KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang melanjutkan penguatan secara terbatas di bulan Juli 2025, meski dibayangi ketidakpastian global, khususnya dampak dari konflik militer antara Iran dan Israel. Konflik tersebut membuat IHSG anjlok ke 6.000-an sejak Iran dan Israel terus memanas.
Selain perkembangan geopolitik, arah kebijakan moneter Amerika Serikat serta kinerja ekonomi domestik dan laporan keuangan emiten akan menjadi faktor penentu utama arah pergerakan pasar.
Analis pasar modal dari Traderindo, Wahyu Laksono, mengatakan bahwa pasar akan tetap volatile tetapi ruang untuk rebound terbuka jika ketegangan global mereda.
“IHSG masih punya potensi untuk konsolidasi naik menuju 7.000 sampai 7.200, dengan catatan tidak ada lagi eskalasi serius dari konflik Timur Tengah. Sentimen global akan sangat menentukan,” kata Wahyu kepada KabarBursa.com, Kamis, 26 Juni 2025.
Sebelumnya, ekalasi militer antara Iran dan Israel sejak pertengahan Juni telah memicu kekhawatiran pasar global. Konflik dipicu oleh serangan Israel ke beberapa situs strategis militer dan nuklir Iran, termasuk fasilitas di Taheran pada 12 hingga 13 Juni.
Serangan itu menyebabkan beberapa petinggi Iran termasukn pemimpin militer tewas. Serangan itu disebut sebagai respons atas ancaman pengembangan program nuklir Iran. Pada 14 hingga 17 Juni 2025 Israel terus melakukan penyerangan.
Iran membalas dengan meluncurkan serangan drone dan rudal ke wilayah Israel, termasuk fasilitas medis dan infrastruktur militer. Namun, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ikut campur mengurim rudal ke Iran.
Amerika Serikat kemudian melancarkan serangan terbatas ke tiga situs nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan. Ini adalah keterlibatan langsung AS pertama dalam konflik tersebut, yang membuat pasar keuangan global bereaksi negatif.
Balasan puncaknya terjadi ketika Iran menembakkan sekitar 14 misil ke pangkalan militer Amerika Serikat di Al-Udeid, Qatar. Insiden tersebut memperparah ketegangan.
Setelah itu, Donald Trump malah meminta gencatan senjata. Ia meminta dimulai dari pihak Iran, lalu diikuti Israel dalam 12 jam berikutnya. Meski demikian, gencatan ini belum sepenuhnya solid karena beberapa pelanggaran kecil sempat terjadi di lapangan. Bahkan konflik ini dikhawatirkan akan terus berlanjut.
“Pasar butuh kepastian, bukan gencatan setengah hati. Kalau konflik ini berhenti total, risk appetite global bakal membaik. Tapi kalau gencatan ini cuma jeda sebelum babak baru, maka tekanan jual bisa kembali,” ujar Wahyu.
Faktor Domestik Penentu Arah IHSG
Selain geopolitik, pasar juga akan mencermati beberapa faktor penting dari dalam negeri.
Pertama, arah kebijakan moneter The Fed. Jika Federal Reserve mulai memberi sinyal jelas akan menurunkan suku bunga pada kuartal III, maka aliran modal ke emerging market seperti Indonesia bisa menguat. Ini menjadi sentimen positif bagi rupiah dan IHSG.
Kedua, rilis data ekonomi Indonesia seperti inflasi Juni, pertumbuhan PDB kuartal II, dan data manufaktur. Jika inflasi tetap terkendali di bawah 3 persen dan PDB tumbuh di atas 5 persen, IHSG akan punya landasan yang kuat untuk menguat.
Ketiga, musim laporan keuangan kuartal II akan dimulai pertengahan Juli. Kinerja laba bersih emiten akan menjadi motor utama pergerakan saham sektoral. “Kalau bank besar, konsumer dan komoditas lapor bagus, investor akan masuk. Apalagi valuasi sekarang masih relatif murah,” kata Wahyu.
Wahyu mengatakan IHSG diperkirakan bergerak dalam rentang 6.500 hingga 7.200 selama Juli 2025 depan. Level 6.500 menjadi support kuat, sementara 6.000 menjadi support psikologis. Jika net buy asing menguat dan tensi geopolitik mereda, maka IHSG bisa rebound ke kisaran 7.000 hingga 7.200.
Sektor yang Berpeluang Menguat
Sektor keuangan, terutama perbankan, masih prospektif karena kuatnya permintaan kredit dan fundamental yang solid. Bank-bank besar seperti BBRI, BBCA, dan BMRI tetap menjadi incaran investor asing.
Sektor konsumer primer tetap defensif. Emiten seperti ICBP, UNVR, dan MYOR diperkirakan tetap tumbuh karena permintaan yang stabil, bahkan dalam kondisi global yang tidak pasti.
Sektor komoditas memiliki potensi menguat jika harga energi dan logam naik akibat terganggunya pasokan global. MEDC, TINS, dan ANTM bisa mendapatkan sentimen positif jika konflik mendorong harga minyak dan nikel.
Sektor konstruksi dan infrastruktur akan bergantung pada realisasi belanja pemerintah semester II. Emiten seperti WSKT, PTPP, dan ADHI punya potensi jika ada percepatan proyek strategis nasional.
Sektor teknologi masih selektif. Saham-saham seperti DCII atau MTEL berpotensi naik jika menunjukkan fundamental yang kuat dan valuasi yang tidak terlalu premium.
Meskipun ada potensi rebound, Wahyu menekankan pentingnya disiplin dalam pengambilan keputusan investasi. “Volatilitas bisa datang kapan saja. Diversifikasi portofolio tetap penting. Jangan overconfidence, apalagi dengan sentimen global yang bisa berubah sangat cepat,” ujarnya.
Investor juga disarankan untuk mencermati dinamika asing. Jika tren net buy kembali muncul di pasar reguler, itu menjadi konfirmasi bahwa risiko global dianggap mulai mereda.
IHSG berpotensi bergerak menguat secara teknikal di bulan Juli, ditopang oleh data ekonomi yang stabil, sinyal dovish dari The Fed, dan harapan meredanya konflik Iran–Israel.
Namun, gencatan senjata yang masih rapuh dan potensi intervensi lanjutan dari AS membuat pasar tetap rawan volatilitas. Investor perlu menjaga kehati-hatian, sekaligus siap menangkap peluang dari sektor-sektor yang memiliki kinerja keuangan solid dan valuasi menarik.(*)