KABARBURSA.COM - Meskipun Pefindo masih mempertahankan optimisme terhadap prospek pasar obligasi domestik tahun ini, ada beberapa sentimen yang tetap perlu diperhatikan. Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto, mengingatkan tentang kemungkinan adanya tren pelemahan dan faktor yang membebani prospek penerbitan obligasi korporasi di masa mendatang.
Hal ini dipicu oleh sentimen konflik geopolitik global yang masih tidak pasti saat ini, yang berdampak pada keputusan Bank Sentral AS untuk tidak menurunkan suku bunga. Situasi ini menciptakan lingkungan yang lebih tidak stabil bagi pasar obligasi, dan perusahaan-perusahaan mungkin akan lebih berhati-hati dalam menerbitkan obligasi di tengah ketidakpastian tersebut.
"Ini juga bisa meningkatkan ketidakpastian dan membuat yield juga bertahan tinggi. Lalu, kalau suku bunga dijaga tinggi maka terdapat juga potensi pelemahan konsumsi dan meningkatnya cost-of-fund dari perusahaan."
Jika suku bunga tinggi terus dipertahankan hingga waktu yang lama, maka premi risiko perusahaan-perusahaan juga akan semakin meningkat, yang akhirnya berdampak pada selisih nilai atau spread obligasi korporasi yang lebih tinggi.
Namun, sisi positifnya, sentimen pemilu mulai menemui titik kejelasan. Artinya, mulai ada kepastian untuk pasar obligasi.
"Wait and see ini perlahan kami lihat sudah mlai cenderung mengalami penurunan, meski masih ada yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK)," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis 18 April 2024.
Selain itu, kata dia, fundamental makroekonomi domestik, terutama dalam sektor riil saat ini juga terbilang menunjukkan tren yang cukup baik. Prospek dan isu penurunan suku bunga Bank Indonesia cukup optimistis.
"Tahun ini juga kita lihat adanya prospek penurunan suku bunga di semester 2 nanti, yang akhirnya meningkatkan ekspektasi akan biaya penerbitan yang lebih murah," ujar dia.
Pefindo telah mengantongi mandat terhadap surat utang obligasi korporasi senilai Rp53,17 triliun hingga akhir Maret tahun ini.
Mandat tersebut berupa PUB obligasi senilai Rp21,67 triliun, obligasi Rp19,13 triliun, PUB sukuk Rp8,25 triliun. Kemudian, ada juga MTN dan sukuk masing-masing Rp2,53 triliun dan Rp1,59 triliun.
Dari total itu, perusahaan yang berasal dari sektor perbankan memakan porsi paling besar mencapai Rp7,65 triliun dengan total 5 perusahaan.
Di posisi kedua, disusul oleh sektor pertambangan dengan nilai rencana peneribtan surat utang Rp5,6 triliun yang juga berasal dari 5 perusahaan, kemudian diikuti oleh sektor konstruksi dan multifinance yang masing-masing di Rp4,5 triliun dengan total 4 perusahaan.
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan institusinya, perusahaan non BUMN memegang porsi sebanyak Rp30,22 triliun dengna total 29 perusahaan. Sedangkan BUMN, termasuk anak usahanya dan BUMD berencana menerbitkan obligasi Rp22,94 triliun, yang berasal dari 19 perusahaan.