KABARBURSA.COM - Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan memaparkan bahwa tren penurunan pertumbuhan kredit sepanjang 2024 hingga awal 2025 menjadi indikasi kuat bahwa daya beli masyarakat sedang tertekan, dan kondisi ekonomi nasional tidak dalam situasi yang menggembirakan.
“Bagaimana korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit? Kita lihat saja di 2024 itu sampai akhir tahun pertumbuhan kreditnya masih rendah, kembali menurun di 2025, di mana pertumbuhan kreditnya sangat curam, pertumbuhan penurunannya 8,7 persen yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,8 persen,” ujar Abdul Manap dalam diskusi virtual ekonomi melambat pertanda gawat? Selasa, 6 Mei 2025.
Menurutnya, kondisi ini dapat dilihat dari dua sisi: sisi kredit dan sisi Dana Pihak Ketiga (DPK). Ia menyoroti bahwa penurunan signifikan pada DPK, terutama dari sektor perseorangan, menjadi cerminan nyata melemahnya daya beli masyarakat.
“Yang perlu diperhatikan adalah kita lihat bagaimana situasi yang terjadi di dana pihak ketiga (DPK) pada perseorangan. Ini yang menggambarkan bagaimana daya beli kita itu memang sangat rendah, sangat turun. Meskipun kemarin ada momentum Lebaran, ini memang tidak mendorong ada peningkatan dari konsumsi masyarakat,” jelasnya.
Data DPK pada Maret 2025 menunjukkan tren penurunan. DPK perseorangan turun 1,1 persen, simpanan berjangka turun 1,3 persen, dan giro turun tajam hingga 45,1 persen.
Meski tabungan tumbuh 6,4 persen, angka ini diduga hanya terdorong oleh tunjangan hari raya (THR), bukan karena konsumsi aktif masyarakat.
Dari sisi kredit, Abdul Manap mengungkapkan bahwa kredit modal kerja hanya tumbuh 6,1 persen, kredit investasi tumbuh 12 persen, dan kredit konsumsi sebesar 9,2 persen.
Secara total, pertumbuhan kredit hanya menyentuh 8,7 persen, menurun dibanding posisi sebelumnya yang mencapai 9,7 persen.
“Berdasarkan penggunaan juga terlihat perlambatannya dari Februari, kita lihat modal kerja dari 7 persen ke 6,1 persen, investasi dari 13,6 persen ke 12 persen, dan konsumsi 10,2 persen ke 9,2 persen,” paparnya.
Kondisi ini menandakan bahwa pelaku perbankan merespons situasi ekonomi yang memburuk dengan menahan ekspansi kredit.
“Dengan data ini tidak bisa disangka lagi bahwa situasi ekonomi kita tidak baik-baik saja. Dari perbankannya juga tampak merespons kondisi tersebut dengan pertumbuhan kredit yang lebih lambat,” tegas Abdul Manap.
Penurunan Signifikan Dalam Konsumsi Pemerintah
Sebelumnya diberitakan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen. Namun, di balik angka positif itu, terdapat kontraksi ekonomi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), yang memunculkan kekhawatiran mengenai ketahanan ekonomi nasional memasuki kuartal II.
Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Januari–Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun, atau Rp3.264,5 triliun berdasarkan harga konstan 2010.
Menurutnya, kontraksi secara kuartalan mencerminkan pelemahan aktivitas domestik akibat rendahnya serapan belanja negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujar Puji dalam Berita Resmi Statistik (BPS), Senin, 5 Mei 2025.
Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi penopang utama dengan kontribusi kuat, diikuti oleh jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan yang juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Namun, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi cukup dalam secara kuartalan, yakni 7,42 persen, seiring volatilitas harga komoditas global.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh 6,78 persen yoy, menjadi motor pendorong di tengah lesunya konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik hanya tumbuh 4,89 persen, yang meskipun dominan secara struktur PDB (54,53 persen), dinilai belum cukup kuat menahan tekanan ekonomi eksternal dan internal.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa selain konsumsi pemerintah, hampir semua komponen pengeluaran mengalami tekanan. “Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.
Secara spasial, Pulau Jawa masih menjadi kontributor utama dengan porsi 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terlihat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.
Situasi triwulan I 2025 ini menjadi semacam "peringatan dini" bagi para pemangku kebijakan dan pelaku pasar. Meski angka tahunan masih dalam jalur positif, tren kuartalan menurun bisa menjadi indikasi tekanan yang lebih dalam apabila tidak segera diantisipasi.
Sejumlah ekonom menyoroti lemahnya daya beli masyarakat sebagai sinyal utama yang perlu diwaspadai. Bahkan momentum Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi, dinilai gagal memberikan efek maksimal. Jika konsumsi rumah tangga tidak segera digenjot, misalnya lewat insentif fiskal atau pengendalian inflasi, risiko perlambatan lebih tajam di kuartal II akan meningkat.
Prospek pertumbuhan pada triwulan berikutnya pun dipengaruhi oleh banyak faktor: realisasi belanja APBN, penguatan nilai tukar rupiah, pemulihan sektor ekspor di tengah perang dagang global, hingga efektivitas komunikasi kebijakan pemerintah pasca transisi kekuasaan. Di tengah tantangan ini, strategi koordinasi fiskal dan moneter menjadi krusial untuk menjaga ritme pertumbuhan tetap berada di jalur target pemerintah sebesar 5,2 persen.
“Beberapa indikator konsumsi dan ekspor masih menunjukkan resiliensi. Tapi sinyal-sinyal pelemahan tetap harus diwaspadai dengan serius,” kata Puji Agus menutup paparan BPS.(*)