KABARBURSA.COM — Bursa saham Indonesia kembali diguncang badai. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembap cukup dalam, dihantam eskalasi tensi politik di dalam negeri. Saat lonceng penutupan berbunyi, indeks anjlok 1,53 persen ke level 7.830,49. Bahkan sebelumnya, IHSG sempat terperosok lebih jauh, menyentuh titik nadir 7.771 di akhir sesi pertama.
Pelemahan ini memang mencolok, tapi tak menggoyahkan keyakinan otoritas bursa. Bursa Efek Indonesia (BEI) tetap tenang. Di tengah riuh gejolak, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik tampil menegaskan: pondasi pasar modal Indonesia masih kukuh.
“Struktur pasar kita dalam kondisi prima. Pergerakan naik-turun itu bagian alami dari mekanisme pasar. Apalagi sebelumnya indeks kita telah memecahkan rekor tertinggi. Maka, koreksi teknikal seperti ini adalah sesuatu yang wajar,” ujar Jeffrey dari lantai bursa, menyikapi situasi dengan kepala dingin.
Mengenai turbulensi hari ini, BEI tak melihat urgensi untuk turun tangan secara langsung. Tidak ada intervensi. Tidak pula ada kebijakan khusus yang digulirkan.

“Selama fundamental kita kuat—dan kami yakin itu—investor diharapkan tetap logis, tidak emosional. Keputusan mesti diambil dengan kalkulasi, bukan kepanikan,” imbuhnya, mengingatkan para pelaku pasar.
Meski IHSG melemah, tidak semua sektor ikut terseret arus. Sektor perindustrian justru mencatatkan performa positif, menanjak tipis 0,73 persen. Ia menjadi satu-satunya sektor yang mampu bertahan di zona hijau hingga penutupan perdagangan Jumat, 29 Agustus 2025.
Namun, sebagian besar sektor lain tak seberuntung itu. Zona merah mendominasi. Sektor barang konsumen siklikal memimpin pelemahan dengan koreksi 3,06 persen. Diikuti sektor infrastruktur yang turun 2,27 persen, serta sektor teknologi yang melemah 2,25 persen.
Sentimen politik mungkin mengguncang. Tapi di tengah gejolak, kekuatan fundamental ekonomi nasional tetap menjadi jangkar. Pasar sedang diuji. Tapi keteguhan dan disiplin tetap jadi kunci untuk bertahan.
Rerata Nilai Transaksi Harian
Catatan, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan jika perdagangan saham selama sepekan periode 25-29 Agustus 2025 ditutup mayoritas positif.
P.H. Sekretaris Perusahaan BEI, Aulia Noviana Utami mengatakan peningkatan tertinggi pekan ini terjadi pada rata-rata nilai transaksi harian BEI.
"Yaitu sebesar 40,69 persen menjadi Rp25,22 triliun dari Rp17,92 triliun pada pekan sebelumnya," ujar dia dalam keterangannya, dikutip Sabtu 30 Agustus 2025.
Rata-rata volume transaksi harian bursa pekan ini turut meningkat sebesar 19,56 persen menjadi 47,19 miliar lembar saham dari 39,47 miliar lembar saham pada pekan sebelumnya.
Selain itu, Aulia menyebut rata-rata frekuensi transaksi harian selama pekan ini juga mengalami peningkatan, sebesar 8,80 persen menjadi 2,31 juta kali transaksi dari 2,12 juta kali transaksi pada pekan lalu.
Pada Jumat 29 Agustus 2025, BEI mencatat frekuensi transaksi saham turut mencatatkan rekor All Time High (ATH) yaitu sebesar 2,49 juta kali transaksi yang melewati capaian sebelumnya sebesar 2,36 juta kali transaksi pada Senin, 25 Agustus 2025.
"Kapitalisasi pasar BEI mengalami peningkatan sebesar 0,36 persen menjadi Rp14.182 triliun dari Rp14.131 triliun pada sepekan sebelumnya," ungkapnya.
Aulia menyampaikan jika kapitalisasi pasar BEI menorehkan rekor baru, mencapai Rp14.377 triliun pada Kamis 28 Agustus 2025, melewati capaian sebelumnya Rp14.372 triliun pada Rabu , 27 Agustus 2025.
Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan mengalami penurunan sebesar 0,36 persen menjadi 7.830,493 dari 7.858,851 pada pekan lalu.
Meski begitu pada pekan ini, BEI mencatat jika IHSG menyentuh rekor ATH (tertinggi sepanjang sejarah). IHSG ditutup di level 7.952,088 pada Kamis, 28 Agustus 2025.
"Melampaui rekor sebelumnya di level 7.943,825 pada Rabu 20 Agustus 2025," kata Aulia.
Adapun investor asing pada Jumat, 29 Agustus 2025, BEI mencatat nilai jual bersih investor asing sebesar Rp1,12 triliun. Sementara sepanjang tahun 2025 ini, investor asing mencatatkan nilai jual bersih Rp50,95 triliun.
Jadi Sentimen Negatif, Gejolak Bikin Investor Kabur
Gejolak sosial yang terjadi di Indonesia beberapa hari terakhir menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ikut terdampak.
Pengamat Pasar Modal sekaligus founder Republik Investor Hendra Wardana mengatakan, anjloknya IHSG mencerminkan rapuhnya psikologis pasar terhadap gejolak politik dan keamanan di dalam negeri.
Ia mengatakan aksi massa yang merebak di Jakarta dan sejumlah daerah menjadi sentimen negatif karena meningkatkan ketidakpastian politik. Hal ini membuat investor asing maupun pun domestik melepas portfolio di pasar saham Indonesia.
"Pasar modal sangat sensitif terhadap isu stabilitas. Begitu muncul potensi risiko keamanan, investor asing maupun domestik cenderung menahan diri, bahkan melepas portofolio untuk mengamankan posisi likuid," ujar dia dalam risetnya kepada Kabarbursa.com, Jumat, 29 Agustus 2025.
Gejolak sosial ini diperparah oleh respons pemerintah yang dinilai belum tepat. Alih-alih menjalin komunikasi terbuka dengan masyarakat, kata Hendra, langkah yang muncul justru berupa himbauan work from home (WFH) bagi anggota DPR.
Ia menilai kebijakan ini menimbulkan persepsi bahwa pemerintah dan wakil rakyat lebih memilih menjauh ketimbang mendengar aspirasi langsung.
"Padahal, pasar butuh sinyal stabilitas dan kepastian. Dalam ekonomi, persepsi sering kali lebih kuat pengaruhnya dibanding fakta di lapangan," ungkapnya.

Tak mengherankan jika situasi ini menjadi sorotan media internasional. Hendra menyebut jika investor global yang memantau Indonesia melihat adanya eskalasi ketidakpastian politik, yang berujung pada aksi jual di pasar keuangan.
"Inilah sebabnya IHSG cepat merespons dan tertekan signifikan. Kondisi serupa juga dialami nilai tukar rupiah yang ikut berfluktuasi," tuturnya.
Secara teknikal, menurut analisa Hendra, IHSG kini bergerak mendekati area support penting di kisaran gap 7.800–7.840. Area ini diperkirakan akan menjadi penahan pertama bagi tekanan jual.
Ia menyampaikan jika level tersebut berhasil bertahan, ada peluang IHSG kembali konsolidasi. Namun bila jebol, risiko koreksi lebih dalam bisa terbuka.
"Oleh karena itu, banyak pelaku pasar saat ini memilih strategi defensif sembari menunggu kepastian arah kebijakan pemerintah," ungkapnya.(*)