KABARBURSA.COM - Indonesia bersiap mengadopsi label makanan ‘Nutri-Grade’ ala Singapura. Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyebutkan, langkah ini tak hanya mencakup makanan kemasan, tetapi juga menyentuh menu di restoran.
"Secara bertahap, dalam satu tahun ke depan, kita akan wajibkan semua makanan kemasan dan hidangan di restoran memiliki label A, B, C, D. Jadi saat kita buka menu, seperti latte atau cappuccino, akan ada penanda ini," kata Menkes Budi di hadapan awak media di DPR RI.
Langkah ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya mengontrol konsumsi gula, garam, dan lemak harian. Selain itu, penetapan Nutri-Grade dapat menjadi daya tarik promosi bagi produk makanan dan minuman kemasan.
"Contohnya minuman rendah gula atau tanpa gula, mereka pasti akan segera menampilkan label untuk memperkuat promosi," tambahnya.
Rencana ini akan dimulai dalam dua minggu ke depan dan akan diterapkan secara bertahap di seluruh Indonesia. "Dalam satu atau dua minggu ke depan. Kita ingin penerapannya menyeluruh secara nasional, tapi kita berikan waktu satu tahun," tegas Menkes Budi.
Konsumen MBDK Tertinggi Ketiga
Berdasarkan laporan dari situs Kemenkes, Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dalam hal konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), dengan rata-rata mencapai 20,23 liter per orang.
Lebih mengkhawatirkan, konsumsi MBDK ini mengalami peningkatan tajam hingga 15 kali lipat dalam dua dekade, dari 51 juta liter pada tahun 1996 menjadi 780 juta liter pada tahun 2014.
Akibatnya, kelebihan konsumsi satu porsi minuman berpemanis setiap hari dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 hingga 18 persen, stroke sebesar 13 persen, dan serangan jantung (infark miokard) sebesar 22 persen.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk usia 18 tahun ke atas, dari 15,4 persen menjadi 21,8 persen. Angka ini juga meningkat pada usia 5-19 tahun, dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016. Sementara itu, pada kelompok remaja usia 13-17 tahun, sebanyak 14,8 persen mengalami kelebihan berat badan, dan 4,6 persen mengalami obesitas.
Obesitas sendiri menjadi salah satu faktor risiko utama dari penyakit tidak menular (PTM), yang bertanggung jawab atas 80 persen kasus kematian di Indonesia.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir, mendukung langkah pemerintah dalam mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebihan pada pangan olahan. Tony berharap, regulasi ini tidak hanya sekadar seremonial, tetapi benar-benar diimplementasikan secara serius. "Pengawasan yang ketat dan konsistensi dalam penerapan kebijakan ini di tengah masyarakat sangat diperlukan," ujar Tony.
Tony menegaskan bahwa pemerintah harus bersikap tegas terhadap produsen yang melanggar batas komposisi GGL. Berdasarkan data KPCDI, sekitar 70 persen pasien cuci darah di Indonesia mengalami gagal ginjal akibat diabetes, hipertensi, dan obesitas, yang dipicu oleh konsumsi berlebihan produk pangan kemasan tinggi GGL.
Pakar kesehatan masyarakat, Hasbullah Thabrany, menambahkan, upaya lain yang efektif untuk menekan konsumsi GGL adalah dengan menerapkan cukai yang optimal. "Cukai yang rendah tidak akan efektif. Jika kenaikannya hanya 20 persen, masyarakat masih bisa membeli produk tersebut," jelasnya.
Sejalan dengan itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menekankan pentingnya pengawasan sebelum dan sesudah pemasaran produk pangan. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak kesehatan dan pertumbuhan anak dari paparan produk tinggi GGL. "Jika ditemukan ketidaksesuaian kandungan setelah uji laboratorium, sanksi administratif hingga pidana harus diterapkan," tegas Jasra.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengendalian Konsumsi GGL mengatur batas maksimal kandungan GGL pada pangan olahan, termasuk pangan siap saji. Pemerintah juga berwenang menetapkan cukai terhadap produk yang melanggar batas tersebut.
Kementerian Kesehatan merekomendasikan batas konsumsi gula harian maksimal 50 gram, garam 5 gram, dan lemak 67 gram. Konsumsi GGL yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan jantung. Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, satu dari lima anak Indonesia berpotensi mengalami kerusakan ginjal akibat gaya hidup tidak sehat.
Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Brian Sri Prahastuti, penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal sangat erat kaitannya dengan konsumsi GGL yang berlebihan. Data WHO 2018 menunjukkan, diabetes melitus (DM) menjadi salah satu penyebab utama kematian global, dengan Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus DM terbanyak.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat, 47,5 persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari sekali sehari. Sementara itu, BPJS melaporkan peningkatan klaim terhadap delapan penyakit katastropik sepanjang 2023, mencapai USD 34,7 triliun dengan 29,7 juta kasus.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmisi, menekankan pentingnya aturan pengendalian GGL untuk mencegah penyakit tidak menular. "Konsumsi GGL yang berlebihan merupakan faktor risiko utama penyakit ini," ujarnya. Nadia juga menambahkan bahwa pengenaan cukai pada produk pangan kemasan menjadi intervensi yang efektif, sebagaimana diterapkan di 108 negara lain.
Dengan diterapkannya kebijakan ini, diharapkan dapat memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, meningkatkan kesehatan, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.