KABARBURSA.COM - Harga minyak naik lebih dari 2 persen pada Selasa, 24 September 2024, setelah adanya kabar tentang stimulus moneter dari Tiongkok, negara importir minyak terbesar dunia, serta kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah bisa mengganggu pasokan regional. Sementara itu, badai di Amerika Serikat, produsen minyak mentah terbesar dunia, juga mengancam pasokan.
Futures Brent naik sebesar USD1,79 atau 2,4 persen menjadi USD75,69 per barel pada pukul 13.20 GMT. Sementara, minyak mentah AS (WTI) naik USD1,87 atau 2,7 persen menjadi USD72,24 per barel.
"Pasar minyak mentah sangat berharap pada langkah-langkah pelonggaran dari otoritas Tiongkok untuk mengatasi perlambatan ekonomi," kata analis pasar IG, Tony Sycamore, dikutip dari Reuters, Selasa, 24 September 2024.
Sebelumnya, bank sentral Tiongkok mengumumkan stimulus terbesar sejak pandemi COVID-19 untuk mendongkrak kembali ekonomi yang terjebak dalam deflasi dan mencapai target pertumbuhan pemerintah.
Paket kebijakan yang lebih luas dari perkiraan, mencakup pendanaan tambahan dan pemotongan suku bunga, merupakan upaya terbaru Beijing untuk memulihkan kepercayaan setelah data ekonomi yang mengecewakan menimbulkan kekhawatiran akan perlambatan struktural jangka panjang.
"Pengumuman hari ini setidaknya akan mengurangi risiko penurunan harga minyak mentah," ujar Sycamore.
Namun, agar lonjakan harga minyak bertahan, kebijakan moneter Tiongkok yang akomodatif perlu disertai dengan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan permintaan domestik, kata Kelvin Wong, analis senior di OANDA.
Di Timur Tengah, wilayah kunci produsen minyak, militer Israel mengatakan telah meluncurkan serangan udara terhadap situs-situs Hezbollah di Lebanon pada Senin, yang menurut otoritas Lebanon menewaskan 492 orang dan memaksa puluhan ribu warga melarikan diri untuk keselamatan.
Serangan tersebut meningkatkan risiko Iran, anggota OPEC yang mendukung Hezbollah, untuk terlibat lebih dalam konflik dengan Israel, yang berpotensi memicu perang yang lebih luas di wilayah tersebut.
"Kepala militer Israel menyatakan bahwa serangan terhadap Hezbollah akan terus dipercepat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru tentang kemungkinan perang habis-habisan di Timur Tengah, yang dapat sepenuhnya mengguncang kawasan tersebut," ujar analis minyak di broker StoneX, Alex Hodes.
Sementara itu, produsen minyak AS tengah bergegas mengevakuasi staf dari platform produksi minyak di Teluk Meksiko, karena badai kedua dalam dua minggu diperkirakan akan melanda ladang minyak lepas pantai. Beberapa perusahaan minyak telah menghentikan sebagian produksi mereka.
Sempat Menurun
Harga minyak sempat mengalami penurunan pada Senin, 23 September 2024, dengan ketidakpastian pasar yang semakin meningkat. Kekhawatiran akan melemahnya permintaan minyak mentah dipicu oleh data aktivitas bisnis yang mengecewakan dari zona euro serta penurunan ekonomi di China, memberi andil pada kondisi ini.
Di pasar global, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman November turun 59 sen (0,8 persen) menjadi USD73,90 per barel, sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan 63 sen (0,9 persen) menjadi USD70,37 per barel.
Data menunjukkan bahwa aktivitas bisnis di zona euro mengalami kontraksi tajam dan tidak terduga pada bulan ini. Sektor jasa, yang menjadi pilar utama perekonomian zona euro, menunjukkan stagnasi, sementara penurunan dalam sektor manufaktur berlangsung semakin cepat.
Sebaliknya, di AS, meskipun aktivitas bisnis tetap stabil, harga rata-rata barang dan jasa yang dijual mencatat kenaikan tercepat dalam enam bulan terakhir, menandakan potensi inflasi yang mungkin meningkat di bulan-bulan mendatang.
Situasi ekonomi di China, yang merupakan importir minyak terbesar di dunia, juga menambah tekanan pada harga minyak. Negara ini sedang berjuang menghadapi tantangan deflasi dan kesulitan dalam mendorong pertumbuhan, meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan untuk meningkatkan pengeluaran domestik.
Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial, menyatakan, “Angka-angka ekonomi yang mengecewakan dari China, ditambah dengan perlambatan tak terduga dalam manufaktur Eropa, membuat permintaan minyak mentah berada pada level terendah tahun ini.”
Di tengah kekhawatiran akan penurunan permintaan, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga meningkatkan kekhawatiran pasokan minyak. Serangan udara Israel terhadap target-target Hizbullah pada Senin lalu menambah ketegangan, di mana setelah hampir setahun konflik di Gaza, Israel kini mengalihkan fokus ke perbatasan utaranya. Dalam konteks ini, Hizbullah meluncurkan roket ke wilayah utara Israel, yang merupakan salah satu eskalasi paling signifikan dalam hampir setahun.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkapkan bahwa Israel menghadapi “hari-hari yang sulit” dan menyerukan kesatuan di antara warga Israel selama operasi militer berlangsung. Keterlibatan Iran dalam konflik ini berpotensi membahayakan ekspor minyak, yang semakin memperburuk kekhawatiran pasar.
Lebih lanjut, gangguan yang disebabkan oleh badai tropis di dekat Teluk Meksiko juga mengancam suplai minyak. Perusahaan Shell telah mengambil langkah pencegahan dengan menutup produksi di fasilitas Stones dan Appomattox, sementara Equinor, perusahaan minyak Norwegia, telah mengevakuasi beberapa staf dari platform produksinya di Teluk Meksiko. Selain itu, Chevron juga melakukan evakuasi terhadap personel yang tidak esensial.
Survei awal oleh Reuters menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS diperkirakan turun sekitar 1,2 juta barel minggu lalu. Dalam minggu sebelumnya, kedua patokan minyak tersebut mengalami kenaikan lebih dari 4 persen, yang didorong oleh keputusan Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin. Sinyal akan adanya pemangkasan suku bunga lebih lanjut di akhir tahun menjadi harapan bagi para pelaku pasar.(*)