Masalah kelas menengah di dalam negeri tidak boleh diabaikan, terutama ketika Indonesia bertekad menjadi negara maju. Pasalnya, jumlah kelas menengah di Indonesia terbilang cukup besar dan berdampak pada ekonomi.
Mantan Menteri Keuangan RI 2013-2014 Chatib Basri mengingatkan pemerintah tidak boleh abai terhadap nasib masyarakat kelas menengah di Indonesia, jika ingin menjadi negara maju. Menurutnya, Indonesia harus belajar dari Chile. Negara ini adalah negara dengan kinerja ekonomi ciamik di antara negara-negara Amerika Latin.
"Chile adalah sebuah negara di Latin Amerika dengan income per kapita ter tinggi. Chile adalah sebuah negara dengan human development index terbaik di Latin Amerika. Bahkan Chile mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari 53 persen menjadi 6 persen, sangat mengesankan," ungkapnya dalam akun Instagram pribadinya @chatibbasri, dikutip Senin, 12 Februari 2024.
Ironisnya, meskipun Chile memiliki kinerja ekonomi yang hebat pada Oktober 2019, negara itu dilanda unjuk rasa besar yang hampir saja berujung pada revolusi. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kelas menengah.
Fenomena ini dikenal sebagai "the Chilean Paradox." Menurut Sebastian Edwards dari UCLA, salah satu alasan utamanya adalah kurangnya perhatian terhadap kelas menengah.
Menurut Chatib Basri, Indonesia perlu mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di Chile. Indonesia harus memperluas perlindungan sosial untuk kelas menengah, meningkatkan kualitas layanan publik, tata kelola pemerintahan yang bersih, dan memastikan keadilan.
Dia menyebut kelas menengah ini sebagai "Professional complainers." Masalah yang dihadapi oleh kelas menengah akan semakin relevan untuk Indonesia.
Studi yang dilakukan oleh Dartanto dan Can (2023) menunjukkan bahwa antara tahun 2019-2022, manfaat kebijakan pemerintah terutama terfokus pada 20 persen kelompok terbawah dan 10 persen kelompok teratas. Kelompok kelas menengah, terutama di persentil 60 persen-80 persen, dilupakan dan bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Kelas menengah tidak merasakan dampak apapun dari pertumbuhan ekonomi yang pesat. Mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan sosial karena tidak termasuk dalam kelompok miskin, namun mereka juga tidak menikmati pertumbuhan ekonomi seperti kelas atas.
Gap antara harapan dan realita menjadi semakin besar, di mana kemajuan yang terjadi dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi kelas menengah.
Peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu negara akan menghasilkan kelas konsumen baru yang memiliki implikasi ekonomi dan politik. Kelas konsumen baru ini, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik yang lebih baik serta tata kelola pemerintahan yang lebih baik pula. Mereka cenderung lebih cerewet dan kritis terhadap pelayanan publik dan keadilan.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kebijakan pemerintah selama ini belum terlalu fokus pada menjaga daya beli kelas menengah. Pemerintah cenderung fokus pada penanganan ekonomi masyarakat miskin atau kelas terbawah, melalui program bantuan sosial. Belum ada fokus kebijakan yang khusus ditujukan untuk kelas menengah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kelas menengah memiliki variasi dalam perilaku dan daya beli mereka, tergantung pada percentile kelasnya. Oleh karena itu, untuk mendukung keberlangsungan hidup kelas menengah, pemerintah perlu memastikan bahwa sektor pelayanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, air bersih, listrik, dan internet, tersedia dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik. Dengan demikian, masyarakat kelas menengah dapat memenuhi kebutuhan mereka dan terus memperjuangkan peningkatan kualitas hidup mereka.