Logo
>

Industri Sepatu Belum Pulih, Emiten Alas Kaki Apa Kabar?

Ditulis oleh Syahrianto
Industri Sepatu Belum Pulih, Emiten Alas Kaki Apa Kabar?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – BPS atau Badan Pusat Statistik mencatat sepanjang 2023 kinerja ekspor industri kulit dan alas kaki Indonesia melemah. Secara volume dan nilai ekspor turun dari kinerja tahun 2022.

    Sepatu olahraga, sepatu teknik lapangan/keperluan industri, alas kaki sehari-hari, barang dari kulit/kulit buatan, dan kulit disamak merupakan komoditas bagian dari kelompok industri tersebut.

    BPS mengungkapkan, volume ekspor industri kulit dan alas kaki nasional pada 2023 hanya mencapai 376,2 ribu ton. Sementara nilai ekspornya sebesar USD7,6 miliar. Secara berurutan, penurunan volume dan nilai tersebut adalah 14,24 persen dan 15,29 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibanding 2022.

    Komoditas yang paling tertekan kinerja ekspornya pada industri tersebut adalah sepatu olahraga. Volume ekspor sepatu olahraga dari Tanah Air turun 25,15 persen, sedangkan nilai ekspor jatuh 25,78 persen secara tahunan.

    Padahal, data World Population Review menampilkan Indonesia masuk 5 besar produsen alas kaki di dunia. Sepanjang 2023, Indonesia memproduksi 660 juta pasang sepatu. Di urutan pertama ada China yang menghasilkan 12,6 miliar pasang sepatu dalam setahun.

    Adapun pada 2024, industri alas kaki nasional masih menghadapi tantangan berat. Soalnya, BPS masih mencatat nilai ekspor alas kaki mencapai USD1,6 miliar hingga kuartal I 2024. Meski mengalami kenaikan dengan 0,49 persen yoy dari periode yang sama tahun lalu, dapat dikatakan industri ini masih dalam proses pemulihan.

    Dari dalam negeri, pasar alas kaki diproyeksikan tumbuh membaik. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melihat adanya pertumbuhan positif industri alas kaki sekitar 5,90 persen yoy. Karena dari periode yang sama tahun lalu, industri masih terkontraksi minus 2,75 persen yoy.

    Hal ini dibuktikan oleh riset Statista yang menunjukkan bahwa pasar alas kaki di Indonesia masih menjanjikan. Data Statista memperlihatkan rata-rata pertumbuhan pendapatan tahunan pasar alas kaki nasional berkisar 5,50 persen pada periode 2024 sampai 2028.

    Untuk tahun ini saja, pendapatan pasar alas kaki Tanah Air diperkirakan tembus USD5,49 miliar. Segmen alas kaki kulit diperkirakan menjadi kontributor utama dengan potensi pendapatan sebesar USD2,34 miliar pada tahun ini.

    Emiten Alas Kaki

    Kondisi industri alas kaki yang belum sepenuhnya pulih saat ini memiliki dampak terhadap dua emiten produsen sepatu nasional. Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), terdapat dua Perusahaan produsen Sepatu yang telah melantai, yaitu PT Sepatu Bata Tbk (BATA) dan PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA).

    BATA telah menunjukkan seberapa besar dampak pelemahan industri tersebut. PT Sepatu Bata Tbk menutup pabrik di Purwakarta, Jawa Barat, April lalu. Penutupan, menurut manajemen BATA, dilakukan karena imbas kerugian dan tantangan industri akibat pandemi Covid-19. Selain itu, manajemen menyebut ada perubahan perilaku konsumen yang cepat.

    Hal ini dapat dilihat dari kinerja keuangan emiten BATA. Pada 2023, BATA membukukan pendapatan sebesar Rp610 miliar, turun 5,26 persen dati tahun sebelumnya sebesar Rp643,45 persen.

    Laba bersih BATA juga anjlok sebesar 79,57 persen pada 2023. Perseroan membukukan laba bersih minus Rp190,56 miliar tahun itu. Ini merupakan tren yang berlanjut karena pada 2022, laba bersih sebesar minus Rp106,12 miliar.

    Di samping itu, perusahaan mengalami penuruunan aset sekitar 19,10 persen pada 2023 dibanding 2022. Secara berurutan, aset BATA senilai Rp585,74 miliar dan Rp724,07 miliar. Alhasil, performa asetnya jelas rontok hampir 20 persen itu.

    Adapun tercatat, utang PT Sepatu Bata Tbk bertambah 12,38 persen menjadi Rp454 miliar pada 2023. Tahun sebelumnya, utang perusahaan hanya Rp404 miliar.

    Perusahaan yang memproduksi beragam alas kaki meliputi sepatu kulit dan sandal, sepatu kanvas built-up, sepatu santai, sepatu olahraga, dan sandal injection moulded ini memiliki pergerakan harga saham menurun. Hingga Senin, 8 Juli 2024, satu lembar saham BATA dihargai Rp65. Nilainya terus turun jika dibandingkan bulan April yang dihargai Rp96 per lembar saham. Dalam setahun terakhir saja, nilainya anjlok cukup dalam karena pada Juli 2023, satu lembar saham BATA dihargai Rp550.

    Sementara itu, penurunan performa BATA juga kompak dirasakan PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk. Emiten berkode BIMA ini kembali membukukan kerugian sebesar Rp5 miliar pada tahun 2023, angka tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp2 miliar.

    BIMA mencatatkan sedikit kenaikan aset sebesar 0,97 persen menjadi Rp313 miliar pada 2023, dari Rp310 miliar tahun sebelumnya.

    Dengan turunnya pendapatan dan bertambahnya kerugian. Produsen sepatu tersebut juga mencatatkan pembengkakan hutang pada tahun 2023. Tercatat utang BIMA bertambah 8,42 persen menjadi Rp233 miliar dari sebelumnya sekitar Rp223 miliar.

    Sementara perusahaan yang memproduksi beragam alas kaki yang terdiri dari sepatu olahraga dan sepatu kasual, didistribusikan ke pasar lokal dan pasar internasional mencatat penurunan harga saham. Hingga Senin, 8 Juli 2024, satu lembar saham BIMA dihargai Rp77. Nilainya terus turun jika dibandingkan bulan April yang dihargai Rp82 per lembar saham. Dalam setahun terakhir saja, nilainya anjlok cukup dalam karena pada Juli 2023, satu lembar saham BIMA dihargai Rp88.

    Adapun meski Pemerintah menilai industri alas kaki telah memasuki fase pemulihan, tingkat kecepatan pulih industri belum dapat terhitung. Pertumbuhan pasar alas kaki domestik diproyeksikan positif, ditopang oleh peningkatan pendapatan masyarakat.

    Namun, dua emiten produsen sepatu nasional, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) dan PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA), masih merasakan dampak dari pelemahan industri ini. Penurunan pendapatan dan laba bersih, serta pembengkakan utang, tercermin dalam performa keuangan mereka.

    Dari sisi pergerakan harga saham, BIMA cenderung stabil meski pernah mencapai puncak tertinggi di harga Rp150 per lembar saham, sedangkan BATA terus mengalami penurunan signifikan. Namun dari kinerja keuangannya, BATA sedikit lebih unggul dibandingkan BIMA. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.