KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan pernyataan resmi mengenai isu yang tengah hangat soal lima oknum karyawan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diduga terlibat dalam praktik gratifikasi untuk memuluskan proses Initial Public Offering (IPO).
OJK menegaskan bahwa seluruh pegawainya dilarang terlibat dalam praktik penyuapan, termasuk menerima gratifikasi dalam pelaksanaan tugas mereka. OJK menegaskan komitmennya untuk selalu mematuhi kode etik dan ketentuan yang berlaku, serta menjunjung tinggi prinsip integritas.
OJK berkomitmen untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik, khususnya dalam hal anti-penyuapan dan anti-gratifikasi, sesuai dengan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) yang berbasis pada SNI ISO 37001. "Ini merupakan bagian dari upaya OJK untuk memastikan bahwa semua kegiatan operasionalnya bebas dari praktik-praktik yang merugikan," tulis OJK dalam keterangannya, dikutip Kamis 29 Agustus 2024.
Terkait pemberitaan mengenai dugaan praktik gratifikasi dalam proses Initial Public Offering (IPO), OJK telah berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). OJK mendukung langkah tegas BEI dalam memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan, guna menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi.
Saat ini, OJK sedang menyelidiki kemungkinan keterlibatan pegawai dalam kasus tersebut. Namun, hingga saat ini belum ditemukan indikasi adanya pelanggaran yang melibatkan pegawai OJK terkait dengan penawaran umum. OJK memastikan akan terus memantau dan menindaklanjuti setiap dugaan pelanggaran untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam sektor keuangan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) diminta untuk bersikap tegas dalam mengatasi dugaan pelanggaran etika berupa gratifikasi di lingkungan internal.
Sementara itu, Pengamat Pasar Modal, Wahyu Laksono menyatakan jika kejadian itu memang adanya, BEI harus memberi tindakan hukum demi melindungi investor dan bursa. "Harus ada penegakan hukum dengan tujuan perlindungan investor serta demi kebaikan bursa sesuai prinsip keterbukaan, keadilan fairness dan GCG serta tuntutan ISO," ujar dia kepasa Kabar Bursa, Kamis, 29 Agustus 2024.
Menurutnya, dalam hal ini perlu diatur lebih jauh batasan antara etika dan pidana. Wahyu tidak ingin kondisi ini diabaikan hinga menjadi titik puncak gunung es.
Di sisi lain, Wahyu mengakui jika teknologi sudah diterapkan guna memperbaiki keterbukaan informasi di lingkungan institusi hingga pemerintahan. Namun hal ini dirasa belum efektif. "Selalu ada celah untuk oknum bermain," ujar dia.
Dia bilang, teknologi informasi komunikasi sejatinya harus bisa mensuport anti-korupsi dengan mempengaruhi pengawasan publik hingga memungkinkan pelaporan.
Wahyu juga menuturkan emiten juga harus berperan aktif guna melakukan kolaborasi dengan memberikan masukan kepada pemerintah maupun penegak hukum untuk mencegah kasus korupsi.
Pernyataan BEI
Sebelumnya dalam keterangan resmi terkait isu pelanggaran etika yang melibatkan oknum karyawannya, BEI telah melakukan tindakan disiplin yang sesuai dengan prosedur serta kebijakan yang berlaku.
BEI berkomitmen memenuhi prinsip Good Corporate Governance melalui penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) melalui implementasi ISO 37001:2016.
"Seluruh karyawan BEI dilarang menerima gratifikasi dalam bentuk apapun (termasuk namun tidak terbatas pada uang, makanan, barang dan/atau jasa) atas layanan atau transaksi yang dilakukan BEI dengan pihak ketiga," tulis BEI dalam keterangannya.
Di sisi lain, BEI telah menerbitkan dan memberlakukan Peraturan Nomor I-N tentang pembatalan pencatatan (delisting) dan pencatatan kembali (relisting) beberapa waktu lalu.
Hal tersebut dilakukan guna mewujudkan perdagangan yang teratur, wajar, dan efisien, serta senantiasa berupaya meningkatkan perlindungan investor.
