KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nyaris tak bergerak pada akhir sesi I perdagangan hari Selasa, 8 Juli 2025. IHSG hanya turun tipis satu poin ke level 6.900, setara dengan pelemahan nol persen.
Pergerakan datar ini mencerminkan sikap pasar yang cenderung hati-hati di tengah situasi global yang kembali memanas.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp4,83 triliun, dengan volume perdagangan mencapai lebih dari 90 juta lot saham. Meski dana yang bergulir cukup besar, pergerakan harga belum menunjukkan arah kuat.
Sebagian besar investor tampaknya memilih menunggu kejelasan arah pasar, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari sebelas sektor yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, delapan mengalami pelemahan. Sektor teknologi menjadi yang paling tertekan, turun 1,03 persen hingga akhir sesi pertama.
Sebaliknya, sektor infrastruktur justru menguat 1,19 persen dan menjadi tulang punggung penguatan terbatas indeks, ditopang sentimen positif dari ekspektasi belanja negara dan proyek-proyek strategis.
Saham-saham seperti MTFN, PSAT, NICE, ASPR, dan LABA masuk dalam jajaran top gainers. ASPR dan LABA juga termasuk di antara saham paling aktif, bersama emiten besar seperti BBCA dan BRPT, serta saham teknologi seperti INET dan ENRG.
Isu Tarif Dagang AS Kembali Menghantui Pasar Asia
Sementara itu, dari kawasan Asia, mayoritas bursa saham mencatat penguatan meski dibayangi kabar tak sedap dari Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump mengunggah pernyataan resmi di platform Truth Social, yang berisi pengumuman tarif impor baru terhadap 14 negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Mulai 1 Agustus mendatang, barang-barang dari Jepang, Korea Selatan, Malaysia, hingga Kazakhstan akan dikenakan tarif impor sebesar 25 persen.
Indonesia tak luput, dan bakal dikenai tarif lebih tinggi, yakni 32 persen. Negara-negara lain seperti Bangladesh, Thailand, dan Kamboja juga terkena imbas, dengan tarif impor antara 35 persen hingga 36 persen, sementara produk dari Laos dan Myanmar akan dibebani tarif 40 persen.
Menariknya, sejumlah negara besar seperti Taiwan, India, dan Filipina tidak masuk dalam daftar tersebut. Ekonom dari Citi Economics Research menilai, negara-negara ini kemungkinan sedang berada dalam jalur diplomasi dagang yang lebih kondusif dengan Washington.
Mereka memperkirakan bahwa beberapa negara, seperti India dan Taiwan, bahkan bisa mencapai kesepakatan dagang bilateral yang menguntungkan.
Pasar Regional Tetap Hijau, Kecuali Taiwan dan Australia
Meski isu tarif mendominasi pemberitaan, bursa saham Asia mayoritas ditutup di zona hijau pada sesi perdagangan hari ini.
Indeks Kospi Korea Selatan memimpin dengan penguatan 1,50 persen, disusul Shenzhen Component (1,27 persen) dan Hang Seng Hong Kong (0,78 persen). Indeks Jepang, Nikkei 225, juga naik 0,27 persen.
Di sisi lain, dua pasar mengalami koreksi, Taiex Taiwan turun 0,70 persen dan ASX200 Australia melemah 0,25 persen.
Pelemahan indeks Taiwan disinyalir berkaitan dengan kekhawatiran investor terhadap implikasi jangka panjang dari ketidakpastian hubungan dagang dengan AS, meski belum terkena tarif secara langsung.
Rupiah Stabil, Ringgit Melemah
Dari pasar mata uang, rupiah menguat tipis 0,02 persen menjadi Rp16.236 per dolar AS, memperlihatkan stabilitas yang relatif baik di tengah gejolak eksternal.
Yen Jepang dan dolar Singapura masing-masing menguat 0,04 persen dan 0,17 persen, sementara dolar Australia naik lebih signifikan sebesar 0,79 persen.
Sebaliknya, ringgit Malaysia terpantau melemah 0,09 persen ke level 4,2395 per dolar AS. Kinerja baht Thailand lebih solid dengan penguatan 0,46 persen, mengikuti tren sebagian besar mata uang Asia lainnya yang cenderung menguat terhadap greenback.
Secara keseluruhan, pasar tampaknya masih menahan diri, mencermati arah kebijakan perdagangan global yang kini kembali tidak menentu.
IHSG yang nyaris stagnan mencerminkan sikap wait and see para pelaku pasar, di tengah kombinasi tekanan dari sektor teknologi dan kecemasan akan dampak kebijakan proteksionis AS.
Untuk sementara, saham-saham infrastruktur dan emiten berkapitalisasi menengah tampak menjadi pilihan investor, setidaknya hingga ada kejelasan lebih lanjut soal arah ekonomi global dan langkah-langkah lanjutan dari pemerintah domestik.(*)