KABARBURSA.COM – Profesor Azril Azhari, pengamat kebijakan publik pariwisata, memberikan kritik tajam terhadap sosok menteri pariwisata yang baru, yang dinilainya belum memahami ilmu dasar pariwisata. Menurut Azril, masalah ini bisa menjadi penghambat bagi pengembangan sektor pariwisata Indonesia ke depan.
"Jujur saja, saya tidak optimis. Menteri yang baru ini tidak tahu ilmu pariwisata. Padahal, untuk membangun pariwisata dengan baik, seseorang harus paham ilmunya terlebih dahulu," ujar Azril saat diwawancarai Kabarbursa.com, Kamis, 24 Oktober 2024.
Azril mengungkapkan bahwa permasalahan ini bukan hal baru. Bahkan, pada periode sebelumnya, pemimpin di sektor ini juga dinilai tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang pariwisata.
"Ini menjadi masalah karena presiden terus memilih orang yang tidak paham ilmu pariwisata. Bagaimana mungkin bisa mengembangkan sektor ini kalau dasarnya saja tidak mengerti?" tegas Azril.
Pembangunan Destinasi vs Desa Wisata
Lebih lanjut, Azril menyoroti pendekatan pemerintah yang cenderung berfokus pada pembangunan destinasi besar. Menurutnya, ini adalah strategi yang keliru. Ia menekankan bahwa pengembangan pariwisata seharusnya dimulai dari skala kecil, seperti desa wisata, yang memiliki potensi besar untuk diangkat.
"Saya pernah mendampingi Mas Andi sebagai penasihat. Waktu itu kami sepakat bahwa pengembangan pariwisata tidak harus dimulai dari destinasi besar. Justru desa wisata yang perlu diangkat dulu. Dari yang kecil bisa kita dorong ke atas," ujar Azril.
Ia menambahkan, pengembangan dari skala kecil ini lebih berkelanjutan dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat lokal, berbeda dengan proyek destinasi besar yang sering kali terfokus pada investasi besar tanpa mempertimbangkan ekosistem pariwisata di sekitarnya.
Tantangan Menteri Baru
Azril menilai, menteri pariwisata yang baru akan menghadapi tantangan besar jika tidak segera memahami dan mempelajari ilmu pariwisata secara mendalam. Sebab, tanpa pengetahuan tersebut, pembangunan yang dilakukan hanya akan bersifat superfisial dan tidak berdampak jangka panjang.
"Kementerian ini butuh orang yang mengerti bukan hanya soal proyek besar, tetapi juga bagaimana mengembangkan pariwisata dari bawah. Kalau hanya fokus pada destinasi besar tanpa memahami ekosistemnya, ya sulit," pungkas Azril.
Sinergitas di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebelumnya masih sangat lemah sejak kedua entitas digabung menjadi satu. Hal ini membuat kekhawatiran mengenai ketidaksolidan apabila dua kementerian itu berdiri sendiri.
Menurut pengamat kebijakan publik pariwisata, Profesor Azril Azhari, adanya perbedaan visi antara sektor ekonomi kreatif dan pariwisata menjadi mulanya. Contohnya antara lain sektor makanan dan minuman (food and beverages) secara teori masuk ranah pariwisata, namun sering diklaim bagian dari ekonomi kreatif.
“Sejak awal penggabungan (Kementerian Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif), sinergi antarsektor ini tidak berjalan baik. Di bawah menteri sebelumnya, Mari Elka Pangestu, integrasi sektor ini tidak solid. Hal ini menjadi tantangan besar hingga sekarang,” ujar Azril kepada Kabarbursa.com, Kamis, 24 Oktober 2024.
Selain sinergitas, Azril menyoroti adanya pengawasan yang lemah pada kementerian tersebut. Selain itu, sambung dia, para pimpinan lembaga tersebut kurang memahami aspek teoritis dan ilmiah mengenai pariwisata sehingga arah kebijakan menjadi tidak jelas.
“Kementerian ini seharusnya memahami bahwa pariwisata itu memiliki ilmu tersendiri, bahkan sudah diakui sebagai ilmu mandiri sejak tahun 2008. Namun, banyak yang masih menganggap pariwisata hanya sebagai bagian dari ilmu sosial. Ini masalah besar karena justru mengabaikan ilmu-ilmu terapan yang sangat penting dalam pengelolaan pariwisata, seperti zonasi dan carrying capacity,” jelas Azril.
Ia mencontohkan buruknya pengelolaan di beberapa destinasi wisata, seperti Borobudur dan Taman Nasional Komodo, yang tidak memperhatikan kapasitas fisik wisatawan. Menurutnya, kurangnya pemahaman terhadap aspek ilmiah ini bisa berdampak pada kerusakan destinasi wisata.
“Destinasi wisata seperti Borobudur dan Komodo tidak pernah dihitung daya tampungnya secara ilmiah. Akibatnya, tempat-tempat ini rusak karena tidak ada kontrol. Ini seharusnya menjadi perhatian utama Kementerian Pariwisata,” tegas Azril.
Pemisahan Awal Mula Tumpang Tindih?
Ia juga menyoroti potensi ketidakharmonisan dalam pengelolaan wisata belanja. “Wisata belanja secara konsep adalah wisata minat khusus yang berada di sektor pariwisata, tetapi nanti akan berada di bawah Ekonomi Kreatif,” tambahnya.
Menurut Azril, jika saat kedua bidang ini berada di satu kementerian saja sudah terjadi ketidakselarasan, maka pemisahan ini hanya akan memperburuk situasi.
Lebih lanjut, Azril mengungkapkan bahwa selain tumpang tindih kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan program pariwisata dan ekonomi kreatif akan semakin sulit. Menurutnya, pergeseran paradigma dalam industri pariwisata juga belum sepenuhnya dipahami oleh para pengambil kebijakan.
Ia menekankan bahwa saat ini telah terjadi perubahan dari pariwisata massal menuju pariwisata yang lebih berkualitas dan personal.
“Sebelum tahun 1980, pariwisata bersifat massal, namun sejak 2000-2020, kita beralih ke pariwisata berkualitas. Setelah 2023, pariwisata bergerak menuju bentuk yang lebih ‘customized‘, di mana perilaku pengunjung lebih menekankan pada minat khusus, personalized, localized, dan small in size,” jelas Azril.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.