KABARBURSA.COM - Senior Ekonom Wijayanto Samirin menyoroti persoalan tahunan yang tak kunjung selesai terkait dengan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). Menurutnya, kisruh yang terjadi setiap akhir tahun menunjukkan belum adanya formula yang jelas dan disepakati bersama dalam menentukan besaran UMP.
“Yang tidak kalah penting, tetapi sebenarnya juga bisa kita handle dengan baik adalah tentang UMP,” kata Wijayanto dalam diskusi yang bertajuk 100 Hari Trump Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia? secara daring, Jumat 2 Mei 2025.
Ia mempertanyakan mengapa isu penetapan UMP selalu memicu ketegangan antara pemerintah, pengusaha, dan buruh. Padahal, menurutnya, permasalahan ini bisa diurai dengan pendekatan yang lebih rasional dan partisipatif.
“Kenapa sih negara kita ini setiap tahun itu ada keributan-keributan terkait dengan UMP? Mengapa tidak dibuat formula yang dipahami, disepakati oleh semua pihak, sehingga semua tunduk kepada formula itu,” jelasnya.
Wijayanto mengakui bahwa pemerintah pernah mencoba menerapkan formula penetapan UMP. Namun, formula tersebut dinilainya tidak adil dan tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak, sehingga menuai banyak protes saat diimplementasikan.
“Memang dulu kita pernah mengeluarkan formula, tetapi formula yang bias, tidak win-win bagi semua, sehingga ketika coba diterapkan juga banyak protes,” ujarnya.
Untuk itu, ia mendorong semua pemangku kepentingan duduk bersama kembali menyusun regulasi baru yang lebih adil dan bisa diterima oleh semua pihak.
“Kita coba duduk bareng, kemudian susun lagi regulasi terkait dengan ketenagakerjaan,” tandasnya.
Untuk diketahui, pemerintah baru saja menetapkan formula baru penghitungan UMP dengan metode UMP = Inflasi + (Alpha x Pertumbuhan Ekonomi), imbas dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2024. Sementara rumus perhitungan UMP berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Nomor 2023 tidak lagi berlaku. Yang aturan tersebut, UMP dihitung dari hasil inflasi + (pertumbuhan ekonomi X indeks tertentu/α).
Pengusaha Belum Dapat Penjelasan Terkait Metode Penghitungan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menanggapi penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Keputusan tersebut diumumkan Presiden Prabowo Subianto usai bertemu dengan perwakilan serikat pekerja di Istana Negara, Jakarta.
Meski demikian, ketetapan ini menuai kritik dari kalangan pengusaha. Mereka menilai pemerintah tidak mengakomodasi masukan dari dunia usaha sebelum menetapkan angka tersebut. Bahkan, hingga keputusan diumumkan, pengusaha mengaku belum mendapatkan penjelasan terkait metode penghitungan yang digunakan pemerintah.
Airlangga memastikan, pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum dengan mempertimbangkan landasan yang kuat. Ia menyebut, angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi dua indikator utama dalam perhitungan kenaikan upah tersebut.
"UMP 2025 kan landasannya baik itu inflasi maupun pertumbuhan ekonomi," kata Airlangga kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 2 Desember 2024.
Airlangga menuturkan, kenaikan upah tidak lantas memukul dunia usaha, apalagi menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menilai, biaya produksi yang digelontorkan perusahaan masih berbeda di tiap sektornya.
"Kita lihat cost daripada tenaga kerja kan tergantung sektor. Kalau sektornya padat karya kan sekitar 30 persen, non-padat karya kan pengaruh cost of labor itu di bawah 15 persen. Jadi pemerintah sudah melihat terhadap cost structure terhadap setiap sektor," ungkapnya.
Airlangga menegaskan PHK harus menjadi pilihan terakhir bagi pengusaha. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Airlangga mengungkapkan, pemerintah telah berdialog dengan para pengusaha dalam pertemuan tersebut. Ia menegaskan, persoalan terkait kenaikan upah minimum tahun 2025 dianggap sudah selesai dibahas dan diputuskan.
"Kemarin saja ada pertemuan Rapimnas Kadin. Jadi sudah jelas di Rapimnas Kadin," tutupnya.
Klaim Pengusaha tak Dilibatkan
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebut pemerintah tidak mengindahkan masukan dunia usaha dalam penetapan kenaikan upah minimum tahun 2025. Pemerintah sebelumnya menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen di tahun 2025.
"Kami menyayangkan bahwa masukan dunia usaha tidak didengarkan dalam penetapan kebijakan ini," tulis APINDO dalam keterangan yang diterima KabarBursa.com, Sabtu, 30 November 2024.
APINDO mengaku berpartisipasi dengan aktif dan intensif dalam berbagai pertemuan yang membahas penetapan upah minimum. Dalam forum-forum tersebut, APINDO juga mengaku telah memberikan masukan yang komprehensif dan berbasis data mengenai fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja.
"Namun, masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan," terang APINDO.
Kondisi tersebut dinilai perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah lantaran kebijakan yang tidak seimbang dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan bagi keberlangsungan usaha dan penciptaan lapangan kerja.
APINDO menilai, Presiden Prabowo Subianto perlu juga mendengar aspirasi pengusaha sebagai pemberi kerja yang juga ingin pekerjanya maju dan berkembang. "Bagi dunia usaha, kenaikan upah minimum ini bukan tentang setuju atau tidak setuju, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu untuk memenuhi kenaikan tersebut," tulis APINDO.
Jika perusahaan tidak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, tulis keterangan APINDO, maka keputusan rasional terhadap penghitungan usaha akan dapat terjadi ke depan, yaitu penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu.
APINDO pun menuntut penjelasan pemerintah ihwal ketetapan kenaikan upah minimum. Pasalnya, APINDO mengaku belum menerima metodologi perhitungan kenaikan upah yang digunakan oleh pemerintah.
"Belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini, terutama apakah telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual," katanya. (*)