KABARBURSA.COM – Mesin industri otomotif tanah air mulai “batuk-batuk”. Data terbaru dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa penjualan mobil pada Maret 2025 anjlok 5,1 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 70.892 unit, dibandingkan Maret 2024 yang masih berada di 74.720 unit.
Yang bikin alis makin berkerut adalah penjualan bulan Maret ini juga 2 persen lebih rendah dibandingkan Februari 2025 yang mencatatkan 72.336 unit. Padahal, biasanya menjelang Idulfitri, showroom mobil ramai kayak mal diskon tengah malam. Tapi kali ini sepi kayak jalan tol pas larut malam.
Biasanya, kuartal pertama, terutama bulan Maret hingga awal April, jadi momentum emas bagi industri otomotif karena berdekatan dengan Ramadan dan Idulfitri. Tapi tahun ini, efek ”booster” itu gagal total. Total penjualan mobil kuartal pertama 2025 hanya 205.160 unit, turun 4,7 persen dibanding periode sama tahun lalu, 215.267 unit. Bahkan dibandingkan triwulan I 2023 yang tembus 282.601 unit, angka tahun ini sudah turun hampir 27 persen hanya dalam dua tahun.
Rinciannya juga bikin geleng kepala, yaitu 69.619 unit di Januari, 72.336 unit di Februari, dan di Maret sebanyak 70.892 unit. Artinya, tak ada lonjakan signifikan di bulan Maret, meskipun biasanya jadi titik awal lonjakan menjelang mudik. Bahkan, penjualan Maret lebih rendah dari Februari, padahal biasanya ada lonjakan 10–20 persen di bulan ini.
Ini memperpanjang tren negatif sejak 2024, di mana total penjualan mobil cuma tembus 865.000 unit, meleset dari target Gaikindo yang mematok angka 900.000 unit. Momentum musiman yang dulu jadi senjata pamungkas, kini tak lagi mujarab. Ini sinyal keras bahwa struktur permintaan sedang bergeser dan pasar butuh pendekatan baru.
Masalahnya bukan di suplai, tapi di permintaan. Daya beli masyarakat masih lemas, terutama kelas menengah ke bawah. Berdasarkan survei Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia, sektor kendaraan bermotor dan suku cadang malah terkontraksi dibandingkan triwulan I 2024. Inflasi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi bikin konsumen makin mikir dua kali sebelum ambil cicilan mobil baru.
Januari 2025 jadi titik balik ke bawah. IPR turun tajam ke 211,5, kontraksi 4,7 persen (month to month/mtm) setelah sebelumnya naik 5,9 persen di Desember 2024 (efek belanja akhir tahun dan Nataru). Kontraksi ini nyaris merata di semua produk, kecuali suku cadang dan aksesori, yang tetap tahan banting.
Secara tahunan (yoy), penjualan eceran Januari 2025 cuma tumbuh 0,5 persen, lebih lemah dari Desember 2024 yang sempat tumbuh 1,8 persen. Ini mengonfirmasi bahwa pemulihan daya beli masih setengah hati. Bulan Februari 2025 memang ada sedikit peningkatan IPR sebesar 3,3 persen (mtm), tapi pendorongnya bukan mobil, melainkan sandang, BBM, dan barang budaya, indikasi persiapan jelang Ramadan, bukan tren konsumtif jangka panjang.
Masalah lain yang makin bikin pusing pabrikan adalah nilai tukar rupiah yang terus bergoyang. Hingga 16 April 2025, rupiah tercatat di level Rp16.845,4 per dolar Amerika Serikat (AS), naik tipis 0,14 persen dari hari sebelumnya, tapi masih tinggi dibanding akhir Maret di Rp16.555.
Fluktuasi ini jadi mimpi buruk buat industri otomotif yang masih tergantung pada komponen impor, terutama yang masih pakai skema semi-CKD (completely knocked down). Mesin, transmisi, sampai chip mobil masih banyak yang dikapalkan dari luar negeri. Kurs naik, biaya naik, harga jual naik, dan konsumen kabur.
Ironisnya, dari sisi kapasitas produksi, pabrikan otomotif sebenarnya siap tempur. Utilisasi pabrik domestik masih di angka 50–60 persen per akhir 2024, artinya, masih banyak “ruang kosong” yang bisa digarap. Tapi ya percuma kalau permintaan dari konsumen justru jalan di tempat.
Pemerintah pun belum kasih "pemanis" yang cukup. Insentif pembelian kendaraan, baik ICE maupun electric vehicle (EV), masih minim, padahal bisa jadi tuas yang ampuh buat dorong konsumsi. Pemerintah cuma mengembangkan insentif pajak yang lebih baik melalui PPnBM DTP (Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah) untuk EV, serta beberapa kebijakan lain yang mendorong ekosistem kendaraan listrik. Selain itu, penurunan harga baterai EV diperkirakan akan menekan harga jual mobil listrik di tahun-tahun mendatang.
