KABARBURSA.COM - Perlambatan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 menjadi perhatian utama pelaku pasar. Berdasarkan rilis terbaru, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), terendah sejak kuartal III-2021.
“Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menopang sekitar 53,71 persen dari PDB, hanya tumbuh 4,89 persen yoy, meskipun didukung momen Ramadan dan Lebaran,” ujar Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, melalui risetnya Senin, 5 Mei 2025.
Menurut Liza, tekanan juga datang dari sisi investasi, atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang hanya tumbuh 2,12 persen yoy karena suku bunga tinggi dan ketidakpastian global. Belanja pemerintah justru mengalami kontraksi sebesar 1,38 persen yoy, akibat kebijakan efisiensi fiskal.
Di sisi lain, ekspor barang dan jasa naik 6,78 persen yoy, didorong lonjakan wisatawan asing, namun pertumbuhan impor tertahan hanya 3,96 persen yoy.
Analis memandang bahwa momentum domestik sedang melemah. Banyak perusahaan menunda ekspansi dan penciptaan lapangan kerja pun melambat.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 pun direvisi ke bawah 5 persen, dengan risiko kontraksi kuartalan sebesar 0,3 hingga 0,5 persen. “Bank Indonesia kemungkinan memangkas suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin pada paruh kedua 2025, jika FOMC AS mulai melonggarkan kebijakan moneter pada Juni atau Juli,” ungkap Liza.
Fenomena kehati-hatian konsumen juga menjadi sorotan. Dana pihak ketiga (DPK) tabungan perorangan tumbuh 6,4 persen yoy per Maret 2025, tertinggi sejak 2022, bahkan di tengah Ramadan.
“Kecenderungan menabung meningkat karena efek psikologis dari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal beberapa bulan sebelumnya. Banyak masyarakat memilih menahan belanja THR dan pesangon demi bertahan dalam beberapa bulan ke depan,” jelas Liza.
Hal ini berdampak pada konsumsi non-esensial dan aktivitas mudik Lebaran yang menurun tajam.
Meskipun kabar kontraksi ekonomi telah beredar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak serta-merta merosot. Liza menilai bahwa kabar ini tampaknya sudah diantisipasi oleh pasar. Apalagi, data serupa dari Amerika Serikat telah lebih dahulu rilis. PDB AS kuartal I-2025 tercatat hanya tumbuh 0,3 persen yoy, turun tajam dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 2,4 persen yoy.
“Penyebab utamanya adalah lonjakan impor hingga 41,3 persen secara tahunan, akibat perusahaan di AS memborong bahan baku sebelum tarif baru berlaku,” jelasnya. Hal ini menekan ekspor AS dan memperlebar defisit perdagangan.
Liza mencatat bahwa dinamika ekspor dan impor Indonesia yang berlawanan arah dengan AS mencerminkan kaitan global. “Ekspor Indonesia naik, sementara impor melambat, sejalan dengan membesarnya impor di AS dan tertekannya ekspor mereka,” paparnya.
Data historis menunjukkan bahwa bulan Mei secara statistik memberikan probabilitas kenaikan IHSG terendah, hanya 20 persen dalam lima tahun terakhir. Sebaliknya, April mencatat winning rate 80 persen. Liza menambahkan, “Bulan lalu IHSG melonjak 9,3 persen, namun memasuki Mei, pelaku pasar perlu mewaspadai faktor global yang bisa memicu volatilitas.”
Sejumlah indikator ekonomi dan keputusan suku bunga dari negara-negara besar akan dirilis sepanjang Mei, termasuk FOMC AS, Bank of England, dan data inflasi serta GDP dari China, Jepang, Jerman, dan Uni Eropa. Dari dalam negeri, data PDB kuartal I dan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menjadi sorotan penting. “KIWOOM melihat seluruh agenda ini memiliki potensi besar mengguncang pasar saham global,” tegas Liza.
Ketidakpastian juga ditambah dengan gelombang kebijakan tarif impor dari AS. Presiden Donald Trump kembali melancarkan agenda proteksionis “America First”, dengan tiga langkah besar yang mulai berlaku Mei ini.
Pertama, pada 2 Mei 2025, AS mencabut kebijakan de minimis untuk barang dari China dan Hong Kong bernilai di bawah USD 800. Mulai Juni, tarif flat per item naik dari USD 100 menjadi USD 200. “Platform seperti Shein dan Temu menghentikan sementara pengiriman ke AS. Konsumen berpenghasilan rendah terkena dampak karena harga barang melonjak,” ujar Liza.
Kedua, sejak 3 Mei 2025, AS menerapkan tarif 25 persen atas mobil impor utuh (CBU), termasuk dari Kanada dan Meksiko. “Beberapa produsen otomotif besar seperti GM dan Ford menghentikan produksi sementara karena gangguan pasokan. PHK dan lonjakan harga mobil pun mengintai,” tambahnya.
Ketiga, tarif 100 persen atas film yang diproduksi di luar negeri direncanakan mulai berlaku kuartal ketiga 2025. “Disney dan Netflix menunda proyek di luar AS. Ini menimbulkan protes dari pelaku industri film global,” kata Liza.
Akibat berbagai kebijakan ini, Moody’s memperkirakan inflasi barang konsumen di AS akan naik 0,4 persen dalam dua bulan ke depan. Sementara model dari Penn Wharton Budget memperkirakan bahwa jika seluruh tarif diterapkan secara permanen, PDB AS jangka panjang akan turun 6 persen dan upah riil menurun 5 persen. Rata-rata rumah tangga kelas menengah diperkirakan kehilangan USD 22.000 sepanjang hidupnya.
Gangguan rantai pasok dan distribusi juga menjadi perhatian. “E-commerce mengalihkan rute pengiriman via Meksiko, yang bisa memicu tarif baru lagi di masa depan,” ujar Liza.
Dari sisi politik, pernyataan Trump pada 3 Mei yang menyebut, “We can live with fewer toys this Christmas if it means bringing our factories back home,” mendapat kritik tajam. Financial Times menyebutnya sebagai “Marie Antoinette Moment” karena dinilai tak peka terhadap beban ekonomi masyarakat miskin AS. Partai Demokrat dan pelaku industri juga mengecamnya sebagai bentuk pengabaian terhadap realitas ekonomi rakyat kecil.
Sementara itu, pemerintah China menyebut kebijakan tarif ini sebagai “serangan ekonomi tak berdasar” dan menyiapkan balasan, termasuk pembatasan ekspor rare earth. Meski Trump menyatakan terbuka untuk negosiasi, tarif terhadap produk China telah mencapai 145 persen dan belum menunjukkan tanda-tanda akan diturunkan. Jika tidak ada kesepakatan, tarif penuh akan diberlakukan secara bertahap hingga Juli 2025.
Produk yang diperkirakan terkena dampak besar antara lain komponen elektronik, barang konsumsi rumah tangga, baja ringan, baterai kendaraan listrik (EV), dan panel surya. “Dampaknya akan sistemik, mulai dari e-commerce hingga industri otomotif dan hiburan,” tutup Liza.
Dengan ketidakpastian global dan domestik yang semakin tinggi, pasar keuangan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam beberapa bulan mendatang. IHSG pun diuji, bukan hanya oleh data, tapi juga oleh dinamika geopolitik dan perubahan struktural ekonomi global. (*)