Logo
>

Harga Minyak Naik usai AS Ancam Hentikan Ekspor Minyak Iran

Kenaikan harga minyak terjadi setelah Menteri Energi AS menyatakan siap menghentikan ekspor minyak Iran, di tengah memanasnya konflik dagang dengan China, dan proyeksi pelemahan permintaan global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Naik usai AS Ancam Hentikan Ekspor Minyak Iran
Ilustrasi: Rig pengeboran lepas pantai Seajacks Kraken yang beroperasi di perairan internasional. Foto diambil dari laman resmi Departemen Energi Amerika Serikat (U.S. Department of Energy).

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia kembali merangkak naik lebih dari USD1 pada Sabtu, 12 April 2025, dini hari WIB setelah Menteri Energi Amerika Serikat Chris Wright menyatakan negaranya dapat menghentikan ekspor minyak Iran. Langkah ini disebut-sebut sebagai bagian dari tekanan Washington terhadap program nuklir Teheran.

    Minyak mentah Brent tercatat naik USD1,43 atau 2,26 persen menjadi USD64,76 per barel. Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) ditutup pada USD61,50 per barel, naik USD1,43 atau 2,38 persen.

    “Penegakan ketat terhadap pembatasan ekspor minyak mentah Iran akan mengurangi pasokan global,” kata Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, dikutip dari Reuters di Jakarta, Sabtu. Ia menambahkan, China kemungkinan tetap akan membeli minyak dari Iran, meskipun tekanan sanksi meningkat.

    Pernyataan Wright ini mendorong sentimen positif bagi harga minyak, setelah sebelumnya pasar dihantui fluktuasi tajam akibat kebijakan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump. Ketegangan geopolitik kini bukan hanya datang dari Timur Tengah, tetapi juga dari Washington sendiri. “AS kini menjadi faktor risiko geopolitik, ini hal baru bagi pasar,” ujar John Kilduff dari Again Capital.

    Sebagai respons atas kebijakan Trump, China mengumumkan pada Jumat kemarin bahwa mereka akan memberlakukan tarif impor sebesar 125 persen terhadap produk-produk asal AS mulai Sabtu ini, naik dari pengumuman sebelumnya yang hanya 84 persen. Keputusan ini datang setelah Trump resmi menaikkan tarif terhadap barang-barang China menjadi 145 persen pada Kamis lalu.

    Infografis kenaikan minyak dunia.

    Meski Trump memberikan penangguhan tarif selama sembilan puluh hari kepada puluhan mitra dagang lainnya, perang dagang yang berlarut-larut antara dua ekonomi terbesar dunia ini diperkirakan akan menekan volume perdagangan global, mengganggu jalur distribusi internasional, dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi serta menurunkan permintaan energi, termasuk minyak.

    “Kendati sebagian tarif ditangguhkan, kecuali untuk China, kerusakan pasar sudah terlanjur terjadi. Harga minyak kini kesulitan untuk kembali stabil,” kata Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank, Ole Hansen.

    Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Kamis kemarin juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan memperingatkan bahwa tarif bisa berdampak besar terhadap harga minyak. EIA menurunkan proyeksi permintaan minyak di AS dan global untuk tahun ini dan tahun depan.

    Sementara itu, jajak pendapat Reuters menunjukkan pertumbuhan ekonomi China tahun 2025 kemungkinan akan lebih lambat dibanding tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan tekanan tambahan dari tarif AS terhadap negara importir minyak terbesar di dunia tersebut.

    Bahkan, Direktur Badan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebut dampak tarif ini bisa menjadi “bencana” bagi negara-negara berkembang.

    Analis ANZ Bank memprediksi konsumsi minyak akan turun 1 persen jika pertumbuhan ekonomi global merosot di bawah tiga persen. “Permintaan energi sangat bergantung pada kelangsungan perdagangan global,” ujar Daniel Hynes, Kepala Strategi Komoditas Senior di ANZ.

    Harga Minyak bisa Terus Merosot Hingga 2026

    Proyeksi Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mengindikasikan harga minyak kemungkinan akan tetap murah hingga setidaknya dua tahun ke depan. Dalam laporan tersebut, EIA memperkirakan harga rata-rata minyak Brent sepanjang 2025 akan berada di kisaran USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta). Angka ini diperkirakan turun menjadi USD74 (Rp1,22 juta) pada 2025 dan terus melemah ke USD66 (Rp1,09 juta) pada 2026.

    Turunnya harga minyak ini bukan sekadar efek dari tensi geopolitik atau keputusan OPEC+ untuk mengatur suplai. Yang lebih menentukan adalah pertumbuhan pasokan global yang melaju jauh lebih cepat ketimbang pemulihan permintaan. Negara-negara produsen di luar OPEC+ justru tampil agresif meningkatkan output mereka, membuat pasar kelebihan pasokan dan harga kian melemah.

    Kendati begitu, ada satu faktor yang berpotensi membalik arah tren, yakni sanksi energi baru dari pemerintah Amerika Serikat terhadap Rusia yang diumumkan pada awal Januari 2025. Jika sanksi ini berhasil menekan volume ekspor Rusia secara signifikan, maka suplai global bisa terganggu dan harga minyak kemungkinan besar akan naik kembali.

    Namun hingga skenario itu benar-benar terjadi, EIA tetap memperkirakan tren penurunan harga akan berlanjut dalam jangka menengah. Permintaan energi dunia yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, ditambah dengan stok minyak global yang masih melimpah, menciptakan tekanan ganda yang menahan harga tetap di bawah.

    OPEC+ Tambah Produksi

    Harga minyak dunia makin tak punya ruang untuk bernapas setelah OPEC dan sekutunya di aliansi OPEC+ memutuskan mempercepat rencana kenaikan produksi. Aliansi produsen ini kini berencana mengembalikan pasokan sebanyak 411 ribu barel per hari (bph) ke pasar mulai Mei 2025—naik drastis dari rencana awal yang hanya 135 ribu bph.

    Faktor penekan lainnya datang dari Laut Hitam. Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) menyatakan pengadilan Rusia memutuskan fasilitas ekspor mereka tetap bisa beroperasi. Putusan ini menghindarkan Kazakhstan dari potensi penurunan produksi dan gangguan pasokan minyak global.

    Meskipun impor minyak mentah, gas, dan produk olahan masih dikecualikan dari tarif baru Trump, kebijakan dagang yang agresif ini tetap berisiko memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperkeruh perseteruan dagang global—semuanya menjadi sentimen negatif bagi harga minyak.

    Merespons kondisi ini, analis Goldman Sachs memangkas target harga minyak untuk Desember 2025 sebesar USD5 masing-masing. Brent diprediksi berada di angka USD66 (sekitar Rp1,08 juta), sementara WTI di angka USD62 (sekitar Rp1,01 juta).

    “Kami melihat risiko penurunan lanjutan pada proyeksi harga ini, apalagi untuk 2026, karena ancaman resesi yang makin besar dan—meski lebih kecil—potensi tambahan pasokan dari OPEC+,” tulis Kepala Riset Minyak Goldman Sachs, Daan Struyven, dalam catatan resminya.

    Sementara itu, HSBC juga memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025. Dari semula 1 juta barel per hari menjadi hanya 900 ribu barel, karena efek dari tarif dagang dan keputusan OPEC+.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).