KABARBURSA.COM - Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan di Indonesia, baik yang konvensional maupun digital, menjadi sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Kepala eksekutif pengawas perbankan OJK Dian ediana Rae, pihaknya terus mengawasi dan mengevaluasi secara berkala rasio-rasio prudensial yang menjadi fondasi penting dalam menilai kondisi sebuah bank.
"Rasio-rasio prudensial itu seperti NPL dan CAR merupakan indikator penting yang menentukan langkah pengawasan. Evaluasi terhadap indikator-indikator ini memungkinkan OJK untuk menetapkan strategi pengawasan bank," kata Dian melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis, 4 April 2024.
Oleh karena itu, ujarnya, OJK mendorong bank untuk senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam operasional kegiatan usahanya.
Ini berkaitan, sambungnya, dengan bank yang dapat mengalami siklus penurunan dan peningkatan kinerja dalam operasionalnya. Risiko ini direspons OJK dengan menerapkan adanya pengawasan terhadap operasional bank.
"Pengawasan bertujuan memastikan kinerja bank terus optimal dan memenuhi standar prudensial yang telah ditetapkan," ucapnya.
Selanjutnya, anggota Dewan Komisioner OJK itu juga merinci data rasio prudensial perbankan digital di Indonesia. Menurutnya, NPL bank dengan layanan digital masih dalam batas wajar dan cenderung membaik.
Hal ini didorong oleh skema kemitraan yang dilakukan perbankan dengan fintech lending melalui skema channeling yang masih menyisakan dampak risiko. Ini berasal dari internal dan faktor eksternal.
"Dari sisi internal, diperlukan penguatan untuk terus mempertajam kapabilitas credit scoring yang dimiliki. Dari sisi eksternal, dampak perekonomian global yang masih volatile dan fenomena 'higher for longer' (tingkat suku bunga tinggi yang berlangsung lebih lama) memiliki implikasi signifikan terhadap penurunan nilai aset keuangan," papar Dian.
"Ini menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang tinggi, yang semuanya dapat menyebabkan penurunan nilai aset keuangan," imbuhnya.
Sebab itulah, terang Dian, OJK menilai, kondisi ini menuntut perbankan yang bermitra dengan perusahaan fintech untuk mempertimbangkan kebijakan manajemen risiko yang lebih ketat dan inovasi dalam teknologi untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi operasional.