KABARBURSA.COM - Rencana akuisisi GOTO oleh Grab kembali menghangat. Di tengah sorotan publik dan ketatnya pengawasan regulator, muncul peran baru dari pemain domestik: Danantara.
Lembaga pengelola investasi milik pemerintah ini disebut sedang menjajaki kemungkinan menjadi bagian dari transaksi besar yang melibatkan dua raksasa teknologi Asia Tenggara tersebut.
Menurut laporan Bloomberg yang beredar akhir pekan ini, Danantara tengah melakukan pembicaraan awal untuk masuk sebagai pemegang saham minoritas di entitas gabungan jika akuisisi GOTO oleh Grab benar-benar terjadi.
Langkah ini diyakini sebagai upaya pemerintah untuk tetap menjaga kepentingan nasional di tengah dinamika bisnis digital yang semakin kompleks, terutama karena Grab merupakan perusahaan yang berbasis di Singapura dan terdaftar di bursa saham Amerika Serikat.
Belum ada konfirmasi resmi dari Grab, GOTO, maupun Danantara. Namun sumber yang mengetahui jalannya pembicaraan menyebut bahwa keterlibatan Danantara berpotensi menjadi solusi strategis, guna meredakan kekhawatiran pemerintah Indonesia terhadap dominasi investor asing di sektor teknologi dalam negeri.
Danantara Mirip Temasek Singapura
Perlu dicatat, Danantara bukan lembaga biasa. Diluncurkan pada Februari lalu, Danantara dirancang sebagai entitas investasi negara yang mirip dengan Temasek milik Singapura.
Tugasnya bukan hanya mengelola portofolio saham pemerintah di berbagai BUMN, tetapi juga aktif menanamkan modal di sektor-sektor strategis seperti teknologi, pemrosesan logam, hingga kecerdasan buatan.
Jika rencana masuk ke GOTO terealisasi, ini bisa menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin ikut terlibat dalam percaturan kekuatan ekonomi digital kawasan.
Sementara itu, proses pembicaraan antara Grab dan GOTO sendiri belum sepenuhnya rampung. Menurut laporan Reuters bulan lalu, nilai akuisisi yang dibahas berada di kisaran USD7 miliar, dengan target penyelesaian pada kuartal kedua tahun ini.
Namun prosesnya kini berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan. Sumber-sumber menyebutkan bahwa potensi tuntutan regulasi di beberapa negara, termasuk Indonesia, menjadi faktor penghambat utama.
KPPU Sudah Ambil Langkah Antisipatif
Di dalam negeri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah mengambil langkah antisipatif. Bulan lalu, KPPU mengumumkan sedang melakukan kajian awal terhadap potensi dampak merger GOTO-Grab terhadap struktur pasar dan persaingan usaha.
Meskipun belum ada pengumuman resmi mengenai merger, KPPU menganggap penting untuk mencermati dinamika yang terjadi, mengingat besarnya skala dan pengaruh dua perusahaan ini terhadap ekosistem digital nasional.
Jika benar Danantara masuk sebagai pemegang saham minoritas dalam entitas baru hasil merger, ini akan menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara masuknya investasi global dan perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi digital Indonesia.
Pemerintah melalui Danantara tampaknya ingin memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga, tanpa harus menghambat arus modal asing yang dibutuhkan untuk memperkuat sektor teknologi.
Arah final dari pembicaraan antara Grab dan GOTO memang belum sepenuhnya jelas. Namun kehadiran Danantara dalam wacana ini menandai satu hal: negara tidak tinggal diam dalam melihat pergeseran besar yang sedang terjadi di sektor digital.
Ketika dua raksasa teknologi regional bersiap bergabung, pemerintah Indonesia tampaknya ingin tetap punya andil dalam menentukan masa depan ekosistem ekonomi digital di tanah air.
Posisi GOTO di Pasar Saham: Seperti Hidup Segan Mati Tak Mau
Di balik nama besarnya sebagai pionir ekosistem digital Indonesia, perjalanan GOTO di pasar saham justru menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Perusahaan hasil merger dua entitas besar, Gojek dan Tokopedia, itu kini berhadapan dengan kenyataan bahwa valuasi tinggi tidak selalu sejalan dengan performa finansial yang stabil.
