KABARBURSA.COM - PT Mandiri Sekuritas memperkirakan imbal hasil investasi di pasar obligasi Indonesia untuk tahun 2024-2025 akan mencapai 15 persen positif. Proyeksi ini dengan asumsi bahwa yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun akan terus menurun hingga mencapai 6 persen pada tahun 2025.
Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, menjelaskan bahwa proyeksi ini didasarkan pada tiga faktor utama. Pertama, ada kemungkinan tinggi bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada September 2024, dan penurunan ini diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan.
“Secara historis, penurunan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) biasanya diikuti oleh penurunan pada US Treasury yield dan Dollar Index, yang akan mendorong aliran dana asing ke pasar obligasi,” ujar Handy di Jakarta, Rabu 11 September 2024.
Kedua, kejelasan mengenai pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun ini serta prospek fiskal untuk tahun 2025 juga mendukung proyeksi ini.
“Pemerintahan yang baru masih mempertahankan kebijakan fiskal yang hati-hati,” tambah Handy.
Ketiga, penguatan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut menurunkan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Penurunan suku bunga SRBI ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan obligasi, dengan dukungan kuat dari investor domestik, terutama dari sektor ritel dan institusi non-bank.
“Aliran dana asing juga mulai masuk secara signifikan ke pasar obligasi dalam sebulan terakhir, meskipun porsi kepemilikan asing terhadap total outstanding SBN masih relatif rendah,” ujar Handy.
Dalam hal valuasi, Handy memperkirakan imbal hasil obligasi SBN tenor 10 tahun akan turun ke level 6,2 persen atau dalam kisaran 6,0-6,4 persen, dengan asumsi FFR menurun ke level 4,75 persen, maka Bank Indonesia (BI) akan memangkas suku bunga acuannya menjadi 5,75 persen.
“Yield US Treasury 10 tahun berada di 3,8 persen, Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia berada di 70, dan rupiah diperkirakan akan diperdagangkan pada Rp15.400 terhadap dolar AS di akhir 2024. Penurunan lebih lanjut pada US Treasury yield juga berpotensi memperkuat valuasi obligasi Indonesia,” kata Handy.
Handy juga mencatat beberapa risiko yang dapat memengaruhi pasar obligasi Indonesia, termasuk penundaan pemangkasan suku bunga acuan The Fed, meningkatnya ketegangan geopolitik, serta kemungkinan pelebaran defisit anggaran yang signifikan atau di atas 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selisih Imbal Hasil
Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany, melihat peluang menarik di pasar obligasi Indonesia di tengah selisih imbal hasil (yield) obligasi pemerintah dan US Treasury (UST) yang mencapai level tertinggi dalam setahun terakhir.
Laras menyatakan pada Kamis bahwa kondisi ini menciptakan potensi investasi menarik pada siklus akhir menjelang pemangkasan suku bunga. Per akhir Juni 2024, imbal hasil UST 10 tahun berada di kisaran 4,4 persen, sementara imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun kembali menembus 7 persen.
“Jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia, selisih imbal hasil obligasi Indonesia menjadi yang tertinggi, bahkan melebihi India. Ditambah lagi, Credit Default Swap (CDS) 5 tahun yang menggambarkan persepsi risiko investor untuk berinvestasi di Indonesia sudah stabil,” ujar Laras.
Lebih lanjut, Laras melihat pasar obligasi tetap memiliki potensi, terutama jika inflasi Amerika Serikat (AS) menurun dengan stabil sehingga Fed Funds Rate (FFR) dapat diturunkan tahun ini, diiringi dengan stabilitas nilai tukar rupiah.
“Kami melihat skenario ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Kejelasan tentang outlook fiskal, anggaran APBN, dan kabinet ekonomi pemerintahan baru dapat menciptakan tambahan katalis bagi pasar obligasi ke depannya,” tambahnya.
Dalam kondisi pasar yang bergejolak dan sensitif terhadap perubahan sentimen global maupun domestik, Laras menyarankan investor untuk menjaga tingkat risiko portofolio.
“Menerapkan diversifikasi pada portofolio investasi dapat menjadi strategi bagi investor untuk menjaga tingkat risiko,” katanya.
Laras juga menyebutkan bahwa reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini bisa menjadi peluang bagi investor untuk “mengunci yield” di level yang menarik dan menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai turun.
“Kami mengelola portofolio secara aktif dan fokus pada manajemen durasi serta pemilihan efek yang diharapkan dapat mendukung kinerja portofolio tahun ini. Kami juga terus memantau likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali,” pungkas Laras.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.