Logo
>

Kebijakan Trump tak Lagi Tekan Pasar, Wall Street Pulih ke Level Tertinggi

Wall Street menanjak, indeks S&P 500 dan Nasdaq mendekati rekor, meski inflasi dan ancaman tarif baru masih membayangi kebijakan The Fed.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Kebijakan Trump tak Lagi Tekan Pasar, Wall Street Pulih ke Level Tertinggi
Wall Street menguat ke level tertinggi baru. Pasar mulai pulih meski inflasi AS naik dan ancaman tarif Trump masih menyelimuti arah suku bunga The Fed. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Wall Street kembali menguat pada perdagangan Sabtu, 28 Juni 2025, dini hari WIB. Indeks S&P 500 naik 0,2 persen dan berada di ambang rekor tertinggi yang terakhir dicetak Februari lalu. Nasdaq Composite menambahkan kurang dari 0,1 persen—hanya sejengkal dari rekor baru—sementara Dow Jones Industrial Average terdongkrak 261 poin atau 0,6 persen ke posisi 43.647.

Jika ditutup di zona rekor, S&P 500 menandai balik arah dramatis dibanding beberapa bulan silam saat indeks acuan ini sempat terkoreksi hampir 20 persen karena kekhawatiran pasar atas kebijakan dagang Presiden Donald Trump.

Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, kenaikan hari ini berlangsung merata. Hampir seluruh sektor dalam S&P 500 menghijau. Saham Nike mencatat lonjakan terbesar di bursa—melompat 14,8 persen—meski emiten perlengkapan olahraga itu mengingatkan bakal terkena dampak signifikan dari tarif impor.

Pasar tampaknya kian tenang menanggapi potensi gangguan pasokan minyak akibat perang Israel–Iran. Gencatan senjata masih bertahan, dan harga minyak di Amerika Serikat nyaris tidak berubah pada sesi ini—bahkan telah kembali ke level sebelum konflik.

Pelaku pasar juga mencermati perkembangan gesekan dagang antara Washington dan Beijing. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan kedua negara menandatangani kesepakatan yang memudahkan perusahaan Amerika memperoleh magnet dan mineral tanah jarang dari China—komponen krusial bagi industri manufaktur dan semikonduktor.

Kementerian Perdagangan China menyebut kedua pihak telah “mengonfirmasi detail kerangka” perundingan, meski belum secara eksplisit menjamin akses Amerika atas mineral strategis tersebut.

Rilis data inflasi pada Jumat menunjukkan harga konsumen naik tipis pada Mei, sejalan dengan proyeksi ekonom. Meski demikian, inflasi masih menjadi momok bagi dunia usaha dan rumah tangga. Kebijakan tarif yang naik-turun di era Trump membuat korporasi kesulitan menyusun proyeksi.

Sejumlah produsen mobil hingga peritel telah memperingatkan bahwa bea impor lebih tinggi dapat memangkas pendapatan dan laba mereka, sekaligus menambah beban bagi konsumen yang sudah terimpit kenaikan harga.

Ancaman Tarif Balasan bisa Guncang Pasar di Paruh Kedua 2025

Amerika Serikat masih menerapkan tarif dasar sebesar 10 persen atas seluruh barang impor, ditambah pungutan lebih tinggi terhadap produk asal China, baja, dan mobil. Meski tekanan itu terasa, perekonomian dan daya beli konsumen sejauh ini masih cukup tangguh. Namun, para analis memperkirakan dampaknya akan makin terasa seiring beban tarif yang kian tersalur dari pelaku usaha ke konsumen.

“Meski kami sebenarnya memperkirakan efek tarif ini sudah akan terlihat lebih jelas dalam data inflasi, kami tetap yakin dampaknya baru akan muncul secara lebih berarti dalam beberapa bulan ke depan,” kata Kepala Pendapatan Tetap AS dan manajer portofolio di Janus Henderson, Greg Wilensky.

Ancaman perluasan tarif juga belum benar-benar sirna. Masa jeda penerapan tarif balasan terhadap sejumlah negara akan berakhir pada Juli. Gagalnya negosiasi lanjutan atau keputusan memperpanjang masa jeda itu bisa kembali mengguncang pasar dan melemahkan kepercayaan konsumen.

Bank Sentral AS, Federal Reserve, terus mencermati perkembangan tarif dengan perhatian khusus pada inflasi. Laju inflasi kini bertahan sedikit di atas target 2 persen. Laporan terbaru pada Jumat lalu menunjukkan indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), indikator inflasi favorit The Fed, naik ke 2,3 persen pada Mei, dari 2,1 persen pada bulan sebelumnya.

The Fed sempat dua kali memangkas suku bunga pada akhir 2024 setelah sebelumnya melakukan rangkaian kenaikan tajam demi menjinakkan inflasi. Pada 2022, indeks PCE sempat menyentuh 7,2 persen dan indeks harga konsumen (CPI) bahkan melesat hingga 9,1 persen.

Namun, sejak awal 2025, The Fed belum melanjutkan pemangkasan suku bunga. Kekhawatiran bahwa tarif bisa kembali menyulut inflasi menjadi alasan utama. Meski begitu, sejumlah ekonom masih memperkirakan setidaknya dua kali pemangkasan suku bunga bakal dilakukan sebelum akhir tahun.

Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang 10 tahun AS naik tipis ke 4,28 persen dari 4,24 persen sehari sebelumnya. Yield obligasi dua tahun, yang lebih sensitif terhadap ekspektasi kebijakan suku bunga The Fed, juga menguat ke 3,74 persen. Sementara itu, pasar saham Eropa ditutup menguat, sedangkan bursa saham Asia berakhir variatif.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).