KABARBURSA.COM - Kinerja sektor industri jasa keuangan nonbank Tanah Air tidak terganggu meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah. Hal itu terjadi lantaran transaksi di industri asuransi dalam negeri mayoritas menggunakan mata uang rupiah.
Nilai tukar rupiah sempat berada di angka terendah sejak 2020, yakni di level Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Meski begitu, lemahnya nilai tukar rupiah tak berlangsung lama. Mengacu data Google Finance, rupiah kembali menguat di level Rp16.350 per dolar AS pada penutupan pekan, Jumat, 28 Juni 2024.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu menuturkan, lebih dari 90 persen produk asuransi jiwa dalam negeri melakukan transaksinya menggunakan mata uang rupiah, termasuk pembayaran premi.
"Lemahnya rupiah terhadap dolar AS, tidak akan mempengaruhi kinerja asuransi jiwa dikarenakan kebanyakan (mungkin >90 persen) produk asuransi jiwa ditransaksikan dalam rupiah. Baik untuk premi mau pun uang pertanggungan," kata Togar kepada KabarBursa, Minggu, 30 Juni 2024.
Begitu juga dengan valas, kata Togar, pembayaran premi dan uang pertanggungan biasanya dilakukan dengan mata uang yang sama. Investasi seperti samurai bond hingga reksadana off-shore pun menggunakan metode pembayaran valas.
"Sehingga terima dalam valas, bayar klaimnya juga dalam valas. Enggak boleh mis-match, terima valas tapi investasi dalam rupiah. Ini melanggar peraturan," jelasnya.
Kinerja Industri Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa industri asuransi dan dana pensiun Indonesia menunjukkan tren positif pada bulan April 2024. Aset industri asuransi mencapai Rp1.121,69 triliun, mengalami peningkatan sebesar 1,44 persen year on year (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya. Secara khusus, aset asuransi komersial mencapai Rp903,18 triliun, meningkat 2 persen yoy.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, menjelaskan bahwa pendapatan premi juga mengalami peningkatan signifikan. Pendapatan premi mencapai Rp112,75 triliun, meningkat 11,25 persen yoy. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan pendapatan premi dari asuransi jiwa sebesar 3,98 persen yoy dan asuransi umum serta reasuransi sebesar 15,99 persen yoy.
Dari sisi permodalan, asuransi jiwa dan umum mencatatkan rasio kecukupan modal (RBC) masing-masing sebesar 479 persen dan 325 persen, jauh di atas threshold yang ditetapkan oleh regulator. Namun, asuransi non-komersial, seperti BPJS dan BPJS TK, serta asuransi TNI Polri, mengalami kontraksi sebesar 1,18 persen yoy.
Sementara itu, dana pensiun (dapen) menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan aset dapen pada bulan April 2024 tumbuh sebesar 8,7 persen yoy, mencapai Rp1.423 triliun. Aset pensiun sukarela juga tumbuh 5,35 persen yoy, mencapai Rp371,74 triliun.
Program pensiun wajib seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan BPJS TK, serta tabungan hari tua dan akumulasi pensiun ASN dan Polri, mencatatkan aset sebesar Rp1.060 triliun, dengan pertumbuhan 9,98 persen yoy.
Di sektor penjaminan, aset tumbuh 12 persen menjadi Rp47,61 triliun pada April 2024. Namun, OJK mencatat bahwa masih ada 10 perusahaan yang belum memiliki aktuaris. Oleh karena itu, OJK terus memantau aksi pengawasan dan berkoordinasi dengan Persatuan Aktuaris Indonesia untuk mempersiapkan tenaga ahli aktuaris yang lebih baik di masa depan.
Industri Farmasi Positif
Mengacu hasil Survey Global Medical Trends 2024 yang dirilis Willis Tower Waston, biaya medis secara global terus mengalami kenaikan, di tahun lalu sebesar 10,7 persen. Jauh meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,4 persen.
Sedangkan di tahun ini, biaya medis global diprediksi ada diangka 9,9 persen. Adapun penyebab melambungnya biaya medis terjadi akibat penggunaan artifisial buatan, persoalan overtreatment di fasilitas Kesehatan, penggunaan layanan telemedis, hingga buruknya layanan Kesehatan.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai lemahnya nilai tukar Rupiah dapat berimbas pada berbagai sektor usaha, tak terkecuali industri farmasi.
Esther menilai, lemahnya Rupiah berimbas pada industri yang mengandalkan bahan baku impor, sebagaimana industri farmasi. Meningkatnya kebutuhan impor, kata dia, berdampak pada membengkaknya biaya produksi.
“Nilai tukar ini dapat berimbas ke industri yang melambat jika bahan baku industri berasal dari luar negeri, sehingga kebutuhan nilai impor meningkat dan mempengaruhi biaya produksi industri tersebut,” kata Esther kepada KabarBursa, Sabtu, 29 Juni 2024.
Tingginya biaya produksi, kata Esther, turut mempengaruhi harga produk final. Hal itu berdampak pada turunnya daya saing produk Indonesia lantaran harga yang terlampau lebih mahal.
“Harga produk final pun akan meningkat dan daya saing produk Indonesia turun karena harga produk Indonesia jadi lebih mahal dibanding negara lain,” ungkapnya.
Pada titik tertentu, kata Esther, hal ini akan menggerus omset industri dan berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi. Di sisi lain, hal ini juga akan mempersempit ruang fiskal.
“Ini berdampak pada nilai impor naik, karena impor dibayar dengan USD,” tegasnya.
Kecuali, kata Esther, pemerintah berani mengambil langkah dedolarisasi atau mengganti dolar yang biasa digunakan untuk transaksi bilateral. Akan tetapi, dia meyakini pemerintah tidak akan sampai pada tahap tersebut lantaran ketergantungan terhadap dolar yang tinggi.
“Dari awal ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan USD tinggi,” tutupnya. (and/*)