KABARBURSA.COM - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penguatan terhadap Rupiah. Bahkan, mata uang negara Paman Sam tersebut sempat menekan Rupiah hingga mencapai level Rp16.400.
Menurut data RTI, pada hari Jumat, 14 Juni, dolar AS menekan Rupiah paling kuat hingga menyentuh level Rp16.400. Meski begitu, pada akhir perdagangan hari tersebut, nilai tukar Rupiah sedikit menguat dan bertahan di level Rp16.394.
Pelemahan Rupiah yang signifikan ini sempat membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa khawatir. Dia mengakui bahwa ketika nilai tukar dolar AS mendekati Rp16.200, ia mulai merasa was-was. Namun, saat ini penguatan Dolar telah melampaui kekhawatiran awalnya.
"Kurs dolar AS, kemarin kita agak ngeri juga karena melompat di atas Rp16.000, Rp16.200, kita sudah mulai ketar-ketir karena negara lain juga mengalami lonjakan serupa," kata Jokowi dalam sambutannya pada acara Inagurasi GP Ansor di Istora Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin, 27 Mei 2024.
Walaupun nilai tukar Rupiah telah mendekati Rp16.400, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai bahwa pelemahan Rupiah masih tergolong rendah dibandingkan dengan mata uang negara lain.
Depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS masih lebih kecil dibandingkan dengan mata uang negara lain seperti Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang.
"Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang mencapai Rp16.300 ini, jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu dan mata uang negara lain, masih lebih rendah. Depresiasi kita termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang," kata Perry di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Jumat, 14 Juni 2024.
Dia menekankan bahwa rupiah masih merupakan mata uang yang stabil karena Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi, seperti intervensi pasar, menarik portofolio asing ke dalam negeri, serta memastikan devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA) dikelola dengan baik.
Penguatan dolar AS yang terus berlanjut ini memberikan tantangan tambahan bagi perekonomian Indonesia.
Pemerintah dan Bank Indonesia terus bekerja sama untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan berbagai kebijakan moneter dan fiskal.
Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memperkuat cadangan devisa dan mendorong ekspor non-migas.
Selain itu, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar global. Diversifikasi ekspor ke berbagai negara tujuan menjadi fokus utama untuk mengurangi ketergantungan pada beberapa pasar tertentu.
Upaya ini diharapkan dapat membantu memperkuat nilai tukar Rupiah dalam jangka panjang.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga memberikan peluang bagi sektor pariwisata Indonesia. Dengan nilai tukar yang lebih rendah, Indonesia menjadi destinasi yang lebih terjangkau bagi wisatawan asing.
Pemerintah dan pelaku industri pariwisata diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan devisa dari sektor pariwisata.
Secara keseluruhan, meskipun dolar AS terus menguat dan menekan rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia optimistis bahwa dengan langkah-langkah strategis yang tepat, stabilitas ekonomi Indonesia dapat tetap terjaga.
Kolaborasi antara berbagai pihak, baik dari sektor publik maupun swasta, sangat penting dalam menghadapi tantangan global ini.
Nilai Tukar Rupiah Terendah Sejak 2020
Pada Jumat, 14 Juni 2024, nilai tukar rupiah ditutup pada di angka Rp16.412 per dolar AS, merosot 130 poin atau 0,87 persen dari hari sebelumnya.
Pada perdagangan intraday, rupiah bahkan sempat menyentuh Rp16.431 per dolar AS. Ini merupakan level terlemah sejak 1 April 2020.
Kurs tengah Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), juga melemah ke Rp16.374 per dolar AS, posisi terendah sejak 8 April 2020.
Dalam sepekan, rupiah spot sudah melemah 1,33 persen dari Rp16.195 per dolar AS pekan lalu. Kurs JISDOR turun 0,96 persen dibandingkan posisi pekan sebelumnya.
Pelemahan rupiah ini menjadi yang terdalam di antara mata uang Asia lainnya. Dolar AS yang menguat menekan won Korea sebesar 0,39 persen, dolar Singapura 0,19 persen, ringgit Malaysia 0,16 persen, dan yuan China 0,04 persen.
Indeks dolar AS kembali menguat sejak dini hari tadi, didorong oleh penurunan yield Treasury AS ke 4,2 persen.
Rupiah bukan hanya terdesak oleh dolar AS, tetapi juga oleh aksi jual di pasar surat utang dan saham domestik.
IHSG jatuh hampir 2 persen, terkulai di 6.734,88. Yield surat utang negara mayoritas naik, menandakan tekanan harga obligasi.
Yield 10Y kembali ke 7,165 persen, tenor 5Y naik ke 7,089 persen, dan tenor 1Y naik ke 6,793 persen.
Investor asing banyak melepas posisi di pasar SBN, dengan penjualan nonresiden mencapai Rp800 miliar pada 12 Juni.
Investor hengkang dari pasar Indonesia menjelang libur panjang dipicu ketakutan akan risiko fiskal di bawah pemerintahan baru.
Pemerintahan Prabowo Subianto dikabarkan berencana menaikkan rasio utang hingga 50 persen dari PDB, untuk mendanai program populis seperti makan siang gratis dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Rasio utang ini akan menjadi yang tertinggi dalam dua dekade.
Menurut sumber Bloomberg, pemerintahan Prabowo berencana menaikkan rasio utang sebesar 2 poin persentase per tahun selama 5 tahun. Peningkatan bertahap ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi tim ekonominya beradaptasi terhadap hambatan yang mungkin muncul.
Utang Indonesia diproyeksikan mendekati 50 persen dari PDB pada akhir masa jabatan Prabowo, dari sekitar 39 persen tahun ini. Ini berpotensi mencapai tingkat tertinggi sejak 2004. Meskipun Prabowo telah mengemukakan rencana peningkatan utang selama kampanyenya, komitmen dan detail pelaksanaannya baru sekarang terungkap.
Langkah ini menandai perubahan signifikan bagi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yang selama ini menerapkan kebijakan fiskal konservatif demi menjaga kepercayaan investor. (*)