KABARBURSA.COM - Harga kopi dunia sedang berada dalam fase yang menarik, yaitu fluktuatif tetapi dalam tren menanjak. Ketidakpastian pasokan dari negara produsen besar seperti Brasil dan Vietnam akibat cuaca ekstrem serta ketegangan geopolitik, ditambah dengan naiknya biaya logistik global, mendorong harga biji kopi arabika dan robusta ke level yang membuat pelaku industri waspada dan sebagian lainnya justru bersiap panen peluang.
Pada 2024, kekeringan yang terjadi di Brasil dan fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan tinggi di Vietnam menghambat produksi kopi pada Juli. Beberapa bulan kemudian, tepatnya November, harga kopi robusta berjangka untuk pengiriman Januari 2025 mencapai lebih dari USD5.500 per ton, tertinggi sejak 2008. Sementara itu, harga kopi arabika melampaui USD7.300 per ton, rekor tertinggi sejak 1977.
Untuk Januari 2025, harga kopi dunia kembali menguat. Di bursa London, harga kopi robusta untuk pengiriman Maret 2025 naik 1,01 persen menjadi USD4.912 per ton. Di bursa New York, harga kopi arabika untuk pengiriman Maret 2025 meningkat 2,64 persen mencapai 330,45 sen per pound.
Harga kopi robusta di bursa London mengalami penurunan USD25–30 per ton, dengan kisaran harga USD5.275–5.566 per ton. Sebaliknya, harga kopi arabika di bursa New York naik 1–1,55 sen per pound, berada di antara 362,45–397,60 sen per pound.
Proyeksi harga kopi untuk tahun 2025 menunjukkan kenaikan signifikan. Menurut Business Monitor International (BMI), harga kopi arabika diperkirakan mencapai 240 sen per pound, naik dari proyeksi sebelumnya sebesar 215 sen per pound. Kenaikan ini didorong oleh faktor cuaca ekstrem yang mempengaruhi produksi di Brasil dan Vietnam, dua produsen kopi terbesar dunia.
Di sisi permintaan, konsumsi kopi global tetap tumbuh, bahkan di tengah tekanan inflasi. Menurut data International Coffee Organization (ICO), pada periode 2022–2023, konsumsi kopi global mencapai 173,1 juta karung atau sekitar 10,39 juta ton, meningkat 2,6 persen dari tahun sebelumnya.
Konsumsi kopi domestik Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Menurut laporan United States Department of Agriculture (USDA), konsumsi kopi di Indonesia pada periode 2024/2025 diperkirakan mencapai 4,8 juta kantong, meningkat dari 4,45 juta kantong pada periode 2020/2021. Peningkatan ini didorong oleh stabilitas ekonomi yang membaik, pertumbuhan sektor makanan dan minuman, serta gaya hidup masyarakat urban yang semakin menggemari kopi sebagai bagian dari keseharian.
Dunia seakan tak berhenti minum kopi dan Indonesia tak terkecuali. Di tengah dinamika ini, muncul satu pemain lokal yang mencuri perhatian: PT Fore Kopi Indonesia Tbk atau FORE.
Baru saja melantai di Bursa Efek Indonesia pada 14 April 2025, FORE mencatat IPO spektakuler senilai Rp353,44 miliar, dengan oversubscription fantastis 200 kali lebih. Bukan hanya cerita manis pasar, tapi juga cermin betapa investor dalam negeri mulai percaya bahwa bisnis kopi lokal bisa jadi motor pertumbuhan baru, bahkan saat harga kopi dunia tak stabil.
Dalam debut perdananya, FORE menawarkan 1,88 miliar lembar saham dengan harga Rp188 per saham, setara dengan 21,08 persen dari total modal disetor. Dana segar yang dihimpun tak akan mengendap sia-sia: FORE telah menyiapkan tiga fokus utama penggunaan dana IPO, yakni ekspansi gerai kopi, ekspansi vertikal ke bisnis donat, dan penguatan modal kerja operasional.
Sebesar Rp275 miliar dialokasikan untuk membuka 140 outlet kopi baru dalam dua tahun, memperluas jangkauan dari Jakarta ke kota-kota lapis dua dan tiga. Lalu, Rp60 miliar akan digelontorkan ke bisnis donat, strategi integrasi vertikal yang bisa membuka jalur sinergi produk, meningkatkan frekuensi kunjungan pelanggan, dan memperluas margin kontribusi.
Sisanya, Rp18,44 miliar, digunakan untuk mendukung operasional dan modal kerja, memastikan mesin ekspansi tak kekurangan bahan bakar.
Tak butuh waktu lama untuk membuktikannya. Pada hari pertama perdagangan, saham FORE langsung melejit 34,04 persen ke level ARA (auto reject atas) di Rp252 per saham, dari harga penawaran Rp188. Dengan volume transaksi mencapai 23,23 juta saham dan nilai transaksi sebesar Rp5,9 miliar, pasar langsung memberikan respons antusias.
Ini bukan hanya euforia sesaat, melainkan sinyal bahwa investor ritel maupun institusi melihat potensi jangka panjang dari model bisnis yang dijalankan.
Lebih lanjut, FORE bukan sekadar menjual kopi, tetapi juga menjual kepercayaan bahwa startup lokal bisa mencetak laba dengan sehat. Dalam kurun 2021–2023, compound annual growth rate (CAGR) penjualan bersih mencapai 112 persen, dan laba kotor naik dengan CAGR 122 persen. Hingga September 2024, penjualan bersih FORE menyentuh Rp727 miliar (naik 135 persen year on year/yoy), dengan laba kotor Rp447 miliar dan EBITDA Rp135 miliar, yang melonjak 187 persen dari tahun sebelumnya. Ini bukan kinerja biasa-biasa saja, ini bukti bahwa unit ekonomi bisnis sudah matang, bahkan sebelum IPO dilakukan.
