KABARBURSA.COM - Perubahan ekspektasi suku bunga dan stabilitas Rupiah berpotensi membawa iklim yang lebih baik bagi pasar obligasi. Hal ini ini berpotensi pada kembalinya arus dana asing. Selain itu, berkurangnya target penerbitan SBN di semester kedua tahun 2024 bisa menjadi potensi katalis obligasi lainnya.
Imbal hasil saat ini masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y - UST 10Y berada di 288 bps (lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps).
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun ada di kisaran 6,00 persen hingga 6,25 persen hingga akhir tahun ini. Ezra menambahkan, reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi.
Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengunci imbal hasil di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.
"Kalau kita lihat di first half atau semester pertama tahun ini, lumayan banyak kolateritas karena yang terlihat adalah potensi global masih kurang. Kebutuhan Amerika masih kuat, inflasi masih tinggi, potensi kebunga juga masih menguat dengan rupiah kita cukup lemah," terangnya.
Tapi ke depannya, di semester ke-2 ini, Ezra melihat sudah mulai adanya lebih cerah kondisi di mana ekonomi Amerika sudah mulai melambat, inflasi juga mulai turun ke level di mana Fed sudah memberi sinyal akan menurunkan sebuah bunganya di September.
Sebenarnya itu memberi katalis positif ke pasar obligasi, khususnya dengan rupiah juga kuat dan PD dapat menurunkan sebuah bunganya.
"Saya sempat sampaikan bahwa pada saat penurunan sebuah bunga, itu pasti efeknya akan direct effect, memiliki efek yang langsung memengaruhi pasar obligasi. Jadi, imbal hasil atau yield obligasi di ekspertisasi akan turun dengan mulai adanya pemangkasan sebuah bunga oleh efek yang akan dirajutkan oleh pemangkasan Bank Indonesia," ungkap Ezra, Rabu 14 Agustus 2024.
Walaupun memang pemangkasan sebuah bunga Bank Indonesia tidak akan sebanyak efek, tentunya akan mengikuti atau sedikit di belakang efek pemangkasannya.Tapi tentunya itu akan mempengaruhi langsung ke pasar obligasi.
Apalagi ditambah dengan rupiah yang menguat, tentunya itu akan memberikan confidence kepada investor asing yang sebelumnya di sidelines, belum berani masuk ke pasar obligasi Indonesia karena rupiahnya masih agak fertile, akan lebih berani masuk ke pasar obligasi .
Jadi tentunya kalau melihat adanya penurunan supply lebih sedikit, sedangkan demandnya itu naik, tidak cuma investor lokal yang selama ini terus membeli, terus belanja pasar obligasi, tapi juga ada demand dari investor asing, itu tentunya akan memberikan booster, setidaknya positif dan katalis untuk bisa mendorong imbal hasil turun.
Faktor Geopolitik Terhadap Obligasi
Ezra menyebut faktor geopolitik itu untuk pasar obligasi tentunya berpengaruh kepada ketidakpastian. Ketidakpastian itu tidak baguslah istilahnya untuk industri keuangan. Kenapa? Karena itu akan menghambat inflow.
"Saya sampaikan ada beberapa katalis yang akan terjadi di palu kedua tahun ini yang mendokrok pasar obligasi yaitu bunga tambah dengan aliran dana asing masuk juga salah satunya. Kalau pada saat ada ketidakpastian, politik atau perang dan lain-lain itu tentunya akan mempengaruhi inflow yang sebelumnya diarahkan ke pasar. Berkembang seperti Indonesia, mungkin mereka try to quarantine dulu, masuk kepada juga treasury dan lain-lain yang lebih aman," tegasnya.
Kembali lagi karena dana-dana aliran yang sebelumnya masuk kembali lagi keluar. Hal ini sebenarnya harapannya pada saat ketidakpastian tersebut itu bisa memberikan pasar jadi wait and see dahulu.
Tapi yang mungkin bisa disampaikan adalah biasanya adalah kondisi-kondisi geopolitical ini kurangnya sementar terjadi dan justru bisa memberikan potensi untuk entry level yang menarik .
"Fundamentalnya adalah Indonesia masih kuat, suku bunga masih akan turun kembali, rupiah tentunya akan menguat juga, dan aliran asli akan masuk," tegasnya.
Dari sisi lainnya, Samuel Kesuma Chieft Investment Officer Manulife menambahkan resiko geopolitik sebagai resiko jangka pendek, tapi memang resiko jangka pendek bisa cukup signifikan.
"So far memang yang kita cukup surprise ya memang apa yang terjadi di Timur Tengah ini tidak terlalu terlihat dampaknya ke harga energi ya. Kalau untuk equity atau pasar saham kalau kita fokus ke pertumbuhan laba emiten tentunya yang kita paling takutkan adalah satu, jangan sampai ada inflasi yang besar-besaran yang mengaruhi daya beli masyarakat," terangnya.
Samuel menambahkan biasanya kalau ada kondisi geopolitik terutama di Timur Tengah itu nanti tentunya yang ditakutkan adalah harga minyaknya bisa melonjak yang berdampaknya ke rupiah juga dan daya beli. Adapun yang perlu diperhatikan adalah rebalancing dana-dana asing dari US ataupun negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia jadi memang itu harus di perhatikan terus.
"Tapi yang kita syukuri sepertinya walaupun sekarang kondisi geopolitiknya masih cukup panas dapat ke harga energi ataupun harga pangan itu tidak terlalu terlihat tekanannya dan akhirnya ekspektasi inflasi juga relatif cukup terkendali ke depannya," tutupya.(*)