Di sisi lain, transisi ke kendaraan listrik (EV) makin gencar di tingkat global. Tapi di Indonesia, ekosistem EV masih “prematur”. Pabrik boleh siap produksi, tapi harga EV masih mahal, insentif minim, charging station belum merata, dan konsumen belum yakin soal after-sales-nya.
Efek dominonya jelas: sektor komponen otomotif, khususnya yang berbasis ICE (internal combustion engine), makin rentan. Kalau tak cepat pivot ke komponen EV atau hybrid, bisa tergilas arus perubahan teknologi yang makin cepat.
Komparasi ICE dan EV Tahun 2024
Kondisi ini bikin investor makin selektif. Emiten yang punya diversifikasi bisnis di luar otomotif, atau yang sudah mulai merambah ke EV, relatif lebih aman. Sementara yang masih terlalu bergantung ke pasar domestik dan ICE, mulai terasa beban turbulensinya.
Sejak tahun lalu, sektor otomotif Indonesia semakin terbelah antara kendaraan ICE atau mesin pembakaran dalam, dengan EV yang kian menjanjikan. Meskipun potensi pasar mobil listrik menjanjikan masa depan cerah, ada beberapa tantangan yang mesti dihadapi, baik dari sisi produsen, infrastruktur, maupun kebijakan pemerintah.
Menurut data Gaikindo, pada 2024, penjualan mobil ICE masih mendominasi dengan kontribusi mencapai sekitar 85-90 persen dari total penjualan kendaraan di Indonesia. Angka ini menunjukkan stabilitas sektor ICE, meskipun dihadapkan pada perubahan besar menuju elektrifikasi.
Bahkan, penjualan mobil konvensional seperti MPV, SUV, dan sedan masih mengalami kenaikan tipis sekitar 3-5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski ada penurunan pada jenis kendaraan berbahan bakar fosil (terutama mobil kecil), kendaraan jenis SUV dan pick-up truck dengan mesin ICE tetap menjadi pilihan favorit masyarakat.
Di sisi lain, penjualan mobil listrik memang mencatatkan pertumbuhan positif yang cukup mengesankan. Hingga akhir 2024, penjualan mobil listrik di Indonesia diperkirakan akan mencapai 6-8 persen dari total penjualan mobil.
Pada 2023, total penjualan EV di Indonesia tercatat sekitar 12.000 unit, dan angka ini diperkirakan meningkat pada tahun 2024 seiring dengan semakin banyaknya pilihan kendaraan listrik yang hadir di pasar, meskipun masih sangat jauh dari dominasi ICE.
Harga EV masih menjadi tantangan utama. Sebagai contoh, harga mobil listrik seperti Hyundai Ioniq 5 atau BYD Atto 3 masih berada di kisaran Rp700 juta hingga Rp900 juta. Ini jelas bukan harga yang terjangkau untuk pasar mayoritas, terutama karena insentif pemerintah yang belum cukup besar untuk menarik minat konsumen. Meskipun ada kebijakan pajak yang lebih rendah dan subsidi harga EV untuk pembelian pertama, ini belum cukup signifikan untuk mendorong penetrasi pasar secara massal.
Sementara itu, mobil ICE tetap menjadi pilihan dengan harga yang lebih terjangkau. Contohnya, Toyota Avanza atau Daihatsu Xenia yang harganya bisa dimulai dari sekitar Rp250 juta, dengan perawatan dan bahan bakar yang lebih terjangkau dibandingkan mobil listrik.
Namun demikian, berdasarkan proyeksi, sektor EV diperkirakan akan tumbuh hingga 15-20 persen dari total penjualan kendaraan pada tahun 2025-2026. Perusahaan otomotif besar seperti Toyota, Hyundai, dan Wuling pun sudah mulai membangun basis produksi kendaraan listrik di Indonesia. Ini semakin menunjukkan adanya shift dari ICE ke EV yang tidak bisa ditunda lagi.
Dengan proyeksi pertumbuhan sektor EV yang diperkirakan mencapai 15-20 persen pada 2025-2026, jelas bahwa perubahan sedang berlangsung. Perusahaan-perusahaan otomotif besar, seperti Toyota, Hyundai, dan Wuling, mulai berinvestasi di kendaraan listrik dan memanfaatkan peluang yang ada untuk mengakselerasi penetrasi EV di pasar Indonesia.
Sementara itu, PT Astra International Tbk (ASII) yang menjadi raja di pasar kendaraan ICE, mencatatkan pertumbuhan yang cukup stabil. Meski menghadapi tantangan di awal 2025, ASII tetap menunjukkan kekuatan dominan dengan kontribusi sektor otomotif yang signifikan terhadap pendapatan perusahaan.
Pabrikan dan Pemain Utama Hadapi Krisis
PT Astra International Tbk (ASII) masih jadi raja di jalanan. Sektor otomotif menyumbang 45 persen dari total pendapatan perusahaan pada 2024. Meski tekanan terasa di triwulan I 2025, ASII tetap membukukan pendapatan Rp242,8 triliun, naik 4 persen dari 2023.
