KABARBURSA.COM - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan bahwa kehadiran industri pengolahan nikel memang membawa dampak ekonomi, tetapi perlu dilihat secara komprehensif.
Di satu sisi, industri nikel mampu mendongkrak laju ekspor khususnya produk feronikel dan nickel pig iron (NPI). Namun, penghitungan dampak ekonomi perlu melihat berbagai aspek.
Bhima Yudhistira, Executive Director CELIOS mengatakan, beberapa di antaranya terkait keberlangsungan perekonomian karena penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara.
"Ditambah lagi standar industri nikel yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, dan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat justru berdampak buruk dalam jangka panjang," ujar Bhima Yudhistira, Executive Director CELIOS, kepada Kabar Bursa, Rabu 24 April 2024.
Ia menambahkan, dalam skenario saat ini atau business-as-usual (BAU), operasi industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan produk domestik bruto (PDB) positif sebesar USD4 miliar atau sekitar Rp62,8 triliun pada tahun kelima atau tahap konstruksi.
"Sayangnya, hal ini kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya terhadap total luaran perekonomian," ujarnya.
Degradasi lingkungan mengakibatkan penurunan manfaat ekonomi secara bertahap, terutama setelah tahun kedelapan muncul dalam skenario yang dilakukan oleh CELIOS. Indikator negatif pun muncul pada tahun kesembilan.
"Masyarakat yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah akan menanggung dampak kerugian ekonomi dan kesehatan yang paling parah akibat paparan udara beracun dalam waktu lama," kata Bhima.
Sementara itu jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, Bhima menjelaskan bahwa total akumulasi upah pekerja di berbagai sektor yang dihasilkan selama 15 tahun berjumlah USD14,71 miliar (Rp228 triliun).
"Namun skenario BAU mengenai proyeksi upah pekerja dalam jangka panjang cenderung turun karena pendapatan pekerja di sektor pertanian dan perikanan cukup terdampak oleh aktivitas industri pengolahan nikel. Pekerja yang menghadapi penurunan produktivitas akibat pencemaran udara ikut mempengaruhi pendapatan yang diterima," ungkap dia.
Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo sempat mengaitkan peningkatan ekspor nikel yang mencapai USD33,8 miliar atau setara dengan Rp510 triliun sepanjang tahun 2022 sebagai bentuk pencapaian ekonomi yang positif.
Sementara data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan nilai ekspor bijih nikel dan turunannya pada 2013 hanya mencapai USD5,4 miliar. Kemudian, melalui kebijakan hilirisasi, nilai ekspor turunan nikel tahun 2022 mencapai USD35,6 miliar atau 6,6x lipat lebih tinggi.