KABARBURSA.COM - Akademisi dari Institut Agama Islam Tazkia Muniarti, berkesempatan menjadi pembicara dalam Konferensi Keuangan Islam yang diadakan di Harvard University, Boston, Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Muniarti memaparkan upaya Indonesia dalam mengimplementasikan ekonomi sirkular.
Konferensi yang bertema “Circular Economies: Production, Consumption, and Regeneration from Islamic Perspective” ini memberikan platform bagi Muniarti untuk membahas peta jalan 2025-2045, hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertajuk “The Future is Circular: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia.” Dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Minggu, disebutkan bahwa peta jalan tersebut menitikberatkan pada sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan eceran (plastik), serta elektronik. Seperti pernyataannya dikutip di Jakarta, Minggu
Muniarti juga memaparkan berbagai inisiatif pelaku usaha Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular 9R, yang meliputi tindakan seperti merancang ulang rantai pasok (rethink) hingga memperbaiki produk yang rusak (repair).
Menurut Muniarti, ekonomi sirkular mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG). Ini membuka peluang pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan serta sesuai dengan ajaran Al Quran, khususnya dalam Surat Taha ayat 81, yang mendorong konsumsi halal dan bijaksana.
“Saya berharap Kabinet Merah Putih terus mendukung sektor industri halal dengan memasukkan ekonomi sirkular dalam persyaratannya, sehingga tidak hanya memenuhi syarat halal tetapi juga sesuai dengan prinsip keberlanjutan,” ujar Muniarti.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Harvard University Muslim Alumni ini telah memasuki edisi ke-28 dan dihadiri oleh 200 peserta dari berbagai kota di Amerika Serikat.
Pendorong Utama Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi sirkular diprediksi akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, baik di Indonesia maupun di tingkat global.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian PPN, Vivi Yulaswati, mengungkapkan bahwa model ekonomi sirkular semakin populer pasca-pandemi Covid-19 dan krisis iklim. Indonesia menjadi salah satu negara yang serius mengeksplorasi skema ini.
“Kami telah melakukan beberapa studi yang menunjukkan bahwa ekonomi sirkular berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru di masa depan,” ujar Vivi dalam sesi diskusi pada High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF-MSP) 2024 di Nusa Dua, Bali, Selasa 3 September 2024 kemarin.
Ekonomi sirkular, menurut informasi dari situs resmi Bappenas, merupakan model yang bertujuan untuk mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya selama mungkin, dengan harapan meminimalkan dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh model ekonomi linear.
Vivi menambahkan bahwa ekonomi sirkular berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan baru serta mengurangi dampak buruk pembangunan terhadap lingkungan.
Bappenas telah menerbitkan dua dokumen strategi terkait pengarusutamaan model ekonomi ini pada RPJMN 2025-2029. Berbagai strategi telah dirumuskan, termasuk perpanjangan umur barang, pengembangan produk ramah lingkungan, dan pembentukan ekosistem daur ulang.
Dokumen lainnya berfokus pada sektor-sektor tertentu seperti tekstil, elektronik, dan plastik. Banyak perusahaan rintisan kini memanfaatkan limbah plastik dalam konstruksi, menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Vivi juga mengungkapkan bahwa Bappenas sedang mempersiapkan pilot project ekonomi sirkular yang akan dilaksanakan di lima daerah. “Kami akan melaksanakan proyek ini di lima daerah dan membuka platform kolaborasi ekonomi sirkular,” tambahnya.
Kurangnya Pemahaman Masyarakat
Namun, Vivi mengakui bahwa pengembangan ekonomi sirkular tidak tanpa tantangan. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai model ini menjadi salah satu hambatan, selain persepsi yang sering menyederhanakan ekonomi sirkular sebagai sekadar daur ulang limbah.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan dana. Model ini melibatkan banyak startup yang memerlukan teknologi baru, dan butuh lompatan besar sebelum dapat stabil.
Di tingkat global, World Trade Organization (WTO) mencatat berbagai hambatan, termasuk restriksi di beberapa negara dan larangan impor barang hasil ekonomi sirkular.
Erik Wijkstrom, Kepala Technical Barriers to Trade WTO, menyoroti kekhawatiran beberapa negara yang takut menjadi ‘tempat pembuangan’ barang bekas dengan dalih ekonomi sirkular, seperti yang terjadi di Brasil dan China.
Erik menekankan pentingnya kerja sama global dan definisi yang lebih jelas mengenai barang-barang yang termasuk dalam ekonomi sirkular. Kerja sama antarnegara perlu diperkuat untuk mewujudkan paradigma ekonomi ini.
International Organization for Standardization (ISO) mengakui tantangan standarisasi dan telah mengklasifikasikan barang-barang ekonomi sirkular dalam rumpun ISO 59000.(*)