KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan mencatat nilai transaksi bursa karbon Indonesia masih minim, yakni tercatat sebesar Rp 35,3 miliar dari September 2023 hingga April 2024.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu Boby Wahyu Hernawan menyampaikan, transaksi senilai Rp 35,3 miliar tersebut berasal dari 57 partisipan, dengan frekuensi transaksi mencapai 60.
Adapun Boby mengungkapkan, alasan frekuensi transaksi bursa karbon di Indonesia masih minim, karena berbagai pihak belum sepenuhnya menyadari bahwa nilai ekonomi karbon yang bisa dapat di monetisasi, bahkan bisa diperdagangkan.
"Kenapa masih juga agak tipis frekuensi transaksi dan sebagainya? pertanyaannya adalah kembali kepada supply dan demand bagaimana para pihak itu aware tentang bahwa ada nilai ekonomi karbon yang bisa dapat di monetisasi, bisa diperdagangkan dan sebagainya," kata Bobby dalam acara Media Gathering di Bogor, Rabu 29 Mei 2024.
Sementara total volume perdagangan karbon mencapai 572 ribu ton CO2 ekuivalen. Untuk jumlah frekuensi transaksinya sudah mencapai 60.
"Nah sekali lagi peran dari kita untuk menggalakkan ke semua pihak untuk bisa melakukan upaya pengurangan CO2 dan mendapatkan manfaat dari bursa karbon,” tutur Boby.
Ia berharap agar transaksi bursa karbon ke depannya dapat terus meningkat. Hal ini sejalan dengan potensi supplier pengurangan karbon yang dinilai bermanfaat utamanya untuk sektor kehutanan dalam negeri.
Secara umum Indonesia adalah potensi supplier pengurangan karbon sangat luar biasa baik dari sektor kehutanan terutama," katanya.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pengguna jasa busa karbon naik tiga kali lipat menjadi 62 perusahaan sejak diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 28 Mei 2024.
Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Lufaldy Ernanda mengatakan dari 62 perusahaan, sekitar 6-8 di antaranya merupakan perbankan. Meski hanya sekitar 10 persen–12 persen, akan tetapi sektor tersebut merupakan yang paling aktif.
Sementara itu, OJK mencatat total transaksi sebesar Rp 36,75 miliar, dengan rincian 49 persen di pasar reguler, 28 persen pasar negosiasi, dan 23 persen lelang.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa pendirian bursa karbon Indonesia merupakan momentum bersejarah Indonesia dalam mendukung upaya Pemerintah mengejar target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai ratifikasi Paris Agreement.
“Bursa karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon besar dan terpenting di dunia karena volume maupun keragaman unit karbon yang diperdagangkan dan kontribusinya kepada pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia. Hari ini kita memulai sejarah dan awal era baru itu,” kata Mahendra dalam keterangan tertulis.
Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK, sebesar 31,89 persen (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2 (dengan dukungan internasional) dari tingkat emisi normalnya (atau Business As Usual) pada 2030.
Hal tersebut seiiring dengan berlakunya UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), OJK memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia.
Pembeli Bursa Karbon
Bursa karbon Indonesia masih berusia muda, diluncurkan pada 26 September 2023. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun lalu tercatat dua perusahaan sebagai penjual, yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PLTP Lahendong Unit 5 dan 6) dan PT PLN Nusantara Power (PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang), serta ada 27 perusahaan pembeli di bursa karbon.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Menurut Inarno Djajadi sejak peluncurannya, terdapat 52 pengguna jasa terdaftar di bursa karbon. Mereka berasal dari berbagai sektor seperti energi, kehutanan, lembaga jasa keuangan (perbankan dan sekuritas), konsultan, dan sektor lainnya, termasuk media. “Jumlah pengguna jasa ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencatat 46 perusahaan pengguna jasa di tahun 2023,” katanya dikutip.
Hingga 18 Maret 2024, total nilai transaksi mencapai Rp 31,36 miliar, meningkat dari Rp 30,91 miliar hingga akhir tahun 2023. Menurut Inarno, perdagangan karbon menjadi target utama bagi banyak negara di dunia. “Bahkan dalam lima tahun terakhir, bursa karbon telah muncul di sejumlah negara seperti Malaysia, China, Korea Selatan, Inggris, dan Uni Eropa,” ujarnya.
Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Lufaldy Ernanda menyatakan bahwa meskipun terjadi peningkatan pengguna jasa bursa karbon, tidak ada target khusus untuk industri yang harus terdaftar. “Estimasi plus minus 99 pembangkit listrik yang terdaftar di Apple Gatrik,” tambahnya.
Ia menargetkan adanya penambahan sekitar 100 pengguna pada tahun 2024.