KABARBURSA.COM – Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), industri tekstil dan pakaian mengalami peningkatan dengan pertumbuhan yang tergolong ekspansif dengan indeks sebesar 57,40 persen. Sejalan dengan itu, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga mengalami peningkatan sebesar 55,36 persen.
Sementara itu, mengacu pada data yang dirilis Kementerian Perindustrian (Kemenperin), realisasi investasi, nilai investasi sektor industri tekstil dan pakaian jadi, serta industry kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga tumbuh meyakinkan di kuartal I/2024.
Di sektor tersebut, nilai investasi meningkat mencapai Rp27,9 triliun pada tahun 2023. Sedangkan pada tahun 2022, nilai investasi di industri tersebut hanya berada di angka Rp24,6 triliun. Sementara di kuartal I/2024, nilai investasi sebesar Rp6,9 triliun atau meningkat 40 persen jika dibandingkan dua periode sebelumnya.
Kendati begitu, pemerintah dianggap hanya menghitung nilai ekspor dari sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan nilai investasi pabrik yang berorientasi ekspor. Pasalnya, menurut catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat 6 perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi dengan total 13.800 pekerja sepanjang tahun 2024.
“Barangkali pemerintah hanya menghitung dari ekspor TPT dan investasi pabrik tekstil orientasi ekspor,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dihubungi Kabar Bursa, Kami, 13 Juni 2024.
KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.
Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur. Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
“Pabrik-pabrik local oriented yang market-nya pasar dalam negeri pada rontok tutup atau efesiensi PHK,” jelasnya.
Kendati belum dapat memberi angka pasti terkait nilai investasi sektor TPT di pasar lokal, Ristadi mengkhawatirkan kebutuhan sandang masyarakat Indonesia terus didorong untuk mengonsumsi barang-barang impor. Menurutnya, hal itu pula yang mematikan industry produsen TPT dalam negeri.
“Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat disektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” ungkapnya.
Ristadi tak menutup kemungkinan akan tumbuh investasi di industri tekstil yang untuk pada produsen barang ekspor yang bukan diperuntukkan sebagai konsumsi masyarakat Indonesia itu sendiri. Bukan tanpa contoh, dia menyebut gejala nyata yang terlihat nyaris di seluruh lapisan masyarakat yang gemar mengenakan produk ekspor.
“Seperti (menjamurnya) pabrik suplyer Adidas, Nike, New Balance, dan lain-lain, itu kan semua export oriented,” tegasnya.
Dalam hal ini, Ristadi berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui kementerian terkait, bisa membatasi impor dan memberantas produk TPT ilegal. Dengan begitu, industri TPT bisa eksis di pasar domestik.
“Amankan pasar dalam negeri agar barang-barangnya diisi oleh barang-barang produk sendiri. Sehingga pabrik produsen laku barangnya, pabrik bisa eksis dan hindari PHK,” pungkasnya.
Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.
Kebijakan Relaksasi Impor
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, menilai langkah pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Peraturan Impor atau kebijakan relaksasi impor sebagai kemunduran.
Pasalnya, produk tekstil impor berpotensi membanjiri pasar domestik karena para importir atau pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) tidak lagi wajib mengurus Persetujuan Teknik (Pertek). Dengan adanya Pertek, data administrasi impor lebih tertata dan neraca komoditas untuk industri TPT terbentuk dengan baik.
“Sekarang, produk TPT lokal harus berhadapan langsung dengan produk impor dalam kompetisi yang tidak adil,” ujar Danang, dikutip Senin, 28 Mei 2024.
Dia menuturkan, pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) menjadi pihak yang paling dirugikan dengan adanya Permendag 8/2024. Kelompok IKM sering memasok produk tekstil dan garmen ke pusat perbelanjaan. Mereka akan langsung bersaing dengan produk tekstil impor yang masuk tanpa kewajiban Pertek.
API pun mendesak pemerintah kembali memberlakukan kewajiban Pertek sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI) dan memperbaiki peraturan impor agar lebih efektif dan efisien. API juga meminta Kemendag dan Kemenperin untuk tidak saling berkompetisi, melainkan bersinergi untuk menghasilkan kebijakan yang positif bagi pelaku industri padat karya, yang pada akhirnya akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang maksimal.
“Kami melihat tidak ada sinergi antar kementerian/lembaga karena aturan impor terlalu sering direvisi dalam waktu kurang dari setahun,” ungkap Danang. (and/prm)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.