Logo
>

Meningkatnya Defisit APBN: Ancaman Baru bagi Stabilitas Pasar Modal?

Ditulis oleh Dian Finka
Meningkatnya Defisit APBN: Ancaman Baru bagi Stabilitas Pasar Modal?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai, kenaikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menimbulkan kekhawatiran di pasar modal. 

    Dampak dari kenaikan ini sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan di balik kenaikan defisit, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar global saat ini.

    "Kenaikan defisit APBN memang berpotensi menimbulkan kekhawatiran di pasar modal," ujar Sukarno kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.

    Lanjutnya menurut Sukarno, defisit yang membengkak mengindikasikan bahwa pemerintah perlu menambah utang untuk menutupi pengeluaran. Peningkatan beban utang ini berpotensi menjadi beban jangka panjang bagi negara dan dapat meningkatkan risiko gagal bayar di masa depan.

    Namun, dalam beberapa tahun terakhir, belum terlihat tanda-tanda signifikan menuju kondisi tersebut, dan ekonomi negara masih dinilai cukup kuat. 

    Penting untuk terus memantau perkembangan kebijakan pemerintah dan situasi pasar global guna memahami sepenuhnya dampak dari kenaikan defisit APBN terhadap stabilitas ekonomi dan pasar modal.

    "Tapi dalam beberapa tahun ini sepertinya belum ada tanda arah ke situ dan ekonomi masih dinilai masih kuat," imbuhnya.

    Selain soal meningkatnya defisit APBN, dalam upaya menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah Indonesia menerapkan strategi stimulus fiskal besar-besaran sebagai counter-cyclical policy.

    Namun Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai, langkah tersebut membawa risiko signifikan terkait dengan lonjakan utang pemerintah yang dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.

    “Dalam paradigma mainstream yang sangat pro-kreditor (investor) namun abai terhadap kondisi debitur,” ujar Yusuf kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.

    “Pembayaran bunga utang terus mendapat prioritas tertinggi di atas biaya kemampuan negara yang semakin melemah untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat,” tambahnya.

    Strategi stimulus yang melibatkan tambahan utang besar berpotensi mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

    Yusuf juga memperingatkan bahwa lonjakan utang publik yang tidak terkendali bisa memicu tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi keuangan dari sektor perbankan. Selain itu, belanja publik yang semakin tidak pro-poor juga memperburuk situasi.

    “Agar setiap rezim bertanggung jawab secara fiskal dan mencegah time-inconsistency dari preferensi pemerintah, maka banyak negara menerapkan fiscal rule untuk menahan tingkat utang pemerintah, sesuatu yang telah diadopsi kita pasca-krisis 1997,” jelasnya.

    Ia pun mengungkapkan bahwa defisit anggaran yang mendekati batas 3 persen dari PDB ini menunjukkan adanya potensi risiko signifikan terhadap stabilitas fiskal negara. Menurutnya, meskipun anggaran tersebut masih di bawah ambang batas yang diizinkan, tren ini tidak mencerminkan pendekatan yang hati-hati dalam pengelolaan fiskal.

    “Defisit anggaran hingga 2,53 persen dari PDB menunjukkan adanya potensi ketidakstabilan, terutama jika melihat kondisi makroekonomi saat ini,” kata Yusuf.

    Yusuf juga menyoroti bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto tengah dihadapkan pada berbagai program prioritas yang memerlukan alokasi dana besar. Program-program ini mencakup pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta rencana pembentukan kementerian atau lembaga baru yang akan membutuhkan pembiayaan signifikan.

    Selain itu, Yusuf mengingatkan bahwa APBN 2025 berpotensi mengalami perubahan melalui mekanisme APBN-P, yang dapat menyebabkan defisit anggaran melebihi 3 persen dari PDB. Jika hal ini terjadi, maka dampaknya bisa lebih luas dan berpotensi menekan stabilitas fiskal secara keseluruhan.

    Utang RI Makin Meninggi

    Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama mengungkap, perkembangan utang Indonesia semakin mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kementerina Keuangan, per Juli 2024 utang Indonesia mencapai Rp8,502 triliun.

    Sementara bunga utang, tutur Riza, kebutuhan pembiayaan utang Indonesia sebesar Rp775,9 triliun yang jatuh tempo ditambah bunga utang sebesar Rp552,85 triliun yang harus dibayarkan di tahun 2025.

    “Yang menjadi permasalahan dari pembiayaan adalah, semakin tingginya pembiayaan utang kita risikonya adalah bunga utang semakin tinggi. Kenapa kita harus perhatikan? Yield-nya, imbal-hasil dari penarikan utang kita itu sangat tinggi,” kata Riza dalam acara diskusi publik bertajuk ‘RAPBN di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?’ yang diikusi secara daring, Minggu, 18 Agustus 2024.

    Dibandingkan negera-negara di Asia, kata Riza, yield 10 tahun Indonesia berada di level 6,705. Adapun angka itu menempati posisi tertinggi kedua setelah India sebesar 6,871.

    “Dibandingkan dengan South East Asean, kita itu paling tinggi biaya utangnya,” jelasnya.

    Sementara utang jatuh tempo Indonesia di pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2025 sebesar Rp705,5 triliun. Sedangkan untuk utang pinjaman internasional sebesar Rp94,83 triliun di tahun 2025. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.