Logo
>

Manufaktur RI Lemah: Investor Bisa Lari ke Vietnam dan India

Pertumbuhan output sektor manufaktur juga konsisten lebih rendah.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Manufaktur RI Lemah: Investor Bisa Lari ke Vietnam dan India
Rasio output industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara konsisten. Foto: Abbas/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Industri manufaktur Indonesia terus menunjukkan tren penurunan dalam kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijiyanto Samirin, mengungkapkan bahwa rasio output industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara konsisten, yang menandakan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia.

    “Data menunjukkan rasio output industri manufaktur terhadap PDB konsisten menurun. Bahkan, pertumbuhan output sektor manufaktur juga konsisten lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Ini menunjukkan tren deindustrialisasi yang terus terjadi,” ujar Wijiyanto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 2 April 2025.

    Menurut Wijiyanto, data tahun 2024 mencatat bahwa sektor manufaktur menyumbang 18,98 persen terhadap PDB. Namun, angka ini dinilai tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, karena memasukkan produk mentah seperti Crude Palm Oil (CPO) sebagai bagian dari industri manufaktur. 

    “Data ini sebenarnya overstated, mengingat CPO, yang sesungguhnya produk mentah (raw material), dimasukkan sebagai produk manufaktur. Jika ia dikeluarkan, maka rasio manufaktur terhadap PDB bisa turun 2,0 hingga 3,0 persen,” jelasnya.

    Solusi untuk Menghentikan Deindustrialisasi

    Wijiyanto menegaskan bahwa untuk mengatasi tren deindustrialisasi ini, ada beberapa langkah fundamental yang harus segera dilakukan pemerintah. Ia menyebut empat solusi utama yang sebenarnya sudah banyak diketahui, tetapi masih belum diterapkan secara maksimal.

    “Solusi utama kita semua sudah tahu: jamin kepastian hukum, simplifikasi regulasi, disiplinkan birokrasi, dan perbaiki sektor keuangan, terutama pasar modal,” tegasnya.

    Ia memperingatkan bahwa tanpa adanya langkah konkret dalam mengatasi permasalahan tersebut, daya saing industri manufaktur Indonesia akan semakin melemah. 

    Pasalnya, Indonesia saat ini berada dalam persaingan ketat dengan negara-negara Asia lainnya yang terus memperbaiki iklim investasinya. Jika perbaikan struktural tidak segera dilakukan, investor dan pelaku industri manufaktur bisa semakin beralih ke negara lain yang lebih menjanjikan, seperti Vietnam dan India.

    “Tanpanya, semua akan lari ke Vietnam dan India,” pungkasnya.

    Harapan Pemerintah Dorong Daya Saing

    Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menekankan pentingnya peningkatan daya saing kawasan industri guna mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.

    “Saat ini, kita memiliki 168 kawasan industri yang beroperasi. Kita perlu memastikan daya saing dan investasi terus meningkat agar dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2029,” kata Faisol dalam keterangan tertulis, Kamis, 20 Maret 2025.

    Hal itu disampaikan Faisol dalam momen silaturahmi bersama Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) pada Selasa, 18 Maret 2025. Kegiatan ini diselenggarakan untuk mempertegas komitmen pemerintah untuk membawa Indonesia keluar dari jerat middle-income trap.

    Oleh karena itu, pihak Kemenperin kembali menegaskan pentingnya kawasan industri nasional dapat menjadi pusat ekosistem industrialisasi sehingga mampu mendongkrak produktivitas nasional.

    Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengungkapkan, hingga saat ini sektor pengolahan non-migas masih jadi tulang punggung perekonomian nasional. Sektor ini, kata dia, menyumbang 17,16 persen PDB nasional dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4,75 persen. Sektor ini juga memberikan penerimaan pajak terbesar karena mampu mencapai 25,84 persen.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Tri Supondy, menjelaskan strategi kebijakan untuk memperkuat kawasan industri guna mendukung Asta Cita.

    “Lima tahun ke depan, kawasan industri akan menjadi pusat pertumbuhan baru yang terintegrasi dengan industri prioritas berbasis hilirisasi dan teknologi tinggi,” ungkapnya.

    Mengacu pada RPJMN 2025-2029, dengan asumsi nilai PDB industri pengolahan non-migas pada 2024 sebesar 5,3 persen. Pemerintah menargetkan pertumbuhan sektor ini dapat meningkat secara bertahap dalam lima tahun mendatang hingga mencapai 8,59 persen.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum HKI, Sanny Iskandar, menekankan pentingnya membangun ekosistem industri yang lebih terintegrasi.

    “Kawasan industri harus menjadi pusat industrialisasi yang kuat. Kemitraan antara pemerintah, manufaktur, dan sektor keuangan akan mempercepat transformasi industri yang lebih kompetitif,” ujarnya.

    Sanny menambahkan bahwa untuk mencapai Asta Cita Presiden Prabowo, kawasan industri yang menjadi pusat manufaktur membutuhkan kepastian hukum melalui reformasi regulasi dan birokrasi, pengembangan infrastruktur di berbagai wilayah, kebijakan yang mendukung tenaga kerja terampil melalui pendidikan vokasi di kawasan industri, serta keamanan dan ketertiban yang berdampak pada iklim investasi. Selain itu, diperlukan pula insentif fiskal dan nonfiskal guna mendorong daya saing industri.

    Dari perspektif perbankan, Chief Economist Bank Rakyat Indonesia (BRI), Anton Hendranata, menyoroti pentingnya stabilitas perekonomian global dan domestik dalam mendukung sektor industri.

    “Saat ini menjadi tantangan yang besar mengingat kondisi ketidakpastian risiko geopolitik dan melambatnya kinerja perekonomian global. Pemerintah harus mencermati kondisi tersebut dalam merumuskan kebijakan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi 8 persen,” paparnya.

    Tantangan Kawasan Industri

    Sementara itu, Plt. Koordinator Pokja pada Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLH/BPLH, Farid Mohammad mengungkap sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh kawasan industri. Tantangan tersebut meliputi regulasi lingkungan hidup, pengelolaan kawasan industri dan penyediaan air baku untuk industri.

    Oleh karena itu, pihaknya telah menyiapkan sebuah sistem informasi ligkungan hidup yang dapat mempermudah dalam proses persetujuan lingkungan usaha secara digital melalui Amdalnet.

    “Kementerian lingkungan lebih cepat tanpa mengorbankan aspek keberlanjutan. Adapun tantangan yang dihadapi saat ini adalah proses integrasi sistem lintas kementerian,” tutur Farid.

    Sementara itu, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi, menegaskan bahwa pihaknya berupaya mendorong kawasan industri untuk mempercepat penyediaan sarana air baku, terutama dari sumber air permukaan yang dikelola secara berkelanjutan.

    Di sisi lain, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN, Prasetyo Wiranto, menekankan pentingnya percepatan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) guna mendukung operasional kawasan industri.

    “Digitalisasi perizinan diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan menarik lebih banyak investasi,” ujarnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.