KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) merespons maraknya toko atau pedagang yang menolak pembayaran dengan uang tunai dan lebih memilih sistem pembayaran tanpa uang tunai (cashless). Apakah tindakan ini melanggar ketentuan yang berlaku?
Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, menjelaskan bahwa aturan terkait pembayaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Mata Uang. Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa semua transaksi yang dilakukan di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah.
"Yang diatur adalah penggunaan rupiah dalam transaksi di Indonesia. Tidak boleh menggunakan mata uang lain. Jadi, yang harus digunakan adalah mata uang rupiah," kata Fili di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024.
Penggunaan rupiah sebagai alat transaksi sistem pembayaran dapat dilakukan baik secara tunai maupun nontunai. Oleh karena itu, masyarakat dan pedagang memiliki kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan uang tunai atau nontunai sesuai dengan kenyamanan masing-masing.
"Pedagang juga memiliki opsi sesuai dengan kenyamanannya, namun yang diterima tetap harus rupiah," jelasnya.
Dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menolak menerima rupiah yang diserahkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah, serta untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecuali jika ada keraguan mengenai keaslian rupiah tersebut.
Penggunaan rupiah secara tunai mulai berkurang dengan adanya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diberlakukan secara nasional sejak 2020. Saat ini, banyak pedagang yang lebih memilih untuk menerima transaksi secara nontunai.
Peredaran Uang di Bulan Mei 2024
Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa likuiditas perekonomian, yang mengacu pada uang beredar dalam arti luas (M2) Indonesia, mengalami peningkatan pada bulan Mei 2024.
Menurut Asisten Gubernur BI Erwin Haryono, data yang baru dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa posisi M2 mencapai Rp8.965,9 triliun, mengalami kenaikan sebesar 7,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini mengungguli pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 6,9 persen.
Erwin menjelaskan bahwa pertumbuhan M2 didorong terutama oleh kenaikan uang beredar sempat (M1) sebesar 6,3 persen dan uang kuasi sebesar 8,8 persen.
“Faktor utama yang mendukung pertumbuhan M2 adalah penyaluran kredit yang meningkat 11,4 persen pada bulan Mei 2024, meskipun sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 12,3 persen,” kata Erwin Haryono di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.
Selain itu, aktivitas luar negeri bersih juga menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 0,6 persen, mengimbangi kontraksi sebesar 1,1 persen pada bulan sebelumnya.
Erwin menekankan bahwa pertumbuhan M2 yang kuat mencerminkan dinamika dalam aktivitas ekonomi Indonesia di tengah tantangan global dan domestik. Bank Indonesia terus memantau perkembangan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara.
Peningkatan M2 memiliki dampak yang bisa bersifat positif maupun negatif. Di antara dampak positifnya adalah meningkatkan konsumsi rumah tangga dan mendorong investasi, sementara dampak negatifnya mencakup potensi inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara seiring dengan perkembangan M2 yang terus dipantau.
Waspada dengan QRIS Palsu
Bank Indonesia (BI) menanggapi beredarnya QR Code atau QRIS palsu dengan mengingatkan pentingnya keamanan bersama antara merchant dan pembeli. Ini adalah masalah yang memerlukan perhatian dari semua pihak.
Filianingsih Hendrata, Deputi Gubernur BI, menegaskan bahwa sistem pembayaran QRIS telah dirancang sesuai standar keamanan internasional. Namun, ia juga menekankan agar pemilik usaha dan pembeli selalu waspada terhadap keamanan transaksi mereka.
"BI, ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) dan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) terus menggalakkan sosialisasi dan edukasi tentang keamanan QRIS kepada para merchant," ujar Filianingsih dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis, 20 juni 2024.
Pemilik merchant harus memastikan QRIS yang mereka gunakan selalu dalam pengawasan, memastikan pembeli memindai kode QRIS dengan benar, dan memastikan transaksi berjalan dengan sukses.
"Pengawasan harus dilakukan, baik saat pemindaian di depan merchant atau pada EDC, serta memeriksa statusnya. Setiap pembayaran akan ada notifikasi kepada merchant tersebut," jelasnya.