Namun, beban pokok penjualan naik 6 persen jadi Rp202,1 triliun, salah satunya gara-gara fluktuasi nilai tukar. Laba bersih 2024 naik tipis 0,63 persen ke Rp34,05 triliun, tertahan oleh biaya produksi dan beban keuangan yang meningkat.
Saham ASII sendiri cenderung stagnan di awal 2025, mencerminkan pasar yang masih wait-and-see.
Sementara itu, PT Astra Otoparts Tbk (AUTO), pemain kunci di sektor komponen, menghadapi tekanan ganda: dari sisi permintaan yang lesu dan transisi ke EV yang belum matang. Kinerja 2024 masih relatif solid, didukung permintaan aftermarket dan ekspor. Namun 2025 bisa jadi medan uji sejati, apalagi jika produksi kendaraan domestik terus melandai.
Apalagi jika jumlah kendaraan ICE yang diproduksi terus menurun, permintaan komponen konvensional pun otomatis ikut menyusut.
Pendapatan perusahaan tercatat sebesar Rp15,4 triliun, mengalami penurunan sebesar 1 persen dibandingkan dengan tahun 2023 yang tercatat Rp15,6 triliun. Pendapatan dari sektor EV tercatat sekitar Rp670 miliar, berkontribusi 4,5 persen terhadap total pendapatan perusahaan. Laba bersih Astra Otoparts pada 2024 tercatat sebesar Rp1,1 triliun, turun sekitar 6 persen dibandingkan dengan tahun 2023 yang tercatat Rp1,17 triliun.
PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA), anak usaha Triputra Group, makin menunjukkan giginya di tengah gempuran pelemahan industri otomotif. Meski penjualan mobil nasional melemah, DRMA justru mencatat kinerja moncer pada 2024.
Pendapatan bersih perusahaan naik 17,4 persen yoy menjadi sekitar Rp5,02 triliun, dari sebelumnya Rp4,27 triliun di 2023. Sektor komponen body, sasis, dan part EV menjadi pendorong utama. Laba bersih DRMA juga melesat 27,3 persen menjadi Rp488,3 miliar, naik dari Rp383,7 miliar pada tahun sebelumnya.
DRMA juga makin agresif masuk ke segmen EV. Perusahaan sudah menyiapkan lini produksi untuk komponen kendaraan listrik, dan mulai menyuplai part ke sejumlah brand otomotif yang lagi ekspansi EV di Indonesia. Ini jadi salah satu “tameng” penting DRMA buat menghadapi perubahan peta industri otomotif yang makin shift ke elektrifikasi.
Di sisi lain, PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM), produsen filter kendaraan bermotor dan radiator terbesar di Asia Tenggara, konsisten tampil sebagai cash machine di sektor komponen otomotif.
Di 2024, pendapatan SMSM tumbuh 8,1 persen yoy menjadi Rp4,86 triliun, dan laba bersih meningkat tipis 3,4 persen ke Rp801,6 miliar. Meskipun pertumbuhannya tidak spektakuler, SMSM punya senjata utama: margin tinggi dan ekspor kuat.
Lebih dari 60 persen pendapatan SMSM berasal dari pasar ekspor, termasuk AS, Eropa, dan Timur Tengah. Jadi meskipun penjualan otomotif dalam negeri lesu, SMSM tetap bisa menjaga kinerja karena basis pasarnya lebih global.
Pasar Segera Pulih: Kesempatan Investasi?
Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi tantangan besar, dengan penurunan penjualan yang signifikan pada awal 2025. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang lemah, inflasi, serta kenaikan harga bahan bakar. Meskipun sektor ini mengalami stagnasi, potensi pasar kendaraan listrik (EV) tetap ada, meskipun masih menghadapi hambatan harga yang tinggi, kurangnya insentif pemerintah, dan infrastruktur yang terbatas.
PT Astra International (ASII) dan anak perusahaannya, seperti Astra Otoparts (AUTO), menunjukkan kinerja yang relatif stabil meskipun menghadapi penurunan permintaan. Sementara itu, PT Dharma Polimetal (DRMA) berhasil mencatatkan kinerja positif dengan fokus pada sektor komponen EV, menunjukkan bahwa pivot ke arah kendaraan listrik bisa menjadi strategi yang lebih aman di tengah transisi industri otomotif yang sedang berlangsung.
Dengan proyeksi pertumbuhan sektor EV yang pesat pada 2025-2026, tantangan utama bagi produsen otomotif adalah bagaimana beradaptasi dengan perubahan teknologi ini, terlebih di tengah kondisi pasar yang lesu dan persaingan yang semakin ketat.
Apakah pasar akan segera pulih, atau ini justru jadi kesempatan untuk berinvestasi di sektor yang sedang berkembang seperti EV? (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.