KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyampaikan laporannya terkait update penggunaan bursa karbon sejak diluncurkan pada 26 September 2023.
Hingga 28 Februari 2025, OJK mencatat sebanyak 110 pengguna jasa yang telah mendapatkan izin dengan total volume sebesar 1.578.443 tCO2e.
"Serta akumulasi nilai sebesar Rp 77,25 miliar," tulis OJK dalam keterangannya dikutip, Kamis, 6 Maret 2025.
Dalam rangka mendorong pendalaman pasar bursa karbon, OJK terus melakukan sinergi dalam kunjungan kerja pada fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan untuk meningkatkan supply kredit karbon di bursa karbon.
Selain itu, OJK menyampaikan kegiatan kunjungan kerja juga mencakup pembahasan mengenai dukungan atas program hilirisasi pemerintah.
Di sisi lain, OJK melaporkan pasar saham domestik ditutup melemah sebesar 11,80 persen mtd (mont to date) pada 28 Februari 2025 ke level 6.270,60, secara ytd (year to date) ,melemah 11,43 persen.
"Nilai kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp10.879,86 triliun atau turun 11,68 persen mtd (turun 11,80 persen ytd). Sementara itu, non-resident mencatatkan net sell sebesar Rp18,19 triliun mtd (ytd: net sell sebesar Rp21,90 triliun)," tulis OJK.
Secara mtd, kinerja indeks sektoral terjadi penurunan di beberapa sektor dengan penurunan terbesar di sektor energi dan infrastruktur.
Dari sisi likuiditas transaksi, rata-rata nilai transaksi harian pasar saham secara ytd tercatat Rp11,60 triliun, naik dibandingkan dengan rata-rata nilai transaksi harian pasar saham Januari 2025 sebesar Rp10,71 triliun.
Adapun OJK memaparkan, penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren yang positif, tercatat nilai penawaran umum mencapai Rp20,74 triliun melalui 1 Penawaran Umum Terbatas dan 11 Penawaran Umum Berkelanjutan.
"Sementara itu, masih terdapat 123 pipeline Penawaran Umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp42,56 triliun," tulis OJK.
BEI Beberkan Masa Depan Perdagangan Karbon Indonesia
Diberitakan sebelumnya, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menjelaskan masa depan bursa karbon di Indonesia menunjukkan harapan yang positif terutama perkembangan green investment semakin hari kian digalakkan dalam perdagangan global.
Hal ini disampaikan Denny dalam acara diskusi KabarBursa Economic Insight 2025 dengan tajuk Greennomic Indonesia: Challenges is Banking, Energy Transition and Net Zero Emmissions di Jakarta Pusat pada Rabu, 26 Februari 2025.
Denny menjelaskan nilai ekonomi karbon semakin menjadi faktor kunci dalam pengembangan proyek hijau dan investasi berkelanjutan.
"Dulu sebelum ada nilai ekonomi karbon, proyek hijau hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan energi yang dihasilkan. Sekarang, selain dari produksi energi, proyek juga mendapatkan tambahan pendapatan dari penghematan emisi karbon yang mereka lakukan," ujar Denny.
Denny memaparkan, saat ini harga karbon di Indonesia ditaksir sekitar Rp58.000 per ton CO2. Dengan skema ini, proyek-proyek hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan air dapat memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan karbon kredit.
Menurut dia, perdagangan karbon di Indonesia sendiri mengalami perkembangan pesat sejak pertama kali diluncurkan pada 26 September 2013. Awalnya hanya terdapat satu proyek, namun kini jumlahnya telah bertambah menjadi tujuh proyek dengan total carbon credit yang telah diterbitkan mencapai 3,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta ton telah terjual, menunjukkan minat yang tinggi dari berbagai pihak.
"Saat ini sudah ada sekitar 107 perusahaan jasa yang ikut serta dalam perdagangan karbon, dan lebih dari 1.100 entitas yang telah menggunakan skema carbon offset, di mana 893 di antaranya adalah individu yang secara sukarela mengompensasi emisi karbon mereka," tutur dia.
Dia tidak memaparkan secara detail nama-nama entitas perusahaan yang telah berkontribusi dalam perdagangan karbon.
Tidak hanya di perusahaan, Denny menyebut tren offset karbon juga telah merambah diberbagai lini. Seperti seminar nasional bahkan acara pernokahan. Rata-rata konsumsi emisi karbon masyarakat Indonesia sekitar 3 ton per tahun, skema carbon offset memungkinkan individu untuk membayar sekitar Rp450.000 per tahun guna menyeimbangkan emisi mereka.
Animo yang tinggi terhadap perdagangan karbon menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dan pelaku industri terhadap aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Ke depan, perdagangan karbon diharapkan terus berkembang dan menjadi salah satu instrumen utama dalam mendukung target net zero emission Indonesia.
BEI memfasilitasi dua mekanisme perdagangan karbon, yaitu perdagangan sektor spesifik atau sectoral trading dan perdagangan lintas sektor cross-sectoral trading. Mekanisme ini memungkinkan perusahaan yang memiliki kelebihan kuota emisi untuk menjual kredit karbonnya kepada perusahaan lain, baik domestik maupun internasional. Sistem perdagangan karbon tersebut dirancang dengan standar internasional. (*)