KABARBURSA.COM - Di tengah derap langkah ekonomi yang disebut-sebut terus tumbuh, kenyataan pahit menganga lebar di Indonesia. Kesenjangan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS), semakin menggurita, dengan korporasi besar yang tak henti-hentinya memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Kesenjangan ini seolah menunjukkan bahwa hanya segelintir orang yang menikmati kemewahan pertumbuhan ekonomi, sementara sebagian besar lainnya kian tersisih.
Berdasarkan Laporan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin, CELIOS mengungkapkan bahwa kekayaan 50 triliuner teratas di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta warga Indonesia. Ironisnya, angka yang memukau ini mencerminkan bagaimana ekonomi Indonesia semakin tidak terdistribusi dengan baik.
"Total kekayaan ini pun setara dengan 2,45 persen APBN 2024 dan 4,11 persen dari Target Penerimaan Pajak 2024," tulis laporan tersebut yang dirilis pada Kamis, 26 September 2024.
Yang lebih mencengangkan, CELIOS juga menggambarkan realitas mengejutkan, jika lima orang terkaya di Indonesia menghabiskan Rp2 miliar setiap hari, mereka akan membutuhkan 630 tahun untuk menghabiskan kekayaan gabungan mereka. Angka ini bukan sekadar fantasi, melainkan bukti nyata ketimpangan luar biasa yang terus dibiarkan tumbuh tanpa kontrol berarti.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif CELIOS, menyatakan bahwa laporan ini menyoroti betapa buruknya distribusi pertumbuhan ekonomi.
Dia mengatakan Sejak 2020, kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15 persen.
Hal ini semakin mempertegas ketidakadilan struktural dalam ekonomi Indonesia. Mobilitas sosial semakin terhambat, dan peluang untuk memperbaiki nasib terasa semakin jauh bagi banyak kalangan pekerja.
"Ini adalah cerminan ketimpangan yang semakin menghambat mobilitas sosial," ungkapnya.
Laporan ini juga menyentil fenomena ironis, di mana para triliuner Indonesia yang mengeruk kekayaan dari tanah air justru memilih bermukim di Singapura demi menikmati kebijakan pajak yang lebih menguntungkan. Di sisi lain, rakyat kecil terjerat utang dengan bunga tinggi, berjuang mati-matian sekadar untuk bertahan hidup.
"Masyarakat kelas bawah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, dengan banyak di antaranya terjebak dalam siklus utang berbunga tinggi," jelas dia.
Media Wahyudi Askar, Direktur Keadilan Fiskal CELIOS, menyebut bahwa langkah tegas sangat dibutuhkan dari pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan ini. Kebijakan pengampunan pajak dan insentif fiskal saat ini hanya menguntungkan korporasi besar dan orang kaya.
"Sementara masyarakat kelas menengah-bawah dipaksa patuh membayar pajak," tambah dia.
Ini adalah potret ironi kebijakan ekonomi, yang kaya semakin kaya dengan berbagai insentif, sementara yang miskin tak kunjung mendapatkan bantuan berarti.
Laporan CELIOS ini juga memperingatkan pemerintahan mendatang untuk memanfaatkan potensi besar dari pajak terhadap kekayaan super kaya sebagai alternatif membiayai janji-janji politik yang seringkali fantastis.
“Dengan penerimaan dari pajak kekayaan tadi, negara mampu membiayai program makan siang gratis sekitar 15 juta warga negara selama setahun,” pungkas Media Askar.
Di tengah gambaran suram ini, CELIOS merekomendasikan penerapan pajak kekayaan progresif, penguatan kebijakan anti-monopoli, dan peningkatan akses kredit bagi usaha kecil dan menengah. Langkah-langkah ini diharapkan mampu memperbaiki ketimpangan yang kian dalam dan mengembalikan harapan pada ekonomi yang lebih berkeadilan.
Peneliti CELIOS, Galau D. Muhammad, menambahkan bahwa negara sebenarnya bisa meraih penerimaan tambahan signifikan dengan mengenakan pajak sebesar dua persen terhadap 50 orang terkaya di Indonesia.
"Asumsi pajak ini dapat menghasilkan Rp81,6 triliun yang dapat digunakan untuk membangun sekitar 339 ribu rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” jelas Galau.
Pertambahan Utang Dalam Satu Dekade
Ekonom yang juga peneliti Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti lonjakan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pertambahan utang dalam satu dekade terakhir tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Pemerintah sering kali berargumen bahwa utang digunakan untuk keperluan produktif, namun data menunjukkan hal sebaliknya.
Awalil menyebut ada empat indikasi utama yang menunjukkan bahwa peningkatan utang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertama, kenaikan pendapatan negara tidak signifikan dibandingkan dengan peningkatan utang.
Menurut Awalil, rasio utang pemerintah atas pendapatan negara pada 2024 mencapai 315,81 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan saat Jokowi pertama kali menjabat pada 2014, yakni sebesar 168,27 persen.
Indikasi kedua adalah nilai aset tetap pemerintah yang tidak sebanding dengan jumlah utang yang terus meningkat. Pada 2023, utang pemerintah pusat tercatat sekitar Rp8.144 triliun, sementara nilai aset tetap pemerintah hanya hampir mencapai Rp7.000 triliun. Awalil menjelaskan lonjakan nilai aset ini terjadi karena revaluasi aset tetap pemerintah pada 2017-2018, bukan karena pembangunan baru yang signifikan.
“Misalnya jalan tol yang bertambah, sedangkan pertambahan jalan nasional lebih sedikit dibandingkan era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),” kata Awalil dalam diskusi Forum Insan Cita secara virtual, dikutip.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.