KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG) diperkirakan akan melanjutkan tren penguatan pada awal pekan mendatang, Senin, 10 Maret 2025, dengan target menguji level resistance di 6.700. Proyeksi ini didukung oleh berbagai faktor teknikal, di mana IHSG berhasil bertahan di atas rata-rata pergerakan (MA) 20 pada level 6.627.
Selain itu, pelebaran positive slope pada indikator Moving Average Convergence Divergence (MACD) mengindikasikan momentum penguatan masih berlanjut. Namun, indikator Stochastic Relative Strength Index (RSI) yang mendekati area overbought menjadi perhatian karena berpotensi memicu aksi ambil untung dalam jangka pendek.
Pada penutupan perdagangan Jumat, 7 Maret 2025, IHSG mencatat kenaikan sebesar 0,27 persen ke level 6.636,00, dengan nilai transaksi mencapai Rp10,40 triliun dan volume perdagangan sebesar 211,19 juta lot saham. Optimisme pelaku pasar tetap terjaga, didukung oleh ekspektasi peningkatan data Keyakinan Konsumen Februari 2025 yang diproyeksikan naik ke level 127,5 dari 127,2 pada Januari.
Peningkatan ini mencerminkan optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi Indonesia dan diharapkan menjadi katalis positif bagi pergerakan pasar saham dalam negeri.
Dari sisi eksternal, pasar masih menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) untuk Februari 2025 yang dijadwalkan pada 12 Maret. Berdasarkan proyeksi, inflasi AS diperkirakan turun menjadi 2,9 persen secara tahunan (YoY) dari 3 persen pada Januari.
Meski mengalami penurunan, angka ini masih berada di atas target inflasi The Fed yang ditetapkan di kisaran 2 persen. Dengan demikian, investor tetap mencermati arah kebijakan moneter The Fed, terutama terkait keputusan suku bunga pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Maret 2025.
Berdasarkan survei CME FedWatch Tool, The Fed diperkirakan masih akan menahan suku bunga acuannya, mengingat inflasi yang belum sepenuhnya mencapai target.
Dari kawasan Eropa, pelaku pasar juga mengantisipasi rilis data inflasi final Jerman untuk Februari 2025 yang dijadwalkan pada 14 Maret. Inflasi Jerman diperkirakan tetap stabil di level 2,3 persen YoY, yang dapat memberikan gambaran terkait kebijakan moneter Bank Sentral Eropa (ECB).
Sementara itu, di kawasan Asia, fokus pasar tertuju pada Jepang yang akan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024 pada 11 Maret, dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 0,7 persen secara kuartalan.
Sejalan dengan proyeksi penguatan IHSG, Phintraco Sekuritas merekomendasikan beberapa saham unggulan yang diperkirakan memiliki prospek positif dalam perdagangan awal pekan depan. Saham-saham pilihan tersebut meliputi INCO, MYOR, ESSA, SMRA, SSIA, dan TINS.
Dengan dukungan dari faktor domestik serta dinamika global yang masih kondusif, IHSG berpotensi melanjutkan tren penguatannya dalam waktu dekat. Namun, investor tetap disarankan untuk mencermati perkembangan sentimen global yang dapat mempengaruhi pergerakan pasar.
Tantangan INCO dan ESSA
Dari pilihan saham di atas, menarik jika melirik kinerja PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Ini menjadi tantangan dan sorotan para analis setelah pencapaian laba bersih perusahaan tercatat di bawah ekspektasi.
Berbagai faktor eksternal dan internal diperkirakan akan memengaruhi performa perusahaan ke depan, terutama volatilitas harga nikel, strategi efisiensi, serta ekspansi produksi dari tambang baru di Pomalaa dan Bahodopi.
Investment Analyst Stockbit Hendriko Gani, menyoroti bahwa harga nikel yang fluktuatif akibat potensi oversupply menjadi tantangan utama bagi INCO. Pasar global menghadapi ketidakpastian karena peningkatan pasokan nikel, yang dapat menekan harga jual dan berdampak langsung pada pendapatan perusahaan. Namun, INCO memiliki peluang untuk mempertahankan kinerja melalui strategi efisiensi yang lebih ketat dan diversifikasi produk.
Sebelumnya, INCO hanya menjual nikel dalam bentuk matte tanpa menjual bijih nikel saprolite. Namun, dengan ekspansi ke tambang baru, perusahaan berpotensi menambah penjualan hingga 1,7 juta wet metric ton (wmt) saprolite pada 2025, terdiri dari 1,4 juta wmt dari Bahodopi dan 300.000 wmt dari Pomalaa.
Ekspansi ini diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan baru yang menopang kinerja perusahaan di tengah tekanan harga nikel global.