Data terakhir menunjukkan bahwa GOTO masih berjuang untuk menggapai profitabilitas. Dari sisi laba bersih, perusahaan kembali mencatatkan rugi Rp283 miliar pada kuartal I 2025.
Meski angka ini membaik dibandingkan kerugian besar di tahun-tahun sebelumnya, secara keseluruhan GOTO masih belum mampu mencetak laba yang dapat diandalkan.
Nilai valuasi pun mencerminkan kondisi tersebut. Rasio price to earnings (PE), yang biasanya menjadi tolok ukur apakah sebuah saham dinilai mahal atau murah, tercatat negatif.
Forward PE bahkan menyentuh angka -168, yang menandakan bahwa ekspektasi laba ke depan masih belum meyakinkan. Bandingkan dengan median PE IHSG yang stabil di angka 8, GOTO masih sangat jauh tertinggal.
Laba per saham (EPS) juga berada di wilayah negatif. Ini berarti setiap lembar saham GOTO belum memberi nilai tambah riil bagi pemegangnya.
Tak heran bila sejumlah indikator lain seperti return on equity (ROE) dan return on assets (ROA) juga mencatatkan minus, mencerminkan bahwa dana yang ditanamkan investor belum memberi imbal hasil memadai.
Fundamental Kuat Bikin GOTO Bertahan
Namun di balik tantangan itu, GOTO masih memiliki sejumlah kekuatan fundamental yang tak bisa diabaikan. Rasio lancar perusahaan yang berada di atas dua menunjukkan kondisi likuiditas yang sehat.
Artinya, GOTO masih sangat mampu membayar seluruh kewajiban jangka pendeknya. Posisi kas perusahaan pun cukup kuat, dengan simpanan tunai lebih dari Rp19 triliun dan tingkat utang yang relatif rendah.
Di pasar saham, performa GOTO masih bergejolak. Dalam tiga bulan terakhir, harga sahamnya turun lebih dari 25 persen. Bahkan, jika ditarik sejak tiga tahun lalu, penurunan nilai mencapai lebih dari 80 persen.
Meski begitu, sepanjang satu tahun terakhir harga sahamnya justru mengalami sedikit kenaikan—menunjukkan ada sinyal optimisme dari sebagian pelaku pasar bahwa fase terburuk mungkin sudah lewat.
Meski belum mencetak untung, efisiensi operasional GOTO mulai tampak dari metrik seperti cash conversion cycle yang tercatat negative. Metrik ini mengindikasikan perusahaan mampu mengelola arus kas dengan baik.
Ini bisa menjadi sinyal bahwa manajemen berusaha memangkas inefisiensi dan mempercepat perputaran kas.
Sampai Kapan GOTO Mencari Pijakan?
Pertanyaannya, sampai kapan pasar bisa bersabar? Sebab ekspektasi besar terhadap GOTO tak bisa berlangsung tanpa batas.
Kebutuhan untuk membuktikan profitabilitas bukan hanya penting dari sisi bisnis, tapi juga dari perspektif kepercayaan investor, terutama ritel, yang selama ini jadi tulang punggung perdagangan saham di bursa domestik.
Kini, publik juga menantikan kejelasan soal kabar rencana akuisisi GOTO oleh Grab, yang disebut-sebut bernilai hingga USD7 miliar.
Jika kesepakatan itu benar-benar terjadi, dan struktur investasinya dirancang secara strategis—misalnya dengan melibatkan investor negara seperti Danantara—bukan tidak mungkin ini bisa menjadi momentum baru bagi GOTO keluar dari tekanan.
Untuk saat ini, GOTO adalah gambaran klasik dari perusahaan teknologi yang sedang mencari pijakan finansial yang kokoh. Ia punya aset, punya pasar, dan punya potensi. Tapi semua itu baru akan bermakna jika mampu diubah menjadi profit yang berkelanjutan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.