Komisaris Utama FORE, Willson Cuaca, menyatakan bahwa FORE sejak awal memang dirancang sebagai perusahaan dengan DNA keberlanjutan. "Kami bukan mengejar valuasi atau exit. Kami mengejar pertumbuhan jangka panjang yang sehat," ujarnya.
Ia bahkan menyebut IPO di tengah ketidakpastian global sebagai langkah yang “melawan intuisi tapi logis”, FORE menjual minuman lokal, dengan bahan baku lokal, oleh tim manajemen lokal, dan tidak terpapar perang dagang global.
Namun, di balik semua strategi canggih itu, ada realitas pahit yang tetap harus diperhitungkan: harga kopi global naik, dan pasokan tidak stabil. Bagi FORE, ini adalah tantangan sekaligus peluang. Sebagai perusahaan yang menggunakan biji kopi lokal, mereka relatif lebih terlindungi dari fluktuasi harga impor. Tapi di sisi lain, naiknya harga kopi dunia bisa memicu kenaikan harga bahan baku lokal juga, karena petani cenderung menjual ke eksportir.
Di sinilah pentingnya ketahanan rantai pasok dan ini bisa jadi medan pertempuran berikutnya.
Berdasarkan data dari Foreign Agricultural Service di bawah United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia berada di peringkat keempat negara produsen kopi terbesar di dunia. Produksi kopi Indonesia per Desember 2024 diperkirakan berada di angka 10,90 juta karung, dengan berat per karung sebesar 60 kg, sekitar 654 ribu metrik ton.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor komoditas kopi selama Januari-September 2024 mencapai 342,33 ribu ton atau senilai USD 1,49 miliar. Komoditas ekspor kopi yang dominan sepanjang periode tersebut adalah kopi robusta tidak digongseng atau digoreng tanpa minyak dengan volume 148,34 ribu ton. Sementara, impor kopi Indonesia pada periode yang sama tercatat sebesar 67,65 ribu ton atau senilai USD 319,84 juta.
Dengan produksi yang signifikan dan neraca perdagangan kopi yang surplus, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya di pasar kopi global. Hal ini juga mencerminkan potensi pertumbuhan bagi pelaku industri kopi dalam negeri, termasuk FORE.
FORE Bisa Cuan Berapa di 2025?
Dari prospektus dan laporan publik, kita tahu bahwa hingga September 2024 saja, FORE membukukan penjualan Rp727 miliar dari sekitar 150 gerai aktif. Nah, dengan target ekspansi 140 gerai baru dalam dua tahun, yang berarti sekitar 70 gerai baru dibuka pada 2025, maka total gerai bisa mencapai ±220-230 di akhir 2025.
Dengan asumsi kontribusi pendapatan per gerai stabil (dan konservatif), maka jika 150 gerai menghasilkan Rp727 miliar, maka rata-rata satu gerai menghasilkan sekitar Rp4,85 miliar per tahun. Jika skala dan produktivitas tetap (tanpa mengukur efek economies of scale atau cannibalization), maka 220 gerai berpotensi menyumbang omzet sekitar Rp1,07 triliun sepanjang 2025.
Tapi, mari kita tambahkan bumbu realitas: tren harga kopi dunia yang cenderung naik (akibat cuaca ekstrem dan perang dagang) bisa berdampak ke harga bahan baku. Namun, dengan positioning FORE yang mengusung "kopi premium terjangkau", mereka punya ruang pricing power yang bisa menyesuaikan tanpa kehilangan konsumen. Ditambah lagi, pertumbuhan konsumsi kopi domestik yang diperkirakan tumbuh 3,5 persen menjadi 6,36 juta karung (sekitar 381 ribu ton) pada 2024 menunjukkan ada pasar besar yang belum tergarap sepenuhnya.
Jadi, kalau FORE mampu mempertahankan marjin EBITDA yang tumbuh 187 persen yoy per September 2024, maka pendapatan triliunan bukan hanya mungkin, tapi sangat masuk akal. Yang krusial ke depan adalah efisiensi operasional dan keberhasilan mengembangkan unit bisnis tambahan seperti lini donat dan ekspansi vertikal lainnya.
Yang perlu menjadi catatan adalah kenaikan harga kopi global membuka peluang bagi pemain lokal seperti FORE untuk berkembang, meskipun industri kopi global tengah tertekan oleh fluktuasi harga dan gangguan rantai pasok akibat cuaca ekstrem.
Keunggulan FORE terletak pada ketergantungan rendah terhadap pasokan internasional, dengan bahan baku lokal yang memungkinkan mereka tetap stabil di tengah gejolak pasar. Sementara konsumsi kopi global dan domestik terus meningkat, FORE memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan kopi premium yang tetap terjangkau, sekaligus menghindari perang harga yang biasanya terjadi di pasar kopi global.
Strategi ekspansi FORE semakin memperkuat posisi mereka di pasar. Dengan rencana membuka 140 gerai dalam dua tahun dan memanfaatkan modal dari IPO sebesar Rp353 miliar, mereka tidak hanya mengikuti tren, tapi juga menciptakan tren baru dengan integrasi vertikal ke dalam bisnis makanan. Respons positif pasar terhadap IPO mereka, yang tercermin dalam lonjakan harga saham sebesar 34 persen, menegaskan bahwa model bisnis FORE yang berfokus pada keberlanjutan dan profitabilitas telah mendapat pengakuan.
Dengan potensi pendapatan yang dapat mencapai Rp1 triliun pada 2025, FORE berhasil mengubah tantangan menjadi peluang, menjadikannya pemain kunci dalam industri kopi yang sedang berkembang pesat. (*)