KABARBURSA.COM - PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) mencatat laba bersih sebesar Rp1,53 triliun hingga akhir September 2024, naik 7,1 persen (year-on-year/yoy) dengan margin mencapai 22,5 persen.
Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartoko, mengungkapkan bahwa pendapatan perseroan tumbuh 8,7 persen (yoy) menjadi Rp6,82 triliun. Seperti dalam pernyataan di Jakarta pada Rabu 30 Oktober 2024.
Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan produksi, terutama dari bisnis penyewaan menara yang tumbuh 8,5 persen (yoy). Sementara itu, bisnis fiber optik mencatatkan kenaikan pendapatan yang signifikan sebesar 89,5 persen, meskipun baru digarap sejak 2022.
Walau kontribusi fiber optik masih 4 persen dari total pendapatan, perkembangan bisnis ini sangat menjanjikan. "Ke depan, kami akan fokus pada ekspansi bisnis fiber optik, sambil tetap mengembangkan pangsa pasar di sektor menara dan mendorong penerapan teknologi canggih di semua lini," tambahnya.
Peningkatan pendapatan selaras dengan kinerja operasional yang membaik, terlihat pada bertambahnya jumlah menara, fiber optik, kolokasi, serta penyewa (tenant). Tenancy ratio juga meningkat menjadi 1,51x dari 1,50x pada periode yang sama tahun lalu.
Theodorus, yang akrab disapa Teddy, optimistis peningkatan angka tenant mencerminkan optimalisasi aset perusahaan serta keseimbangan antara ekspansi dan jumlah penyewa yang berhasil diwujudkan.
Hingga kuartal III-2024, Mitratel memiliki 39.259 menara, naik 5,8 persen (yoy). Aset fiber optik mencapai 39.714 km, meningkat 36,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Seiring peningkatan aset, jumlah penyewa turut naik 6,7 persen menjadi 59.431 tenant, dan kolokasi meningkat 8,4 persen.
Sebaran menara Mitratel di Pulau Jawa mencapai 16.113 unit per akhir September 2024, menyumbang 41 persen dari total.
Sementara di luar Jawa, aset menara terbagi di Sumatera dengan 11.337 menara (28,9 persen), Sulawesi 3.648 menara (9,3 persen), Kalimantan 3.772 menara (9,6 persen), Bali Nusa Tenggara 2.657 menara (6,8 persen), serta Maluku dan Papua 1.732 menara (4,4 persen), menjadikan total menara di luar Jawa sebesar 59 persen.
Selain meningkatkan aset dan menarik tenant baru, Mitratel terus mendorong efisiensi di seluruh proses bisnis dengan mengadopsi teknologi digital. Salah satu contohnya adalah aplikasi OneFlux yang mempermudah proses internal sekaligus memaksimalkan layanan pelanggan.
Efisiensi biaya dan pendapatan ini berdampak pada kenaikan EBITDA sebesar 12,1 persen menjadi Rp5,67 triliun, dengan EBITDA Margin mencapai 83,1 persen.
Proyek Satelit Orbit
PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel (MTEL) mengungkapkan bahwa proyek satelit orbit rendah (LEO) SpaceX milik Elon Musk, Starlink, hanya menjadi pelengkap, terutama di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
“Starlink lebih berfungsi sebagai pelengkap, bukan pengganti. Di wilayah 3T, pembangunan tower sulit, jauh, dan mahal,” ujar Direktur Investasi Mitratel, Hendra Purnama, dalam sebuah acara di Labuan Bajo, Senin 5 Agustus 2024 malam.
“Karena pabriknya biasanya di Pulau Jawa, mengirim logistik sulit: harus membuka jalan, lokasinya tidak bisa sembarangan, harus di atas bukit, dan harus menyiapkan sumber energi dari PLN, genset, atau tenaga surya.”
Starlink kemudian menjadi solusi infrastruktur penyebaran akses internet yang ideal di wilayah 3T. Meski dikabarkan memiliki banyak keunggulan, Starlink tidak luput dari kelemahan.
“Jika hanya satu-dua pengguna, kualitasnya masih bagus. Namun, jika 10-20 orang menggunakannya, mulai terasa kelemahannya, apalagi jika 100-200 orang menggunakan, bisa macet,” tambahnya.
Flying Tower System (FTS)
Zephyr, dikenal sebagai Flying Tower System (FTS) atau BTS Terbang, menawarkan layanan konektivitas seluler, termasuk 5G, langsung ke perangkat pengguna. Pesawat nirawak ini mampu melayang di ketinggian 18-20 kilometer, menyebarkan sinyal internet dengan latensi yang sangat rendah.
Di laman resminya, Aalto mengklaim bahwa Zephyr memiliki latensi antara 5-10 milidetik, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Starlink yang berkisar di atas 50 milidetik. Aalto juga menyebutkan bahwa HAPS dapat menjadi solusi konektivitas 4G dan 5G di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau, khususnya di daerah terpencil.
Beberapa operator telekomunikasi pun menyatakan ketertarikan mereka untuk memanfaatkan teknologi FTS ini.
Untuk menggantikan Starlink, anak perusahaan Telkom ini tengah mengembangkan Flying Tower System (FTS), teknologi pesawat tanpa awak bertenaga surya dengan teknologi High Altitude Platform Station (HAPS) dari anak usaha Airbus, AALTO HAPS Ltd.
Teknologi inovatif ini menggunakan drone yang terbang di ketinggian 20 km di atas laut dan mampu mencakup area yang luas. Berdasarkan perhitungan MTEL, HAPS bisa menjangkau luas 200 km.
“Dengan adanya HAPS, Starlink bisa digantikan,” jelas Hendra. “Nantinya, cukup dengan menggunakan ponsel saja, sinyal sudah bisa didapatkan melalui HAPS yang dipantulkan ke tower kami.”
Selain itu, pembuatannya juga lebih murah karena tidak memerlukan roket atau ruang kontrol yang kompleks. “Hanya butuh drone. Jadi, HAPS bisa menggantikan Starlink dengan biaya lebih rendah, latency (kecepatan koneksi jaringan) yang lebih rendah, dan fleksibilitas yang jauh lebih tinggi,” pungkas Hendra.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.