Analis RHB Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi, mencermati bahwa produksi INCO relatif stabil pada tahun lalu. Namun, pertumbuhan pendapatan masih sangat bergantung pada harga jual nikel, yang saat ini cenderung melandai. Kendati demikian, ia melihat potensi kenaikan harga nikel pada tahun ini, didukung oleh beberapa faktor seperti perang tarif, potensi pengurangan produksi dari beberapa smelter di Indonesia, serta peluang pemulihan ekonomi China.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Indy Naila, juga optimistis bahwa INCO masih memiliki peluang untuk memperbaiki kinerjanya pada tahun 2025. Ia menilai kemampuan efisiensi perusahaan yang cukup kuat dapat mendorong perbaikan margin, sehingga menciptakan potensi pertumbuhan laba meskipun harga nikel masih fluktuatif.
Selain itu, proyek hilirisasi yang sedang berjalan dapat menjadi katalis positif yang meningkatkan pendapatan dalam jangka panjang.
Dari perspektif lain, analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer, mengungkapkan bahwa stabilisasi harga nikel global serta penyelesaian proyek ekspansi dapat menjadi faktor pendukung kinerja INCO ke depan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika harga nikel tetap bergerak volatil, tekanan terhadap kinerja perusahaan masih akan berlanjut.
PT ESSA Industries Indonesia Tbk (ESSA) juga tengah menghadapi tantangan, yaitu besarnya fluktuasi harga energi global, khususnya amonia dan LPG. Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor industri berbasis gas, ESSA menyadari bahwa pergerakan harga kedua komoditas ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, mulai dari kebijakan produsen utama hingga dinamika geopolitik global.
Presiden Direktur ESSA Kanishk Laroya, menegaskan bahwa perusahaan akan terus fokus pada keunggulan operasional guna menjaga efisiensi dan stabilitas produksi. Dalam menghadapi ketidakpastian harga, ESSA mengadopsi strategi yang berorientasi pada efisiensi biaya, optimalisasi sistem, serta pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Langkah ini menjadi kunci bagi ESSA dalam menjaga daya saingnya di industri energi global yang semakin kompetitif.
Pada tahun ini, pergerakan harga LPG diperkirakan akan sangat bergantung pada keputusan OPEC+ terkait kebijakan pemotongan produksi sukarela mereka. Sementara itu, harga amonia diharapkan tetap berada pada kisaran yang sama dengan tahun 2024, dengan asumsi tidak ada perubahan besar dalam situasi geopolitik. ESSA tetap optimis bahwa stabilitas harga ini akan menjadi peluang bagi perusahaan untuk terus memperkuat posisinya di pasar.
Meskipun menghadapi penurunan pendapatan, ESSA berhasil membukukan laba bersih sebesar USD45,18 juta pada tahun 2024, meningkat signifikan sebesar 30,58 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai USD34,6 juta. Peningkatan ini menjadi bukti bahwa strategi efisiensi yang diterapkan manajemen mampu memberikan dampak positif terhadap profitabilitas perusahaan.
Dari sisi pendapatan, ESSA mencatat total pemasukan sebesar 301 juta dolar AS, turun 13 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai USD344,96 juta. Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya harga amonia sebesar 15 persen, dengan rata-rata harga turun menjadi USD350 per metrik ton. Pendapatan dari sektor amonia sendiri mencapai USD256,32 juta, turun 14,46 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, penjualan LPG sedikit mengalami penurunan menjadi USD41,5 juta dari sebelumnya USD41,48 juta, dan jasa pengolahan berkontribusi sebesar USD3,6 juta, mengalami koreksi 5,26 persen dari 3,8 juta dolar AS pada tahun sebelumnya.
Meskipun pendapatan menurun, efisiensi yang diterapkan ESSA berhasil meningkatkan EBITDA perusahaan sebesar 4 persen menjadi USD129 juta. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan ESSA dalam menekan biaya operasional secara signifikan. Dari sisi operasional, pabrik amonia ESSA mencatatkan 8,4 juta jam kerja tanpa insiden kehilangan waktu kerja (Loss Time Injury/LTI), sementara pabrik LPG mencapai 6,1 juta jam kerja tanpa LTI.
Menurut Kanishk, penurunan pendapatan yang terjadi pada tahun lalu lebih banyak disebabkan oleh anjloknya harga amonia di pasar global. Namun, strategi pengelolaan biaya yang ketat dan upaya deleveraging yang dilakukan sepanjang tahun berhasil menekan beban keuangan ESSA hingga lebih dari 42 persen dibandingkan tahun 2023. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa ESSA mampu beradaptasi dengan kondisi pasar yang dinamis serta menjaga fundamental bisnisnya tetap kuat.
Dengan berbagai strategi yang diterapkan, ESSA optimistis dapat mempertahankan kinerja positifnya di tahun 2025. Fokus pada efisiensi operasional, pengelolaan keuangan yang hati-hati, serta ketahanan dalam menghadapi fluktuasi harga komoditas menjadi fondasi utama bagi perusahaan untuk terus berkembang dan memberikan nilai tambah bagi pemegang saham serta pemangku kepentingan lainnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.