KABARBURSA.COM - Bank Indonesia telah menaikkan 7 days repo rate alias BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen. Keputusan ini diambil melalui rapat Dewan Gubernur BI pada 23 dan 24 April.
Selain itu, BI juga meningkatkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,5 persen dan suku bunga landing facility sebesar 25 bps menjadi 7 persen.
"Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah menghadapi risiko global yang mungkin memburuk, sebagai langkah pencegahan dan proaktif untuk menjaga inflasi tetap dalam kisaran target 2,5 plus minus 1 persen pada 2024 dan 2025," tegas Perry.
Salah satu dampak dari kenaikan BI rate adalah naiknya suku bunga produk turunannya, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR). Tentu saja hal ini akan membuat generasi sekarang, seperti Gen Z, semakin kesulitan membeli rumah karena tingginya harga cicilan.
Mengutip Bloomberg, Kamis 25 April 2024, Lia seorang pekerja swasta berumur 26 tahun mengaku bahwa adanya kenaikan suku bunga yang akan berdampak pada KPR membuatnya merasa stres.
Pasalnya ia sempat berencana untuk mengambil rumah dalam waktu dekat.
"Sebenarnya ini bikin stres, tapi karena nggak mau pusing, masih banyak hal lain yang sudah bikin pusing, yaudah pasrah aja, mau komplain juga gimana, huft. Kebutuhan naik, yaudah, b aja, merhatiin, tapi yaudah," ujarnya, Kamis 25 April 2024.
"Sempet kepikir KPR, tapi bingung sama lokasi, sempet juga kepikiran apartemen. Tapi ya nanti tergantung pasangan kalau mau nikah aja deh. Tapi, kemungkinan besar sih maunya tinggal di rumah orang tua karena ku tak bisa meninggalkan orang tua," ceritanya.
Beda lagi dengan Mala (26) yang juga berprofesi sebagai karyawan swasta. Ia mengaku tak pernah memerhatikan soal kenaikan suku bunga dari BI dan belum ada kepikiran buat mengambil rumah KPR.
"Kalo KPR, jujur belum kepikiran soal itu. Kalo gue pribadi kayanya gak akan ambil opsi KPR. Pengennya bangun rumah sendiri aja berhubung gue punya warisan tanah,"ucapnya.
"Tapi kalo semisal duit belum cukup buat bangun rumah ya. Gue kayanya bakal cari kos-kosan yang bisa ditinggali pasutri sih. Sekarang kan banyak yak. Banyak juga pasutri yang gue liat mereka nge-kos. Sambi bangun rumahnya,"ceritanya.
Namun, Mala pun merasa khawatir bilamana kenaikan suku bunga ini menyasar pada kebutuhan pokok lainnya. Sebagai anak kos yang merantau dari daerah menyadari akan sesaknya biaya hidup yang cuman bergaji UMR standar Jakarta.
"Gue bayar kos-kosan saja udah engep, ditambah gue seringnya beli makan di luar dari pada masak sendiri karena keterbatasan gue juga. Meskipun beli kan tetap ngaruh yak harganya jadi naik dan segala macam,"keluhannya.
"Gue pengeluaran itu sekitar Rp3 juta- Rp4 jutaan karena ngekos plus ongkos selama menjalankan tugas korporat juga yak yang lebih banyak boncosnya daripada reimbursenya,"curhatnya.
Beda lagi dengan Fikri seorang pekerja media berusia 26 tahun. Ia mengaku sangat memperhatikan dengan adanya suku bunga yang kini naik.
Pasalnya ia berencana akan menjalani cicilan KPR rumah dalam beberapa tahun ke depan agar bisa berpindah dari rumah kontrakan yang sudah ditinggalinya selama 4 bulan bersama sang istri.
"Kalau untuk strateginya mungkin gue bakal cari rumah yang second biar bisa jadi cicilannya lebih murah atau paling engga gue nabung lebih supaya DP besar dan cicilannya lebih ringan meskipun ada kenaikan bunga," ucapnya.
Fikri mengaku akan lebih irit dalam pengeluaran per bulan. di tengah adanya kenaikan suku bunga ini. Walaupun dirinya sudah menghadapi beberapa kewajiban yang harus ditanggung sebagai kepala keluarga.
"Mungkin ngirit tapi cuma dalam beberapa aspek, karna ada kebutuhan yang memang udah paten biayanya. Contoh: biaya listrik, kontrol usg. Pengeluaran biasanya Rp4juta-Rp5 juta," tandasnya.