Dari sisi pembeli, lanjut Filianingsih, penting untuk memastikan QRIS yang dipindai memiliki nama yang sesuai dengan merchant yang dituju.
Bank Indonesia bersama asosiasi terus melakukan pengawasan untuk memastikan sistem pembayaran QRIS beroperasi dengan aman.
"Di BI dan ASPI, kami terus melakukan pengawasan. Ini tanggung jawab bersama," tutupnya.
Transaksi pembayaran melalui QRIS tercatat melonjak hingga 213,31 persen (year on year/yoy) pada Mei 2024 dengan jumlah pengguna mencapai 49,76 juta. Jumlah merchant pengguna QRIS juga mencapai 32,25 juta.
Bank sentral mengklaim bahwa kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap kuat, didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal.
Klaim ini diperkuat oleh data pada Mei 2024, dimana transaksi BI-RTGS meningkat 0,16 persen (yoy) mencapai Rp14.557,29 triliun. Sementara itu, transaksi BI-FAST tercatat Rp701,61 triliun atau tumbuh 53,08 persen (yoy).
Transaksi digital banking mencapai Rp5.570 triliun atau tumbuh sebesar 10,82 persen (yoy), sementara transaksi uang elektronik (UE) meningkat 35,24 persen (yoy) sehingga mencapai Rp92,79 triliun.
QRIS semakin menjadi tulang punggung dalam ekosistem pembayaran digital Indonesia, namun tantangan keamanan dan fraud tetap harus diwaspadai. Dengan kolaborasi dan peningkatan edukasi, QRIS diharapkan terus berkembang dan memperkuat ekosistem ekonomi digital Indonesia. Bank digital di Indonesia terus mengalami perkembangan pesat pada tahun 2024. Berikut adalah beberapa aspek penting terkait pertumbuhan bank digital yang signifikan tahun.
Jumlah pengguna bank digital meningkat tajam. Dengan layanan yang lebih mudah dan cepat, bank digital menarik perhatian banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z.
Pertumbuhan ini didorong oleh kemudahan akses, fitur-fitur inovatif, dan biaya yang lebih rendah dibandingkan bank tradisional.
Bank digital terus menghadirkan berbagai inovasi layanan, mulai dari pembukaan rekening secara online, fitur pembayaran QRIS, hingga integrasi dengan e-commerce dan layanan fintech lainnya.
Penggunaan teknologi AI dan machine learning untuk analisis data dan manajemen risiko semakin memperkuat posisi bank digital di pasar.
Meskipun menawarkan berbagai kemudahan, tantangan utama bank digital adalah menjaga keamanan data nasabah. Serangan siber dan penipuan menjadi ancaman yang harus diatasi.
Bank Indonesia dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terus memperketat regulasi dan pengawasan untuk memastikan keamanan dan keandalan layanan bank digital.
Kolaborasi antara bank digital dan perusahaan fintech semakin menguat. Sinergi ini memungkinkan bank digital untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan pengalaman pengguna.
Misalnya, integrasi dengan aplikasi pembayaran, investasi, dan asuransi memudahkan nasabah untuk mengakses berbagai layanan keuangan dalam satu platform.
Transaksi digital banking mencapai Rp5.570 triliun pada Mei 2024, tumbuh 10,82 persen (year on year/yoy). Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam adopsi layanan perbankan digital oleh masyarakat.
Transaksi uang elektronik juga meningkat 35,24 persen (yoy), mencapai Rp92,79 triliun, mencerminkan tren positif dalam penggunaan pembayaran digital.
Dengan adopsi teknologi yang semakin tinggi dan dukungan regulasi yang tepat, bank digital memiliki peluang besar untuk terus tumbuh dan mendominasi pasar keuangan.
Edukasi dan literasi keuangan digital perlu ditingkatkan untuk mendorong lebih banyak masyarakat beralih ke layanan bank digital.
Pertumbuhan bank digital di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan tren positif dengan banyaknya inovasi dan peningkatan jumlah pengguna. Namun, tantangan keamanan dan regulasi tetap harus diperhatikan untuk memastikan keberlanjutan dan kepercayaan nasabah terhadap layanan perbankan digital. (*)