Logo
>

Harga Minyak tak Bergeming, Dunia Tunggu Deal Geopolitik

Harga minyak dunia stagnan akibat ketidakpastian geopolitik Iran-Rusia dan sinyal pelonggaran The Fed yang belum cukup menggerakkan pasar.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak tak Bergeming, Dunia Tunggu Deal Geopolitik
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina. Harga minyak dunia tercatat stagnan di kisaran USD62–65 per barel akibat ketidakpastian geopolitik, termasuk negosiasi nuklir AS–Iran dan dinamika gencatan senjata Rusia–Ukraina. KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia nyaris tak bergerak sepanjang Rabu, 21 Mei 2025. Pasar menahan napas di tengah ketidakpastian arah perundingan nuklir Iran–AS dan belum jelasnya ujung dari perang Rusia–Ukraina. Ditambah lagi, data ekonomi China yang dirilis kemarin lusa turut membuat pelaku pasar memilih mode hati-hati.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, Minyak Brent ditutup turun tipis 0,2 persen di level USD65,38 per barel, sementara minyak acuan AS, West Texas Intermediate (WTI), melemah 0,2 persen ke USD62,56 per barel.

Salah satu penyebab stagnasi ini datang dari Timur Tengah. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyebut permintaan AS agar Iran menghentikan pengayaan uranium sebagai “berlebihan dan keterlaluan”. Hal ini menimbulkan keraguan baru soal keberhasilan pembaruan kesepakatan nuklir kedua negara.

Padahal, jika sanksi AS dicabut, Iran diprediksi bisa langsung menambah ekspor minyak sebanyak 300.000 hingga 400.000 barel per hari. “Itu angka realistis jika embargo dicairkan,” ujar analis StoneX, Alex Hodes. Iran sendiri merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga di OPEC pada 2024, setelah Arab Saudi dan Irak, menurut data resmi energi AS.

Dari front Eropa, suasana juga tak kalah hangat. Uni Eropa dan Inggris mengumumkan sanksi baru terhadap Rusia, tanpa menunggu langkah lanjutan dari Amerika Serikat. Padahal, sehari sebelumnya Presiden Donald Trump sudah menghubungi Vladimir Putin, namun belum juga mendapat komitmen gencatan senjata dari Moskwa.

Ukraina mendesak negara-negara G7 agar menurunkan batas harga ekspor minyak Rusia via laut dari USD60 ke USD30 per barel. Langkah ini dinilai penting untuk menekan pendanaan perang Kremlin.

“Perdamaian sepertinya masih jauh dari kenyataan. Kalau pun tercapai, itu baru berdampak ke pasokan minyak Rusia dalam jangka panjang, karena mereka masih terikat kesepakatan kuota produksi OPEC+,” kata analis komoditas utama dari SEB Bank, Bjarne Schieldrop.

Sebagai catatan, Rusia adalah produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat pada 2024, dan merupakan anggota utama dalam kelompok produsen OPEC+.

Data China dan Ekspektasi The Fed bikin Pasar Minyak Ragu

Harga minyak dunia belum juga menemukan arah tegas. Setelah stagnan akibat tarik-ulur geopolitik Iran dan Rusia, kini giliran data ekonomi China dan spekulasi kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang menambah beban sentimen di pasar energi global.

Sepanjang Selasa ini, setidaknya tujuh pejabat The Fed dijadwalkan berbicara ke publik. Di tengah ekspektasi pelonggaran moneter, pelaku pasar mulai mengantisipasi bahwa bank sentral AS akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali pada 2025, dengan pemangkasan pertama diperkirakan berlangsung September nanti. Perkiraan ini diambil dari data lembaga keuangan LSEG.

Seperti diketahui, suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi—karena biaya pinjaman rumah tangga dan bisnis jadi lebih ringan. Tapi sinyal dovish dari The Fed belum cukup menyemangati pasar minyak.

Data dari China justru menjadi penghambat baru. Pertumbuhan output industri dan penjualan ritel di negara importir minyak terbesar dunia itu kembali melambat. Analis memperkirakan, perlambatan ini bisa mengurangi permintaan bahan bakar dari Negeri Tirai Bambu dalam beberapa bulan ke depan.

Meski begitu, ada sedikit catatan positif. Goldman Sachs mencatat bahwa aliran perdagangan ekspor-impor China mulai menunjukkan peningkatan pada Senin malam waktu setempat, meskipun belum mencerminkan secara penuh jeda tarif 90 hari antara AS dan China.

Dari Eropa, Menteri Keuangan Jerman Lars Klingbeil berjanji akan segera meluncurkan paket investasi sebagai respons atas ketidakpastian global yang kian dalam. Sebagai ekonomi terbesar di kawasan, sikap Jerman ini menjadi sinyal penting bagi daya tahan ekonomi Eropa ke depan.

Sementara itu, pasar minyak juga menantikan data inventori minyak mentah dari dua lembaga utama di Amerika Serikat: American Petroleum Institute (API) dan U.S. Energy Information Administration (EIA). Data API dirilis pada Selasa malam, sementara EIA menyusul pada Rabu hari ini.

Konsensus analis memproyeksikan  persediaan minyak AS turun sekitar 1,2 juta barel pada pekan yang berakhir 16 Mei 2025. Jika tepat, ini akan menjadi penurunan ketiga dalam empat pekan terakhir. Sebagai perbandingan, tahun lalu pada periode yang sama justru terjadi kenaikan stok sebesar 1,8 juta barel, sementara rata-rata penurunan lima tahunan tercatat 3,5 juta barel.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).