Logo
>

Kontroversi Kebijakan Jokowi, Kelas Menengah Makin Sesak

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kontroversi Kebijakan Jokowi, Kelas Menengah Makin Sesak

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui para pembantu presiden dan lembaga negara, telah menetapkan sejumlah kebijakan makro dan moneter yang memunculkan berbagai kontroversi.

    Pro dan kontra merebak di masyarakat, dengan banyak kebijakan pemerintah yang akhirnya menjadi beban, terutama bagi kelas menengah. Di bidang perpajakan, misalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kebijakan peningkatan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.

    Dari segi bea cukai, pemerintah juga menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang berpotensi meningkatkan harga produk rokok nasional. Selain itu, Bendahara Negara juga merancang penerapan cukai baru, seperti Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) dan Plastik.

    Namun, sisi lain dari kebijakan ini adalah beban tambahan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Ada potensi kenaikan tarif tol, tarif listrik, dan harga bahan bakar minyak tertentu. Bahkan, saat upaya berhemat dengan bahan bakar subsidi, pemerintah menggencarkan pembatasan pasokan Pertalite bagi masyarakat.

    Kebutuhan pokok, seperti pangan dan minyak goreng, juga sulit dipenuhi dengan adanya kebijakan kenaikan harga eceran tertinggi (HET). Para pekerja yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari harus memikul beban tambahan dengan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) setiap bulan.

    Di sisi moneter, kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan berpotensi memengaruhi tingkat suku bunga kredit perbankan nasional, dan berdampak pada bunga pinjaman masyarakat.

    Kelas Menengah Makin Sesak

    Kebijakan pemerintah sering kali tersembunyi di balik jargon dan pernyataan resmi. Namun, dampaknya sangat terasa bagi masyarakat, terutama kelas menengah. Berikut beberapa kebijakan kontroversial yang membebani masyarakat:

    1. Tarif Baru PPh Pasal 21

    Pemerintah menyesuaikan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023. Dengan skema tarif efektif rata-rata (TER), nominal potongan pajak bisa melonjak tajam saat menerima bonus seperti Tunjangan Hari Raya (THR). Ini meningkatkan beban tanggungan pada upah pekerja.

    2. Kenaikan PPN 12 persen

    Mulai April 2022, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen, dan akan terus naik hingga 12 persen pada Januari 2025. Meskipun memiliki rentang antara 5 persen hingga 15 persen, tarif PPN ini memberi tekanan pada harga barang dan jasa, terutama bagi konsumen.

    3. Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT)

    Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau mengenai berbagai jenis rokok telah ditetapkan. Dampaknya terasa langsung pada kantong perokok, dengan kenaikan tarif hingga puluhan persen, membebani belanja mereka.

    4. Penerapan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) dan Plastik

    Meskipun beberapa kebijakan ditunda, pemerintah tetap berencana memberlakukan cukai baru pada minuman berpemanis dalam kemasan dan produk plastik. Ini menandai potensi peningkatan harga untuk produk konsumen sehari-hari.

    5. Pengetatan Barang Bawaan dari Luar Negeri

    Kebijakan ini membebankan pelancong dengan tambahan bea masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 impor atas barang melebihi US$500. Meskipun revisi telah dilakukan, aturan tersebut masih menimbulkan ketidakpastian bagi wisatawan.

    6. Kenaikan Tarif Tol

    Pada libur lebaran terakhir, tarif tol mengalami kenaikan signifikan, melebihi 30 persen di beberapa ruas jalan. Ini menambah beban biaya transportasi bagi masyarakat yang melakukan perjalanan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit.

    7. Suku Bunga Acuan BI Naik

    Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan, berpotensi mengakibatkan peningkatan suku bunga kredit perbankan. Ini bisa menghambat daya beli masyarakat serta pertumbuhan sektor riil.

    8. UKT 'Nyaris' Naik

    Meskipun akhirnya dibatalkan, rencana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri menimbulkan kekhawatiran bagi mahasiswa dan orang tua mereka. Hal ini menyoroti tantangan dalam akses pendidikan tinggi yang terjangkau.

    9. Iuran Tapera

    Pemerintah menetapkan iuran Tapera untuk pekerja mandiri dan swasta. Meskipun bertujuan untuk mendukung kepemilikan rumah, tambahan biaya ini memberi tekanan pada pengeluaran bulanan.

    10. Wacana Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2025 dan Potensi Kenaikan BBM

    Rencana penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menimbulkan kekhawatiran akan beban tambahan pada biaya hidup masyarakat. Ini menggarisbawahi pentingnya kebijakan energi yang berkelanjutan.

    Pajak Kelas Atas Tak Tersentuh

    Beberapa waktu lalu diberitakan Kabar Bursa, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu, mengungkapkan sejumlah strategi untuk mengatasi penurunan penerimaan pajak di Indonesia, terutama dari sektor pajak, yang dipicu oleh penurunan harga komoditas.

    Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak Januari-April 2024 mencapai Rp 624,19 triliun, mengalami kontraksi 9,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Mari Elka Pangestu menyarankan pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi basis pajak dan memperbaiki administrasi perpajakan, termasuk digitalisasi layanan. Namun, ia juga menyebutkan potensi pengenaan pajak atas harta kekayaan yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

    "Konsekuensi dari penerapan pajak kekayaan bisa membuat orang-orang kaya memilih berdomisili di luar negeri, sehingga perlu dipelajari dengan baik," jelas dia.

    Mari menekankan pentingnya perbaikan sistem administrasi perpajakan dan digitalisasi layanan untuk meningkatkan rasio perpajakan terhadap PDB di Indonesia.

    Menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tax ratio Indonesia pada 2021 hanya 10,1 persen, salah satu yang terendah di antara negara Asia Pasifik.

    Penerimaan Pajak

    Sementara itu, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga akhir April 2024 mencapai Rp624,19 triliun, setara dengan 31,38 persen dari target dalam APBN 2024.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa peningkatan penerimaan pajak secara nominal terutama disebabkan oleh periode penyampaian SPT Tahunan 2023. Namun, penerimaan pajak ini masih mengalami kontraksi 9,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyatakan kinerja sampai bulan April yang masih terkontraksi 9 persen harus menjadi sinyal peringatan bagi otoritas perpajakan untuk bekerja lebih keras.

    "Perlu sinergi administrasi, kebijakan, dan penegakan hukum untuk mencapai target penerimaan pajak tahun ini," kata dia.

    "Bagi pembuat kebijakan, perlu antisipasi mengeluarkan kebijakan baru untuk menghasilkan penerimaan pajak dalam jangka pendek dan jumlah yang cukup besar," imbuh Fajry.

    Fajry berharap ada perbaikan kinerja pajak pada bulan April 2024, dari -8,8 persen pada bulan Maret 2024, menjadi -6 persen sampai 7 persen pada bulan April 2024.

    "Namun, apabila dalam dua bulan ke depan kondisinya tidak berubah atau bahkan memburuk, itu menjadi sinyal bahaya, sehingga perlu extraordinary effort," tandasnya.

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi