KABARBURSA.COM - DPR RI telah menyetujui pengesahan rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi UU dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 4 Juni 2024.
UU KIA berfokus pada mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Fase awal kehidupan anak terhitung sejak terbentuknya janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyoroti pentingnya implementasi dan sosialisasi undang-undang ini untuk mencapai efektivitas yang maksimal. Ia yakin pengesahan ini menjadi tonggak penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia.
"Ini kan sudah kita lakukan dengan Serikat Pekerja. Itu kan sudah masukkan dari mereka juga. Makanya supaya undang-undang ini menjadi implementatif, akan menjadi penting dilakukan RDP, sosialisasi dan sebagainya," kata Bintang kepada KabarBursa usai rapat dengan Komisi VIII DPR RI.
Bintang menekankan perlunya sosialisasi yang luas terkait UU KIA. Dia mengatakan kerjasama dengan Serikat Pekerja telah dilakukan untuk mengakomodir masukan yang relevan.
Bintang yakin implementasi UU KIA efektif berkat sosialisasi yang komprehensif, termasuk melalui forum RDP dan diskusi dengan Kementerian Ketenagakerjaan serta Serikat Pekerja.
Selain itu, Bintang juga menyoroti keterkaitan UU KIA dengan kondisi ekonomi saat ini, terutama terkait deflasi yang sedang terjadi. Dia menegaskan bahwa aspek ekonomi perempuan dan anak harus dipertimbangkan secara serius dalam implementasi undang-undang tersebut.
"Ketika kita bicara masalah kesejahteraan ibu kan sudah mandat daripada konstitusi negara kita," ujar Bintang.
Dia juga menjelaskan bahwa inisiatif UU KIA berasal dari DPR RI. Bintang memandang UU KIA menjadi wujud nyata dalam usaha mensejahterakan seluruh masyarakat tanpa membedakan gender.
"Mandatnya bagaimana kita mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan laki-laki dan perempuan," kata dia.
Bintang juga menanggapi tentang bagaimana implementasi UU KIA di perusahaan. Dia menegaskan pentingnya optimisme dan komunikasi yang intensif.
"Kita kan tidak boleh pesimis ya. Karena ini sudah kita komunikasikan. Dan ini ranahnya itu lebih banyak dikawal oleh Kemenaker," katanya.
Untuk mendukung penerapan UU KIA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan demi memastikan kesuksesan implementasi undang-undang ini. Bintang menjelaskan, melalui pendekatan koordinatif dan mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk serikat guru dan pekerja, diharapkan akan ditemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kerjasma lintas sektor juga berguna menyelesaikan masalah manakala UU ini menemui kendala terapan di perusahaan. p
Pasalnya, Bintang mengungkapkan, sejumlah perusahaan sempat mengeluh dengan kehadiran UU ini.
"Awalnya memang ini yang sangat amat alot. Dari sekian (masalah) itu, cuti ini yang sangat alot. Memang agak keberatan beberapa perusahaan. Tapi setelah kita komunikasikan, akhirnya kita bisa temukan jalan tengahnya," katanya.
Pengesahan UU KIA
Sebelumnya dalam rapat paripurna pengesahan UU KIA tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, menyampaikan fokus pengaturan dalam RUU KIA telah disepakati setelah awalnya mengatur kesejahteraan ibu dan anak secara umum. Ia menyoroti pentingnya implementasi RUU ini untuk meningkatkan kesejahteraan para ibu dan tumbuh kembang anak.
“Kami melihat harapan luar biasa besar dalam rancangan undang-undang ini nanti bila disahkan menjadi undang-undang dan ditindaklanjuti dalam berbagai implementasi kebijakan dan program yang akan mampu mengangkat harkat dan martabat para ibu, meningkatkan kesejahteraannya, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupan,” ungkapnya.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyambut hadirnya RUU ini sebagai langkah nyata negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak untuk menciptakan sumber daya manusia unggul di masa depan.
“Rancangan undang-undang ini hadir dengan harapan masalah ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan dapat kita selesaikan untuk menyambut Indonesia Emas 2045,” kata Bintang.
Ada enam poin penting dalam RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disepakati oleh Komisi VIII DPR RI bersama Pemerintah.
Pertama, perubahan judul dari Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Kedua, penetapan definisi anak dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, khusus definisi anak pada 1.000 hari pertama kehidupan yaitu kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan berusia dua tahun, sedangkan definisi anak secara umum dapat merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketiga, perumusan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Keempat, penetapan kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama dua hari dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Bagi suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti dua hari.
Kelima, perumusan tanggung jawab ibu, ayah, dan keluarga pada fase seribu hari pertama kehidupan. Demikian pula tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.
Keenam, pemberian jaminan pada semua ibu dalam keadaan apapun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus. Di antaranya, ibu berhadapan dengan hukum; ibu di lembaga pemasyarakatan, di penampungan, dalam situasi konflik dan bencana; ibu tunggal korban kekerasan; ibu dengan HIV/AIDS; ibu di daerah tertinggal terdepan dan terluar; dan/atau ibu dengan gangguan jiwa; termasuk juga ibu penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan peraturan perundangan mengenai penyandang disabilitas. (alp/prm)