Logo
>

IHSG Ditutup Semringah, Naik 1,42 Persen ke Level 6.311

Pasar saham Indonesia menguat setelah IHSG naik 1,42 persen ke level 6.311. Saham teknologi memimpin kenaikan, sementara BBCA, BBRI, dan BMRI mencatat transaksi terbesar.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
IHSG Ditutup Semringah, Naik 1,42 Persen ke Level 6.311
pan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup menguat ke level 6.311 atau naik 1,42 persen pada perdagangan Rabu, 19 Maret 2025. Mengutip RTI Business, pergerakan indeks menunjukkan tren positif sejak pembukaan perdagangan dengan level terendah di 6.147 dan level tertinggi di 6.332.

    Seiring menguatnya IHSG, sebanyak 352 saham terpantau menghijau, 209 saham melemah, dan 241 saham mengalami stagnan.  Volume perdagangan hari ini mencapai 18.380 miliar lembar saham dengan nilai transaksi sebesar Rp14.176 triliun.

    Sementara itu merujuk data Stockbit, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham yang mencatat transaksi tertinggi hari ini dengan nilai Rp1,753,60 triliun.

    Di posisi kedua ada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp1,299,29 triliun, serta PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) di angka Rp1,242,98 triliun.

    Dari sisi volume perdagangan, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menjadi yang terbanyak diperdagangkan dengan volume 1,47 miliar lembar saham.

    Di bawahnya terdapat PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) sebanyak 741,64 juta lembar saham, serta PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang mencatatkan 383,08 juta lembar saham.

    Berdasarkan data sektor, saham di sektor teknologi mencatatkan kenaikan tertinggi sebesar +9,59 persen, diikuti oleh sektor energi yang naik +1,66 persen dan sektor basic ind dengan kenaikan +1,18 persen. 

    Sementara itu, sektor transportasi mengalami koreksi sebesar -0,23 persen, diikuti oleh sektor cylical yang melemah -0,12 persen. 

    IHSG bisa Bangkit Asal Pemerintah Longgarkan Fiskal

    Papan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.
    IHSG masih punya peluang untuk bangkit dari keterpurukan, asalkan pemerintah segera mengambil langkah nyata. Seperti yang diketahui, perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat dihentikan sementara setelah IHSG mengalami kejatuhan signifikan pada Selasa, 18 Maret 2025.

    Founder Stocknow.id, Hendra Wardana, memperkirakan indeks bisa menguji resistance di kisaran 6.500-6.700 dalam jangka menengah, khususnya menjelang kuartal ketiga yang diprediksi menjadi momentum rebound.

    “Jika tekanan jual berlanjut, indeks berpotensi turun lebih dalam ke level 5.900-6.000,” ujar Hendra saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 19 Maret 2025.

    Untuk mempercepat pemulihan, ia menyarankan agar pemerintah dan regulator segera bertindak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah meningkatkan transparansi pasar dengan membuka broker summary, melonggarkan kebijakan fiskal, serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jika kebijakan ini diterapkan dengan cepat, peluang IHSG untuk kembali ke jalur positif akan semakin besar.

    "Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan baik, investor bisa kembali percaya diri dan membawa IHSG keluar dari tekanan menuju pemulihan yang lebih kuat," jelas Hendra. 

    Dia menerangkan pelemahan IHSG terjadi di tengah penguatan bursa regional. Menurutnya, hal ini menandakan tekanan terhadap IHSG banyak dipicu faktor domestik ketimbang eksternal.

    Padahal secara fundamental, Hendra mengakui kondisi ekonomi Indonesia tidak terlalu buruk meskipun APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun dan pendapatan negara turun drastis. 

    "Namun, sentimen negatif seperti RUU TNI yang kontroversial, rumor pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, serta aksi jual besar-besaran saham konglomerasi seperti BREN (-11,8 persen), TPIA (-18,4 persen), dan DCII (-20 persen) menjadi pemicu utama kejatuhan indeks," ungkapnya. 

    IHSG Anjlok Bukan Karena Isu Politik, tapi Kerapuhan Ekonomi

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai faktor utama pelemahan pasar saham bukanlah permasalahan politik, melainkan kerapuhan struktural ekonomi Indonesia.

    "Saya tidak percaya isu mundurnya Sri Mulyani, Perry Warjiyo, dan Airlangga Hartarto menjadi penyebab utama anjloknya IHSG. Sebagai ekonom, saya berbeda dengan beberapa analis saham. Jatuhnya IHSG karena mundurnya satu atau dua pejabat adalah analisis yang tidak tepat," kata Achmad kepada Kabarbursa.com, Rabu, 19 Maret 2025.

    Menurut dia, ekonomi Indonesia memiliki persoalan lebih mendasar, yakni ketergantungan pada utang luar negeri yang tidak dikelola secara prudent. Ia justru mengkritik kebijakan pemerintah yang cenderung populis dan bergantung pada pembiayaan berbasis utang untuk program seperti MBG, bantuan sosial (bansos), serta subsidi listrik.

    "Menjadikan faktor eksternal atau figur politis sebagai kambing hitam justru mengalihkan perhatian dari akar masalah sebenarnya, yaitu kerapuhan struktural ekonomi Indonesia yang diperparah oleh kebijakan populis jangka pendek bertumpu pada utang," tegasnya.

    Lebih lanjut Achmad menyoroti struktur ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada sektor komoditas. Ia menyebut, 35 persen penerimaan ekspor nasional masih didominasi oleh batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan nikel. 

    Penurunan harga ketiga komoditas tersebut sebesar 10-15 persen pada kuartal I-2025, langsung berdampak pada kinerja emiten di sektor pertambangan.

    "Saham seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) terkoreksi lebih dari 12 persen dalam sepekan. Ini menunjukkan betapa rentannya IHSG terhadap fluktuasi harga komoditas," jelasnya.

    Di sisi lain, upaya diversifikasi ekonomi belum menunjukkan perkembangan signifikan. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih stagnan di angka 19 persen sejak 2020, sementara industri bernilai tambah tinggi seperti elektronik dan otomotif masih tertinggal dibanding Vietnam dan Thailand.

    "Alih-alih mendorong industrialisasi, pemerintah malah mengandalkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah tanpa kesiapan hilirisasi yang memadai. Contohnya, larangan ekspor nikel tanpa progres signifikan dalam pembangunan smelter justru menguntungkan segelintir konglomerat, sementara UMKM tambang tradisional kolaps," katanya.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.