Delisting saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini mencakup delisting karena permohonan Perusahaan Tercatat (voluntary delisting), delisting karena perintah OJK sebagaimana diatur dalam POJK 3/2021, dan delisting atas keputusan Bursa (forced delisting)
Untuk voluntary delisting, BEI tidak lagi mengatur kewajiban untuk memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun mengenai perhitungan harga pembelian kembali saham, dengan pertimbangan ketentuan tersebut saat ini telah diatur dalam POJK 3/2021.
Kemudian, ketentuan delisting atas perintah OJK merupakan substansi tambahan sebagai tindak lanjut dari POJK 3/2021. Dalam hal ini, BEI mengatur keterbukaan informasi yang wajib disampaikan oleh Perusahaan Tercatat yang dalam proses delisting akibat perintah OJK untuk melakukan perubahan status menjadi Perseroan yang tertutup.
Selanjutnya, pada ketentuan delisting yang dilakukan karena keputusan Bursa (forced delisting), terdapat perubahan yang cukup signifikan sebagai tindak lanjut dari POJK 3/2021 dan juga penyesuaian dengan kebutuhan terkini.
Pada ketentuan relisting saham terdapat penyederhanaan sehingga suatu saham dapat dicatatkan kembali di papan utama, papan pengembangan atau papan ekonomi baru.
Sepanjang memenuhi persyaratan serta prosedur pencatatan sebagaimana diatur pada Peraturan Nomor I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat (bagi papan utama dan pengembangan); dan peraturan nomor i-y tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat di papan ekonomi baru.
Kronologi Gratifikasi BEI
Kasus ini mencuat setelah beredarnya surat di kalangan wartawan bursa, yang mengungkapkan bahwa BEI telah memecat lima pegawai pada Juli hingga Agustus 2024. Pemecatan ini diduga sebagai akibat dari penemuan pelanggaran terkait permintaan imbalan dan gratifikasi yang melibatkan penerimaan emiten untuk listing di bursa.
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa kelima karyawan tersebut berasal dari Divisi Penilaian Perusahaan BEI. Diduga, dengan imbalan uang, mereka membantu memperlancar proses penerimaan calon emiten agar dapat terdaftar di bursa. Dalam keterangan resminya, BEI mengakui adanya pelanggaran etika oleh oknum-oknum karyawan tersebut. BEI menegaskan bahwa tindakan disiplin telah diambil sesuai dengan prosedur dan kebijakan yang berlaku.
I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, mengungkapkan bahwa tindakan disipliner ini merupakan bagian dari upaya BEI untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik. BEI juga memastikan penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan berbasis ISO 37001:2016. "Disiplin terhadap pelanggaran etika adalah bagian dari komitmen kami untuk menjaga integritas dan transparansi di Bursa," tegas Nyoman.
Meski BEI telah menindak tegas pegawai yang terlibat, Nyoman menjelaskan bahwa tidak ada tindakan yang diambil terhadap perusahaan tercatat atau emiten.
Menurutnya, semua emiten IPO telah melalui proses listing sesuai prosedur. “Seluruh perusahaan tercatat telah menjalani evaluasi yang ketat di bursa dan memenuhi syarat pencatatan yang ditetapkan,” jelasnya dalam jawaban tertulis pada Rabu, 28 Agustus 2024.
BEI juga terus memantau kinerja perusahaan tercatat dan memberikan pembinaan yang diperlukan. "Kami pastikan tidak ada pelanggaran peraturan oleh calon perusahaan tercatat," tambah Nyoman, menegaskan bahwa tidak relevan untuk mengungkapkan identitas perusahaan tercatat dalam kasus ini.
Di sisi lain, Hasan Zein Mahmud, mantan Direktur Utama BEI, menyoroti pentingnya transparansi dalam menangani kasus ini. "Disiplin pegawai adalah urusan internal, namun transparansi adalah cermin kualitas suatu bursa," ujar Hasan.
Menurutnya, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah mengapa nama emiten yang terlibat dalam gratifikasi tidak diumumkan? Berapa besaran gratifikasi tersebut? Apa dampaknya terhadap kondisi perusahaan? Apakah biaya gratifikasi dibebankan sebagai biaya emisi atau operasional yang dapat mengurangi laba perusahaan?
Hasan menambahkan bahwa selain transparansi, penegakan hukum yang tegas juga diperlukan untuk melindungi investor. "Kita harus memastikan bahwa hukum ditegakkan dan investor dilindungi dari praktik-praktik yang merugikan," pungkasnya. (*)