KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menghentikan impor beras mulai 2025. Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah menugaskan Perum Bulog menyerap 3 juta ton beras dalam periode Januari hingga April 2025.
Sebagai langkah pendukung, pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram. Bulog bertanggung jawab menyerap beras dari pabrik-pabrik mitra yang membeli gabah petani sesuai harga tersebut.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, merasa penetapan harga tanpa mempertimbangkan kualitas gabah dapat berdampak negatif pada sektor pertanian
Menurut Khudori, kebijakan ini memang bertujuan menjaga semangat petani dengan memberikan insentif ekonomi yang layak. Namun, penetapan HPP sebesar Rp6.500 per kilogram tanpa mempertimbangkan kualitas gabah justru bisa merugikan petani yang menghasilkan gabah berkualitas tinggi.
"HPP Rp6.500/kg GKP untuk kualitas apapun tentu menguntungkan petani yang gabahnya tidak bagus. Tapi akan disinsentif bagi petani yang gabahnya baik," ujarnya kepada KabarBursa.com, Rabu 19 Februari 2025.
Lebih lanjut, Khudori menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip dasar ekonomi, di mana harga seharusnya mencerminkan kualitas barang. Di lapangan, harga gabah berkualitas baik biasanya lebih tinggi dari HPP yang ditetapkan.
Ia juga mengkhawatirkan bahwa aturan ini dapat mendorong perilaku moral hazard, seperti panen padi sebelum waktunya. Hal ini akan menghasilkan gabah hijau dengan butir yang belum terisi penuh dan tingkat butir hampa yang tinggi. Jika digiling, gabah semacam ini akan menghasilkan beras dengan rendemen rendah dan kualitas yang kurang baik.
"Perilaku seperti ini enggak akan muncul jika ada regulasi rafaksi harga gabah sesuai kualitas," tambahnya.
Karena itu, menurutnya, perilaku ini bisa dicegah jika pemerintah menerapkan regulasi rafaksi harga gabah berdasarkan kualitas. Sebelum dampak negatifnya semakin meluas, ia menyarankan agar pemerintah segera merevisi kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan mekanisme yang lebih adil bagi petani dan konsumen.
Sebagai solusinya, Khudori mengusulkan agar pemerintah tetap menerapkan HPP, tetapi dengan mekanisme rafaksi harga yang memperhitungkan kualitas gabah. Langkah ini dinilai penting untuk mencegah praktik panen dini yang bisa merugikan konsumen serta menjaga standar kualitas beras di tingkat nasional.
"HPP ini tetap jalan, tapi lengkapi dengan rafaksi harga. Karena hampir semua barang itu berlaku kaidah: ada barang ada harga. Barang bagus harganya bagus. Barang jelek ya harganya menyesuaikan," tandasnya.
Bulog Serap 3 Juta Ton Beras
Sebelumnya, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional telah menetapkan HPP gabah sebesar Rp6.500 per kilogram. Kebijakan ini juga menghapus rafaksi harga gabah yang sebelumnya diterapkan. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan target ambisius Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2025.
Menurut catatan Kabar Bursa, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, sebelumnya sudah menginstruksikan Perum Bulog untuk menyerap 3 juta ton beras dalam waktu yang sangat singkat—hanya dalam 3 bulan, yaitu antara Januari hingga April 2025.
"Kami sudah sepakat dengan Bulog, tadi rapatnya agak panjang, dan memang harus membeli 3 juta ton dalam waktu yang sempit ini, yakni Januari, Februari, Maret, dan April," ujar Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta pada Rabu, 22 Januari 2025.
Namun, meskipun sudah ditekankan bahwa penyerapan ini harus dilakukan dalam bentuk beras, Zulkifli Hasan menambahkan bahwa jika dalam bentuk gabah, tentu jumlahnya akan lebih banyak. “Sebanyak 3 juta ton harus diserap dalam bentuk beras. Kalau gabah tentu lebih banyak lagi,” tambahnya.
Meski Pemerintah Janji Hentikan
Meskipun sektor pertanian sedang digenjot untuk memproduksi 3 juta ton beras dalam tigas bulan pertama tahun 2025, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia masih melakukan impor beras. Pada Januari 2025, nilai impor beras mencapai USD43,2 juta atau sekitar Rp700,66 miliar (dengan asumsi kurs Rp16.220 per dolar AS).
BPS melaporkan bahwa volume impor beras Indonesia pada Januari 2025 mencapai 79.361 ton. Meskipun nilai impornya turun signifikan dibandingkan periode yang sama pada 2024 dari USD278,03 juta mengalami penurunan sebesar 84,46 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Volume impor beras tersebut juga tergerus cukup besar. Impor beras pada Januari 2025 tercatat turun 82,05 persen dibandingkan dengan Januari 2024 yang mencapai 442.112 ton. Kendati demikian meski terjadi penurunan signifikan, hal itu tidak menutup fakta bahwa Indonesia masih mengimpor beras di tengah janji pemerintah untuk menghentikan impor tahun ini.
Berdasarkan data BPS, impor beras pada Januari 2025 yang diterima Indonesia mayoritas berasal dari negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, dan Myanmar.
Lebih merinci, pada Januari 2025, Indonesia mengimpor 13.984 ton beras dari Thailand, senilai USD8,06 juta. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Januari 2024, ketika volume impor beras dari Thailand mencapai 235.840 ton dengan nilai USD151,88 juta. Selain itu, Indonesia juga mendatangkan 15.050 ton beras dari Vietnam, yang bernilai USD8,27 juta pada awal tahun ini. Bandingkan dengan Januari 2024, di mana volume impor dari Vietnam tercatat 32.342 ton dengan nilai USD21,04 juta.
Impor beras dari Myanmar juga tercatat 6.680 ton dengan nilai USD3,64 juta pada Januari 2025, jauh turun dari 41.640 ton senilai USD23,96 juta pada periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, pemerintah juga mengimpor 16.876 ton beras dari Pakistan, senilai USD8,98 juta. Pada Januari 2024, Indonesia mengimpor 129.781 ton beras dari Pakistan dengan nilai mencapai USD79,33 juta.
Menariknya, Indonesia kembali membuka jalur impor dengan jumlah 26.763 ton beras dari India senilai USD14,07 juta. Setelah pada Januari tahun sebelumnya pemerintah tidak menerima impor beras dari India.(*)