KABARBURSA.COM – Masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS kembali menjadi sorotan di tengah berbagai dinamika ekonomi global.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assaubi menyoroti beberapa faktor penting yang menjadi perhatian pasar, termasuk potensi dampak BRICS pada stabilitas ekonomi nasional dan penggunaan mata uang lokal.
Menurut Ibrahim, isu BRICS sudah mencuat sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan terus berlanjut hingga masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, selama dua dekade tersebut, Indonesia menghadapi berbagai kendala untuk bergabung sebagai anggota resmi.
“Sejak zaman SBY, baik di periode pertama maupun kedua, isu BRICS sudah kencang sekali. Begitu pula pada masa Jokowi. Namun, persyaratan untuk masuk sebagai anggota BRICS sangat berat. Ekonomi harus stabil dan tumbuh di angka 5 persen ke atas, baru bisa bergabung,” kata Ibrahim, kepada kabarbursa.com, Senin, 13 Januari 2025.
Ia mengingatkan, pada era SBY, wacana BRICS muncul di tengah tekanan ekonomi, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah akibat penguatan dolar AS. Pada saat itu, gagasan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi bilateral muncul sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.
“Saya masih ingat banyak sekali pernyataan dari mantan Presiden ke-6 tentang BRICS, apalagi saat itu terjadi krisis ekonomi akibat dolar yang begitu kuat. Ada secercah harapan untuk menggunakan mata uang lokal,” ujarnya.
Memasuki era Presiden Jokowi, wacana bergabung dengan BRICS semakin menguat, meski Indonesia belum menjadi anggota resmi. Ibrahim mencatat, langkah konkret masuk BRICS mulai dilakukan dengan penerapan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal, terutama dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN.
“Perdagangan terbesar Indonesia menggunakan rupiah itu dengan Tiongkok. Selain itu, kita juga melakukan transaksi dengan Jepang, Korea, dan ASEAN menggunakan mata uang lokal,” ungkapnya.
Namun, menurut Ibrahim, mata uang lokal masih belum mampu menandingi dominasi dolar AS. Bahkan saat pandemi Covid-19, dolar terus menunjukkan kekuatannya, mencapai puncaknya pada momen Lebaran dengan nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp16.000 per dolar AS.
Meski negara-negara anggota BRICS telah menggunakan mata uang lokal, namun menurutnya porsinya belum signifikan melawan kedigdayaan dolar dan presentasenya masih sekitar 30-40 persen.
Tantangan Ekonomi Setelah Gabung BRICS
Bergabung dengan BRICS membawa harapan besar untuk memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah global, termasuk diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional.
“Meskipun mata uang rupiah belum kuat, tapi Indonesia sudah mulai melaiukan ekspor impor dengan negara-negara tetangga dengan menggunakan mata uang lokal,” terangnya
Namun, Ibrahim menekankan bahwa pasar akan terus memantau apakah langkah ini benar-benar efektif mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
“Ini bukan hanya soal bergabung dengan BRICS, tapi juga bagaimana Indonesia bisa meningkatkan daya saing ekonomi dan memastikan mata uang lokal lebih berdaya di tengah dominasi dolar,” ujarnya.
Ketergantungan Terhadap China
Sementara itu, Peneliti Ekonomi dari Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bakhrul Fikri, menyoroti resiko ketergantungan yang semakin kuat pada China, mengingat bahwa ekonomi China diproyeksikan akan melambat, terutama jika Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Menurutnya, kebijakan proteksionisme yang sering diterapkan oleh Trump dapat berimbas negatif bagi negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
“Ketergantungan yang semakin besar pada China harus diwaspadai. Apalagi dengan potensi terpilihnya kembali Trump, yang kemungkinan besar akan melanjutkan kebijakan proteksionisme. Jika AS memberlakukan tarif tinggi pada negara-negara anggota BRICS, maka Indonesia pun akan merasakan dampaknya, terutama pada produk-produk yang bergantung pada pasar Amerika,” jelas Bakhrul kepada kabarbursa.com, di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025.
Menurutnya, kebijakan tersebut akan menyebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor Indonesia, terutama yang mengarah ke pasar AS. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek hingga menengah.
Dalam menghadapi ketidakpastian global, Bakhrul mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada satu negara atau satu blok ekonomi. Ia menegaskan bahwa diversifikasi mitra ekonomi, khususnya melalui kerja sama bilateral dengan berbagai negara, merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
“Indonesia perlu menggali lebih banyak peluang kerja sama bilateral, tidak hanya bergantung pada BRICS atau China. Dengan menjalin lebih banyak kemitraan, Indonesia akan lebih tangguh menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan tidak terlalu terfokus pada satu negara,” kata Bakhrul.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun BRICS memiliki potensi besar dalam kerja sama multilateral, terlalu bergantung pada satu negara dominan tetap berisiko. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih selektif dalam memilih sektor strategis untuk bekerja sama dengan negara-negara anggota BRICS lainnya, seperti Brasil dan Afrika Selatan.
Menurut Bakhrul, keanggotaan Indonesia dalam BRICS sebaiknya tidak hanya terfokus pada hubungan ekonomi dengan China, tetapi juga pada pengembangan sektor-sektor yang memberikan manfaat jangka panjang. Salah satu sektor yang disarankan adalah investasi hijau dan transisi energi bersih, yang saat ini menjadi prioritas global.
“Kerja sama di sektor investasi hijau dan energi bersih dengan negara-negara seperti Afrika Selatan dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif dan beralih menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan,” jelas Bakhrul. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.