KABARBURSA.COM - Imbal hasil surat berharga negara (SBN) terus melandai, mengikuti derasnya arus likuiditas yang membanjiri sistem keuangan domestik. Fenomena ini menjadi sinyal bahwa pasar uang bergerak di ruang yang kian longgar, di tengah bayangan perlambatan ekonomi nasional yang belum sepenuhnya sirna.
Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menilai pelemahan yield mencerminkan kondisi pasar uang yang longgar dan sarat likuiditas. Berdasarkan data terkini, imbal hasil SBN tenor 10 tahun kembali tergelincir hingga menyentuh 6,18 persen - untuk pertama kalinya menembus di bawah 6,2 persen sejak Juli 2023. Sementara itu, yield tenor 2 tahun terkoreksi ke 4,91 persen, level terendah sejak April 2022. Adapun rupiah tetap stabil, hanya sedikit tertekan ke posisi Rp16.560 per dolar AS.
Namun di balik penurunan tersebut, tersimpan dinamika menarik. Rully mencatat, turunnya yield justru terjadi bersamaan dengan penurunan porsi kepemilikan asing di pasar obligasi pemerintah. Hingga 6 Oktober 2025, kepemilikan asing tercatat Rp899,9 triliun atau 13,9 persen dari total outstanding - angka yang untuk pertama kalinya merosot di bawah Rp900 triliun sejak Mei lalu. Persentase itu bahkan menjadi yang terendah sejak Juli 2024.
Menurut Rully, penurunan yield terutama pada tenor pendek dipicu oleh melimpahnya likuiditas di sistem keuangan. Salah satu pemicunya ialah kebijakan moneter pro-growth yang ditempuh Bank Indonesia. Cerminnya jelas: berkurangnya volume Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang beredar, serta penempatan dana pemerintah mencapai Rp200 triliun di bank-bank Himbara.
Data BI per 30 September memperlihatkan total SRBI yang beredar senilai Rp709 triliun-turun Rp214 triliun secara year-to-date (YTD). Angka ini menunjukkan tekanan likuiditas yang semakin mereda, membuka ruang lebih besar bagi penurunan imbal hasil SBN ke level yang lebih rendah.
Selain faktor likuiditas, tanda-tanda perlambatan ekonomi kian nyata. Data makro September 2025 memperlihatkan pelemahan di berbagai sektor. Indeks PMI manufaktur kembali menurun, cadangan devisa terkikis signifikan, sementara indeks keyakinan konsumen (IKK) tergerus ke 115,0-terendah dalam 41 bulan terakhir. Rully menambahkan, indeks kondisi ekonomi saat ini jatuh ke 102,7, dan indeks ekspektasi masa depan turun ke 127,2—keduanya mencatat posisi terendah dalam lebih dari tiga tahun.
Dengan deretan indikator yang menurun, ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter kian terbuka lebar. Meski demikian, Rully menilai langkah tersebut belum tentu berupa pemangkasan suku bunga acuan. Bank Indonesia, menurutnya, lebih berpeluang melakukan injeksi likuiditas melalui operasi pasar, seperti pembelian surat berharga di pasar sekunder. Strategi itu dinilai mampu memperkuat likuiditas sistem keuangan dan menekan imbal hasil SBN ke level yang lebih rendah lagi.(*)