KABARBURSA.COM - PT Indofarma Tbk (INAF) membukukan kerugian bersih sebesar Rp605 miliar sepanjang tahun 2023. Kerugian ini mengalami peningkatan sebesar 41 persen dibandingkan dengan kerugian periode yang sama tahun sebelumnya mencapai Rp428 miliar.
"Pendapatan bersih turun dari negatif Rp428 miliar pada 2022 menjadi negatif Rp605 miliar pada 2023," kata Direktur PT Biofarma (Persero) Shadiq Akasya, dikutip Kamis, 20 Juni 2024.
Ia mengungkapkan bahwa kinerja keuangan negatif anak perusahaannya disebabkan oleh penyisihan piutang sebesar Rp46 miliar dan biaya terkait pajak sebesar Rp120 miliar. Selain itu, total pendapatan INAF sepanjang 2023 tercatat sebesar Rp524 miliar, turun 54 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp1,14 triliun.
Shadiq menyebutkan bahwa pendapatan tersebut sebagian besar berasal dari penjualan produk dalam negeri sebesar Rp501 miliar. Produk ethical menyumbang Rp311 miliar, sedangkan ekspor berkontribusi sebesar Rp22 miliar.
INAF juga mencatatkan EBITDA negatif sebesar Rp293 miliar, berbanding terbalik dengan EBITDA positif Rp104 miliar pada tahun sebelumnya. Total aset perusahaan turun menjadi Rp933 miliar dari sebelumnya Rp1,53 triliun, sedangkan liabilitas tercatat sebesar Rp1,54 triliun.
INAF mencatat ekuitas negatif sebesar Rp615 miliar, berbeda dengan tahun sebelumnya yang positif Rp86 miliar. Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah praktik penipuan pada beberapa instrumen keuangan INAF.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II Tahun 2023, BPK mengungkapkan bahwa perusahaan farmasi tersebut melakukan transaksi fiktif dan penggunaan dana untuk kepentingan pribadi, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp371 miliar.
Informasi saja, laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan INAF adalah kuartal III-2023. Dalam laporan keuangan ini, Indofarma menyatakan mengalami rugi bersih Rp191,69 miliar, naik 4,68 persen dibandingkan setahun sebelumnya yang tercatat Rp183,12 miliar.
OJK Turun Tangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini tengah mengusut dan menelaah laporan keuangan emiten PT Indofarma Tbk (INAF) yang tersandung dugaan fraud.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan pihaknya tak menutup kemungkinan untuk memberikan sanksi terhadap badan usaha milik negara atau BUMN farmasi itu.
"Dalam hal ditemukan pelanggaran ketentuan pasar modal, akan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujar Inarno dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis, 20 Juni 2024.
Inarno menekankan jika emiten di pasar modal Tanah Air harus mengedepankan prinsip keterbukaan dan penerapan tata kelola yang baik, berdasarkan aturan yang berlaku.
Selain itu, OJK juga turut menyoroti dan meminta klarifikasi kepada INAF, perihal temuan Badan Pemerika Keuangan (BPK) terkait penggunaan dana untuk pinjaman online atau pinjol. "OJK akan menindaklanjuti jika terdapat pelanggaran ketentuan pasar modal," lanjutnya.
Sebelumnya diketahui, BPK menemukan adanya aktivitas laporan keuangan INAF yang terindikasi fraud. Aktivitas terebut meliputi transaksi fiktif hingga penggunaan pinjol untuk kepentingan pribadi.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II 2023 BPK, aktivitas tersebut secata total menyebabkan kerugian negara mencapai Rp371 miliar.
Selain INAF, KAEF juga tengah terendus melakukan pelanggaran integritas penyediaan data laporan keuangan yang terjadi di anak usahanya, yakni PT Kimia Farma Apotek (KFA). Praktik tersebut terjadi dalam kurun waktu periode 2021-2022.
Tunggak Gaji Karyawan
Direktur Utama Indofarma Yelindriani mengatakan, penyebab perusahaan merugi karena tidak optimalnya kinerja operasional perseroan akibat modal kerja yang dimiliki sangat terbatas. Modal kerja yang sangat terbatas mengakibatkan tingkat produksi yang tidak optimal pada perseroan dan tidak tersedianya cukup produk yang dipasok oleh prinsipal di Entitas Anak.
“Perseroan telah melakukan optimalisasi dan efisiensi pengeluaran (biaya) tetapi tingkat efisiensi yang dihasilkan tidak optimal sebagaian besar komponen biaya merupakan fixed cost (biaya tetap), seperti biaya pegawai dan depresiasi fasilitas dan mesin produksi,” ujarnya.
Yelindriani menambahkan dengan keterbatasan modal ini, kondisi perseroan khususnya produksi obat saat ini hanya fokus pada produksi untuk pemenuhan kontrak dari pemerintah.
Perseroan juga mencatatkan beban keuangan Rp39,09 miliar, naik 35 persen dibandingkan setahun sebelumnya yang tercatat Rp28,98 miliar.
Dalam laporan keuangan tersebut, perseroan juga menyatakan mengalami ekuitas negatif Rp105,36 miliar. Hal ini disebabkan karena rugi yang terjadi bertahun-tahun sehingga saldo rugi tercatat Rp807,99 miliar.
Manajemen juga memaparkan terkait pembayaran gaji karyawan. Status pembayaran gaji karyawan bulan Januari 2024 sampai Mei 2024 belum dibayar sepenuhnya tetapi dibayarkan dengan kebijakan gradasi sesuai levelisasi karyawan. (*)