Logo
>

OJK: Pemegang Saham Hanya Boleh Punya Satu BPR

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
OJK: Pemegang Saham Hanya Boleh Punya Satu BPR

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan dalam kebijakan roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) untuk tahun 2024-2027. Bahwa, pemegang saham hanya diperbolehkan memiliki satu BPR.

    Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan kebijakan tersebut dibuat agar BPR dan BPRS berpeluang untuk melakukan konsolidasi.

    "SElama ini ada yang memiliki lima BPR, 10 BPR, bahkan 15 BPR. Ke depannya itu tidak boleh lagi. Jadi hanya boleh memiliki satu BPR, tapi BPR yang lain tidak ditutup, itu dijadikan cabang," kata Dian dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 20 Mei 2024.

    Dian juga menjelaskan bahwa roadmap ini mengatur mengenai modal inti minimum BPR dan BPRS yang masing-masing senilai Rp6 miliar.

    Menurutnya, penguatan modal ini memberikan peluang bagi pemegang saham untuk memperkuat keuangan bank mereka di masa depan, terutama jika mereka kesulitan menambah modal.

    Oleh karena itu melalui kebijakan tersebut diharapkan bisa memberikan penguatan dan efisiensi dari usaha BPR secara keseluruhan.

    "Dan ini juga kan mengarahkan kepada upaya kita untuk semakin memperkuat permodalan bank," jelasnya.

    Sebelumnya, OJK tengah melakukan bersih-bersih terhadap sejumlah BPR dan BPRS sebagai langkah tegas untuk menstabilkan sektor perbankan.

    Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menerangkan proses bersih-bersih itu dilakukan dengan tujuan memperkuat permodalan BPR/BPRS dan dikerjakan dalam 1-2 tahun ke depan.

    Caranya, lanjut Dian, tidak hanya dengan mencabut izin usaha (CIU), tapi juga penggabungan (merger) antara sejumlah BPR atau BPRS yang dimiliki oleh satu pemilik, dalam rangka penerapan Single Presence Policy (SPP).

    “Memang arah pengembangan BPR selanjutnya berdasarkan hasil analisis dan evaluasi, memang kami akan terus lakukan konsolidasi penguatan terhadap BPR melalui proses merger dan lain-lain,” kata Dian

    Dalam data terkini, jumlah BPR di Indonesia sebanyak 1.566 pada Maret 2024, menyusut 57 bank dari Desember 2021 yang tercatat masih sebanyak 1.623 BPR oleh karenanya opsi penggabungan dianggap tepat.

    Dian mengungkapkan saat ini OJK telah menyetujui penggabungan BPR/BPRS. Hingga Maret 2024 sebanyak 43 BPR/BPRS menjadi 14 BPR/BPRS. Masih ada sebanyak 25 BPR/BPRS lagi yang akan konsolidasi menjadi 8 BPR/BPRS. Terdapat 32 BPR/BPRS dalam pemenuhan kelengkapan dokumen konsolidasi menjadi 10 BPR/BPRS.

    Dengan proses pengurangan BPR/BPRS dalam rangka penguatan ini, Dian memaparkan bahwa data statistik justru menunjukkan bahwa industri BPR konsisten bertumbuh positif.

    “Jadi sebetulnya konsolidasi BPR ini terbukti memperkuat ketahanan permodalan tentu juga penerapan tata kelola, sehingga justru nilai tambah BPR dan masyarakat itu justru akan semakin meningkat,” terangnya.

    Hal ini juga sejalan dengan mandat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang memberikan penguatan-penguatan fungsi BPR/BPRS menyerupai bank umum, seperti dapat go public dan ikut berpartisipasi dalam sistem pembayaran.

    “Jadi memang kita dalam tahap 1-2 tahun ini mungkin pembersihan dulu sehingga BPR nanti betul-betul akan menjadi kuat,” jelasnya.

    Ia mengatakan bahwa penguatan ini harus dilakukan karena BPR merupakan garda terdepan pengembangan ekonomi masyarakat seperti UMKM, usaha perorangan, masyarakat kecil dan sebagainya. Dalam hal ini, BPR hendak dibentuk sebagai community bank yang melayani masyarakat kelas bawah.

    Aturan Baru tentang BPR dan BPRS

    Diberitakan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2024 (POJK 7/2024) tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah).

    Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa tujuan POJK 7/2024 adalah untuk mendorong BPR dan BPR Syariah menjadi lembaga keuangan yang berintegritas, adaptif, dan kompetitif.

    “Peraturan ini penting karena akan mengubah lanskap industri BPR dan BPR Syariah, memungkinkan mereka menghadapi tantangan dan persaingan di masa depan. Diharapkan, penerbitan POJK ini serta upaya penguatan yang dilakukan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR dan BPR Syariah,” ujar Dian melalui rilis resminya, Minggu, 19 Mei 2024.

    Dian menambahkan bahwa POJK ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengawasan, mengingat OJK menemukan beberapa kelemahan struktural, termasuk kecurangan (fraud), dalam hasil pengawasannya.

    Beberapa BPR atau BPR Syariah terpaksa ditutup untuk menjaga kesehatan sistem perbankan dan melindungi konsumen.

    POJK 7/2024, yang berlaku sejak 30 April 2024, mencakup aspek kelembagaan BPR dan BPR Syariah, mulai dari pendirian, kepemilikan, kepengurusan, jaringan kantor, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, hingga pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham.

    Peraturan ini juga mencakup kebijakan strategis untuk memperkuat kelembagaan industri BPR dan BPR Syariah, termasuk kesempatan bagi BPR dan BPR Syariah untuk memperluas akses permodalan melalui pasar modal.

    Selain itu, peraturan ini mengatur kebijakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, serta kewajiban konsolidasi bagi BPR dan BPR Syariah yang berada di bawah kepemilikan Pemegang Saham Pengendali yang sama.

    Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat permodalan dengan cepat, memastikan kecukupan infrastruktur teknologi informasi, serta meningkatkan manajemen risiko dan tata kelola, sehingga dapat mendorong daya saing industri BPR dan BPR Syariah.

    POJK baru ini juga mengusung efisiensi lembaga jasa keuangan dengan memperbolehkan penggabungan lembaga keuangan mikro dengan BPR atau BPR Syariah.

    Selain itu, aturan ini menyempurnakan aspek kelembagaan lain seperti jaringan kantor untuk mengakomodir pengembangan dan penguatan BPR dan BPR Syariah.

    “Kewajiban konsolidasi bagi grup BPR atau BPR Syariah harus diselesaikan paling lama dua tahun untuk BPR atau BPR Syariah non-pemerintah daerah, dan paling lama tiga tahun untuk BPR atau BPR Syariah milik pemerintah daerah,” jelas Dian.

    Ia berharap aturan ini dapat meningkatkan level playing field sehingga BPR dan BPR Syariah memiliki wilayah bisnis yang lebih luas dan dapat memperkuat kapasitas permodalannya.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.