KABARBURSA.COM - Investasi obligasi dinilai menarik bagi generasi Z atau biasa disebut Gen Z. Sebab, instrumen investasi ini memiliki risiko yang sedikit.
Direktur PT Labaforexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyatakan suku bunga investasi obligasi berada di atas suku bunga deposito. Menurut dia, investasi obligasi bukan seperti transaksi.
"Berbeda dengan investasi di luar obligasi yg hanya mencari keuntungan dan cuan secara cepat," ungkap Ibrahim dalam acara webinar ‘Raih Cuan Investasi dari Obligasi’ yang diadakan Kabar Bursa, Kamis 29 Agustus 2024.
Dia menjelaskan, investasi di obligasi bisa dibilang investasi terhadap negara yang mana uang tersebut akan dijadikan sebagai pembangunan untuk Indonesia.
Meski menarik, Ibrahim memandang investasi obligasi masih belum diminati oleh generasi Z. Dia mengatakan hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi terkait investasi ini.
Tips Obligasi Untuk Pemula
Ibrahim kemudian memberikan tips bagi Generasi Z yang belum berpengalaman. Menurut dia, seseorang harus mencari informasi lebih dulu ke perusahaan yang sudah diberikan wewenang melakukan penjualan obligasi.
"Di situlah generasi Z bisa mengetahui secara detail. Gen z ini biasanya selalu mempertanyakan hal klasik, seperti soal keamanan dana," jelasnya.
Ibrahim yakin, andai sudah merasakan manfaat dari obligasi setidaknya satu sampai dua bulan, generasi Z tersebut bakal memberi pengalamannya itu ke rekan-rekannya.
"Dengan dor to dor inilah yg bisa membantu masyarakat ini melakukan investasi di obligasi," ucap dia.
Sementara itu Direktur Riset dan Investasi di Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan ini merupakan momentum yang positif untuk berinvestasi obligasi.
“Di era tingginya tingkat suku bunga saat ini di mana 6,25 persen obligasi akan kasih bunga lebih tinggi dari pada bunga deposito,” ujar dia beberapa waktu.
Nico juga menyebut pajak obligasi saat ini hanya 10 persen, lebih rendah ketimbang pajak deposito yang senilai 20 persen.
“Kebayang tidak sudah bunganya lebih tinggi, pajaknya jauh lebih kecil,” ungkapnya.
Lebih jauh Nico berbicara mengenai cara seseorang untuk memulai berinvestasi obligasi. Menurut dia, para pemula bisa lebih dulu berinvestasi obligasi ritel yang dimulai dari Rp1 juta rupiah.
“Rp1 juta sudah bisa mencoba investasi di obligasi dan bunganya masuknya itu setiap bulan,” pungkasnya.
Faktor Geopolitik Terhadap Obligasi
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, menyebut faktor geopolitik itu untuk pasar obligasi tentunya berpengaruh kepada ketidakpastian. Ketidakpastian itu tidak baguslah istilahnya untuk industri keuangan.
“Saya sampaikan ada beberapa katalis yang akan terjadi di palu kedua tahun ini yang mendokrok pasar obligasi yaitu bunga tambah dengan aliran dana asing masuk juga salah satunya. Kalau pada saat ada ketidakpastian, politik atau perang dan lain-lain itu tentunya akan mempengaruhi inflow yang sebelumnya diarahkan ke pasar. Berkembang seperti Indonesia, mungkin mereka try to quarantine dulu, masuk kepada juga treasury dan lain-lain yang lebih aman,” tegasnya.
Kembali lagi karena dana-dana aliran yang sebelumnya masuk kembali lagi keluar. Hal ini sebenarnya harapannya pada saat ketidakpastian tersebut itu bisa memberikan pasar jadi wait and see dahulu.
Tapi yang mungkin bisa disampaikan adalah biasanya adalah kondisi-kondisi geopolitical ini kurangnya sementar terjadi dan justru bisa memberikan potensi untuk entry level yang menarik .
“Fundamentalnya adalah Indonesia masih kuat, suku bunga masih akan turun kembali, rupiah tentunya akan menguat juga, dan aliran asli akan masuk,” tegasnya.
Dari sisi lainnya, Samuel Kesuma Chieft Investment Officer Manulife menambahkan resiko geopolitik sebagai resiko jangka pendek, tapi memang resiko jangka pendek bisa cukup signifikan.
“So far memang yang kita cukup surprise ya memang apa yang terjadi di Timur Tengah ini tidak terlalu terlihat dampaknya ke harga energi ya. Kalau untuk equity atau pasar saham kalau kita fokus ke pertumbuhan laba emiten tentunya yang kita paling takutkan adalah satu, jangan sampai ada inflasi yang besar-besaran yang mengaruhi daya beli masyarakat,” terangnya.
Samuel menambahkan biasanya kalau ada kondisi geopolitik terutama di Timur Tengah itu nanti tentunya yang ditakutkan adalah harga minyaknya bisa melonjak yang berdampaknya ke rupiah juga dan daya beli. Adapun yang perlu diperhatikan adalah rebalancing dana-dana asing dari US ataupun negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia jadi memang itu harus di perhatikan terus.
“Tapi yang kita syukuri sepertinya walaupun sekarang kondisi geopolitiknya masih cukup panas dapat ke harga energi ataupun harga pangan itu tidak terlalu terlihat tekanannya dan akhirnya ekspektasi inflasi juga relatif cukup terkendali ke depannya,” tutupya.(*)