencapai USD74,33 per barel, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar USD74,53 pada November. Penurunan ini menandai revisi ke bawah selama delapan bulan berturut-turut.
Sebagai acuan global, Brent crude telah mencatat harga rata-rata sekitar USD80 per barel sepanjang tahun ini dan diperkirakan turun sebesar 3 persen secara tahunan akibat melemahnya permintaan dari China, yang merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Minyak mentah AS juga diproyeksikan rata-rata berada di harga USD70,86 per barel pada 2025, sedikit naik dibandingkan perkiraan bulan lalu sebesar USD70,69.
"Produksi yang meningkat dari negara-negara non-OPEC diperkirakan akan menjaga pasokan pasar tetap melimpah. Sementara itu, meskipun pemulihan ekonomi di China diharapkan terjadi, pergeseran menuju kendaraan listrik kemungkinan akan membatasi pertumbuhan permintaan," ujar Direktur Riset di CRISIL, Sehul Bhatt.
Mayoritas responden survei memprediksi pasar minyak akan mengalami surplus pada tahun depan. Analis dari JPMorgan memperkirakan pasokan akan melampaui permintaan hingga 1,2 juta barel per hari (bpd).
Dalam pertemuan Desember, OPEC+, yang memproduksi sekitar setengah dari minyak dunia, menunda kenaikan produksi minyak hingga April 2025 dan memperpanjang periode pemulihan penuh pemotongan produksi hingga akhir 2026.
"Keputusan tersebut didorong oleh ekspektasi bahwa pertumbuhan pasokan dari negara-negara non-OPEC+ akan melampaui pertumbuhan permintaan pada 2025. Dengan demikian, ruang bagi OPEC+ untuk meningkatkan produksi sangat terbatas... kami memperkirakan penundaan lebih lanjut dalam pemulihan pemotongan produksi hingga kuartal keempat 2025," kata Florian Grunberger, analis senior di perusahaan data dan analitik Kpler.
Pertumbuhan Permintaan yang Terkendali
Permintaan minyak global diperkirakan tumbuh antara 0,4 juta hingga 1,3 juta bpd pada 2025, menurut survei tersebut. Angka ini lebih rendah dibandingkan estimasi pertumbuhan OPEC sebesar 1,45 juta bpd. Pasar juga tengah bersiap menghadapi perubahan kebijakan besar-besaran, termasuk tarif, deregulasi, dan amandemen pajak, seiring dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada Januari 2025.
"Secara umum, kami berpikir bahwa politik AS memiliki dampak yang lebih kecil daripada yang diperkirakan banyak orang terhadap harga minyak dan sektor minyak & gas domestik AS," ujar Kim Fustier, Kepala Riset Minyak & Gas Eropa di HSBC.
Minyak Brent dan WTI Melonjak
Harga minyak mengalami kenaikan pada Senin, 30 Desember 2024, dalam perdagangan tipis menjelang akhir tahun. Kenaikan ini dipicu oleh spekulasi investor bahwa penurunan suhu di Amerika Serikat dan Eropa dalam beberapa minggu mendatang akan meningkatkan permintaan diesel.
Seperti dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent untuk kontrak Februari naik 22 sen, atau 0,3 persen, menjadi USD74,39 per barel. Sementara itu, kontrak Maret yang lebih aktif ditutup pada USD73,99 per barel, naik 20 sen.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat 39 sen, atau 0,6 persen, menjadi USD70,99 per barel. Futures diesel sulfur ultra-rendah AS melonjak 2,5 persen menjadi USD2,30 per galon, level tertinggi sejak 5 November. “Harga diesel memimpin penguatan di kompleks energi,” tulis tim perdagangan distributor bahan bakar TACenergy pada Senin, 30 Desember 2024 kepada Reuters.
Mereka juga menyebutkan bahwa kekhawatiran akan cuaca dingin dalam beberapa minggu mendatang meningkatkan permintaan diesel sebagai alternatif gas alam untuk pemanasan ruangan. Heating Degree Days (HDD), ukuran yang digunakan untuk memperkirakan permintaan energi untuk pemanasan, diproyeksikan meningkat menjadi 499 selama dua minggu ke depan di AS. Angka ini naik dari estimasi sebelumnya, yaitu 399 pada Jumat, 27 Desember 2024, menurut data dari LSEG.
Selain itu, ahli meteorologi di perusahaan tersebut memprediksi suhu yang lebih dingin di Eropa pada Januari, yang juga dapat meningkatkan permintaan energi. Di sisi lain, futures gas alam AS melonjak 17 persen ke level tertinggi sejak Januari 2023. Kenaikan ini didukung oleh prakiraan cuaca dingin dan meningkatnya permintaan ekspor gas alam.
Faktor lain yang dapat memberikan dukungan lebih lanjut pada harga minyak adalah penurunan stok minyak mentah AS.
Berdasarkan jajak pendapat awal Reuters pada Senin, 30 Desember 2024 stok minyak mentah AS diperkirakan turun sekitar 3 juta barel pekan lalu. Penurunan ini menambah momentum positif setelah Brent dan WTI mencatat kenaikan sekitar 1,4 persen pada pekan sebelumnya, yang didorong oleh penarikan stok minyak mentah AS yang lebih besar dari perkiraan selama pekan yang berakhir pada 20 Desember.
Aktivitas kilang yang meningkat dan lonjakan permintaan bahan bakar selama musim liburan juga berkontribusi pada tren ini. Investor kini menantikan hasil survei PMI pabrik China yang dijadwalkan dirilis pada Selasa, diikuti oleh survei ISM AS pada Jumat, 27 Desember 2024. Data tersebut diharapkan memberikan gambaran tentang kondisi ekonomi dua konsumen minyak terbesar dunia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.