KABARBURSA.COM – Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai, pendanaan dari badan energi terbarukan internasinal (IRENA) melalui platform ETAF bisa menjadi katalis positif bagi saham energi terbarukan seperti PGEO dan BREN.
Namun, tantangan utama masih ada, termasuk likuiditas rendah dan dominasi batu bara di pasar energi. Jika IRENA benar-benar memberikan bantuan pendanaan kepada perusahaan energi hijau, Ibrahim yakin saham-saham sektor ini akan mengalami kenaikan dalam jangka panjang.
“Kalau saat ini memang ada koreksi, itu wajar. Tapi dalam jangka panjang, energi terbarukan bisa menjadi sektor yang menarik, apalagi jika pendanaan dari IRENA benar-benar terealisasi,” ujarnya kepada kabarbursa.com di Jakarta, Minggu, 23 Maret 2024.
Menurutnya, IRENA menargetkan perubahan besar dalam transisi energi dalam 5-10 tahun ke depan. Namun, investor asing masih melihat sektor ini belum cukup likuid dibandingkan dengan saham batu bara yang masih menjadi primadona.
Batu Bara Masih Dominan
Ibrahim menjelaskan, meski ada dorongan global untuk transisi energi, batu bara masih mendominasi, terutama di negara-negara besar seperti Tiongkok, Jepang, Amerika, dan Eropa.
“Batu bara tetap menjadi pilihan utama karena lebih murah dan masih banyak digunakan untuk kebutuhan energi. Tiongkok, misalnya, 80 persen masih mengandalkan batu bara berkalori rendah untuk pembangkit listrik mereka,” kata Ibrahim.
Ia juga menekankan bahwa peralihan dari batu bara ke energi terbarukan tidak bisa dilakukan secara instan.
“Menghilangkan batu bara butuh proses panjang dan investasi besar, termasuk membangun smelter energi terbarukan yang biayanya tidak kecil,” tambahnya.
Ia menyoroti faktor utama yang menghambat transisi ini, salah satunya adalah biaya. Harga energi terbarukan, termasuk kendaraan listrik, masih lebih mahal dibandingkan energi berbasis fosil. Selain itu, infrastruktur pendukung juga belum sepenuhnya siap.
Menurutnya, dalam 5-10 tahun ke depan, pemerintah masih akan mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, setelah Australia.
“Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Menghapusnya sebagai sumber energi utama bukan perkara mudah. Ini yang harus diperhatikan oleh pasar,” tambahnya.
Meski demikian, Ibrahim mengapresiasi langkah pemerintah dalam terus menggaungkan pentingnya energi hijau. Namun, ia menilai perdagangan karbon yang masih terbatas juga menjadi tantangan bagi pertumbuhan sektor energi terbarukan.
“Butuh waktu yang cukup lama untuk energi hijau berkembang. Tapi, jika ada perusahaan yang mulai bergerak ke arah ini, itu sudah langkah yang bagus, walaupun masih tertatih-tatih,” ujarnya.
Tantangan Energi Hijau
Ibrahim menilai bahwa akses pendanaan dari ETAF IRENA dapat menjadi katalis positif bagi valuasi saham emiten energi hijau, tetapi dengan sejumlah tantangan.
“IRENA adalah organisasi global yang berfokus pada investasi energi terbarukan, lahir dari forum G20. Banyak perusahaan di ASEAN, termasuk Indonesia, berlomba-lomba mendapatkan pendanaan ini. Namun, proposal yang diajukan harus melalui studi kelayakan ketat untuk memastikan kelangsungan proyek," ujar Ibrahim.
Menurut Ibrahim, jika PGEO atau BREN berhasil mendapatkan pendanaan dari ETAF, dampaknya terhadap valuasi saham mereka bisa cukup signifikan. Namun, ia mengingatkan bahwa proyek energi hijau seperti biogas bersifat jangka panjang dan memerlukan modal besar.
“Dana masyarakat di pasar modal belum cukup kuat untuk mendanai proyek energi hijau berskala besar. Oleh karena itu, investasi dari lembaga global seperti IRENA sangat penting agar emiten energi hijau bisa berkembang dan bersaing secara global,” tambahnya.
Ibrahim menyoroti bahwa meskipun tren investasi asing mulai bergeser ke energi hijau, likuiditas saham sektor ini di BEI masih kalah dibanding sektor tradisional seperti batubara dan perbankan.
Hal ini disebabkan oleh infrastruktur yang belum sepenuhnya siap serta kebutuhan modal yang sangat besar untuk membangun fasilitas energi terbarukan seperti smelter dan pembangkit listrik berbasis hijau.
"Batubara masih menjadi sumber energi utama karena kebutuhan yang tinggi, terutama di negara-negara dengan konsumsi listrik besar. Meski transisi energi terus didorong, membangun ekosistem energi hijau tidak semudah yang dibayangkan dan membutuhkan waktu serta investasi besar,” ujarnya.
Dengan semakin terbukanya akses pendanaan global, para investor kini menantikan bagaimana emiten energi hijau di Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi mereka di pasar modal.
Energi Terbarukan Berjalan Lambat
Ketidakpastian revisi UU Energi baru dan Energi Terbarukan (UU EBET) membuat perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan lambat.
Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, menilai tanpa aturan yang jelas, investor masih berhati-hati menanamkan modalnya di sektor ini karena insentif, tarif listrik, hingga mekanisme transisi energi yang belum sepenuhnya tertata.
Katherine mengatakan keterlambatan regulasi ini sudah berdampak nyata pada proyek-proyek energi hijau di Indonesia.
“Capaian bauran energi yang tidak terpenuhi dari tahun ke tahun menjadi salah satu indikasinya. Saat ini, belum ada regulasi pendukung berupa insentif atau instrumen hukum yang benar-benar mendorong transisi energi bersih,” ujar Katherine kepada kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.
Meski dihadapkan pada berbagai kendala, menurut Catatan CREA, proyek energi terbarukan yang prospektif saat ini mencapai 45 GW. Jika dikelola dengan baik, angka ini bisa melampaui target energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2030 yang ditetapkan sebesar 38 GW. Katherine juga menyoroti selain percepatan proyek energi hijau, perhatian juga perlu diberikan pada pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang masih berbasis batu bara.
"Yang seharusnya dipertanyakan adalah proyek PLTU mana saja yang sudah dibatalkan? PLN misalnya, membatalkan proyek PLTU sebesar 13,3 GW, sementara Hyundai juga menarik diri dari pembelian aluminium Adaro yang diproduksi dengan PLTU batu bara. Ini menunjukkan bahwa peralihan ke energi terbarukan bukan hanya untuk memenuhi komitmen iklim, tetapi juga demi keberlanjutan bisnis," jelasnya. (*)