KABARBURSA.COM – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengakui bakal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari Industri Tekstil, hal ini disebabkan tutupnya 6 pabrik tekstil di awal tahun 2024 yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan.
Melihat data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), terdapat 6 perusahaan di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi dengan total 13.800 pekerja sepanjang tahun 2024.
“Jika ada perusahaan yang akan melakukan PHK, tentu yang kami dorong adalah benar-benar PHK itu sebagai jalan terkahir,” kata Ida kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024.
Ida juga mengimbau para pengusaha mengedepankan prinsip dialog dalam menentukan langkah dan nasib para pekerjanya. Dia mengaku, tidak sedikit perusahaan yang berkonsultasi ke Kemenaker sebelum memutuskan akan melakukan PHK.
“Mereka konsultasi, baik manajemennya maupun yang mewakili pekerja, alhamdulilah berakhir dengan kesepakatan dan tidak jadi melakuakn PHK. Upaya-upaya dialog seperti ini terus kami lakukan,” jelasnya.
Di sisi lain, Ida juga mengungkap ciri sektor industri yang berpotensi melakukan PHK. Adapun PHK itu dilakukan karena produksi satu perusahaan yang berkurang, kondisi ekonomi global, dan ketegangan konflik Israel dan Palestina.
Pekerja Menjerit
Presiden KSPN, Ristadi, menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Apparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.
“80 persen belum jelas hak-hak pesangonya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 20 persenan,” ungkap Ristadi, saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.
KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.
Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur. Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
Kendati belum dapat memberi angka pasti terkait nilai investasi sektor TPT di pasar lokal, Ristadi mengkhawatirkan kebutuhan sandang masyarakat Indonesia terus didorong untuk mengonsumsi barang-barang impor. Menurutnya, hal itu pula yang mematikan industri produsen TPT dalam negeri.
“Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat disektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” ungkapnya.
Apa Penyebabnya?
Badan Pengurus Daerah (BPD) Jawa Barat API, Andrew Purnama menuturkan, sektor industri TPT sempat merasakan manisnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 yang resmi diterapkan pada awal Maret 2024 lalu.
Kondisi itu, kata Andrew, menunjukan perbaikan yang signifikan bagi industry TPT. Bahkan, dia menilai perbaikan industri TPT dirasakan mulai dari hilir dengan membaiknya pasar pakaian jadi.
“Pada bulan Maret, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menunjukkan perbaikan yang signifikan. Dampak positif ini mulai dirasakan dari hilir, dengan membaiknya pasar pakaian jadi,” kata Andrew saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.
Meski begitu, Andrew menyebut, dampak positif yang dirasakan tidak berlangsung lama, khususnya kala Kemendag merevisi tiga kali regulasi tersebut dan menggantinya menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang merelaksasi importasi dengan mencabut aturan Persetujuan Teknik (Partek) barang jadi.
“Industri TPT dari IKM (industri kecil miktro) hingga garment langsung merasakan dampaknya (negatif dari Permendag 8/2024),” jelasnya.
Permendag 8/2024, kata Andrew, membuka keran impor produk tekstil secara masif, yang membanjiri pasar dengan produk-produk yang lebih murah. Hal ini menghancurkan daya saing produk lokal.
Dalam periode yang sama, kata Andrew, banyak pelaku industri, terutama dengan skala kecil dan menengah, tidak mampu bersaing dan terpaksa menutup operasional mereka. Menurutnya, kondisi tersebut sangat miris mengingat industri tekstil memberikan kontribusi besar terhadap pemabangunan ekonomi negara.
“Dengan hilangnya order dan meningkatnya jumlah PHK, nasib industri tekstil kita berada di ujung tanduk. Perlu langkah-langkah strategis dan kebijakan yang lebih berpihak pada industri lokal untuk membalikkan keadaan ini,” pungkasnya. (Andi/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.