KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai penambahan kuota subsidi motor listrik sebanyak 10.000 unit menunjukkan adanya gap yang signifikan antara rencana dan implementasi. Penambahan kuota subsidi sebesar Rp7 juta per unit dianggap sebagai indikasi motor listrik belum mendapat tempat di hati masyarakat.
“Target awal subsidi sebanyak 600.000 unit pada tahun 2024 dipangkas menjadi 50.000 unit dan kini ditambah lagi menjadi 60.000 unit. Angka ini masih jauh dari target awal,” kata Yannes ketika dihubungi Kabar Bursa, Selasa, 27 Agustus 2024.
Menurutnya, ide dasar dari subsidi motor listrik adalah membuat harga motor listrik lebih terjangkau bagi masyarakat. Subsidi ini diharapkan dapat mendorong peralihan dari kendaraan konvensional ke listrik. Lebih jauh, kebijakan ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri.
Terkait dengan alasan motor listrik belum diterima dengan baik di masyarakat adalah karena harga jualnya yang masih tergolong tinggi meski telah mendapat subsidi Rp7 juta.
Harga motor listrik termurah seperti merek Greentech Unity dijual dengan mulai dari Rp5 jutaan. Sementara motor listrik termahal adalah United TX3000 yang dibanderol dengan harga Rp42 jutaan. Masyarakat masih menganggap harga tersebut tidak sebanding dengan performa yang diberikan.
Di sisi lain, infrastruktur penunjang motor listrik seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia masih relatif minim, terutama di daerah. Masyarakat merasa lebih aman menggunakan motor konvensional karena ketika kehabisan bahan bakar dapat langsung menuju SPBU terdekat yang jumlahnya melimpah.
Pertimbangan lainnya, lanjut Yannes, adalah jarak tempuh motor listrik yang tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan motor konvensional. Meski tingkat efisiensi motor listrik relatif lebih baik, namun motor konvensional masih jadi pilihan masyarakat.
“Masyarakat juga tampak masih ragu mengenai daya tahan baterai dan daya jangkaunya, kecepatan charging, performa, dan keamanan motor listrik. Kemudian banyak masyarakat yang belum memahami manfaat dan keunggulan sepeda motor listrik dibandingkan motor ICE (konvensional),” kata Yannes.
Selain masalah infrastruktur pendukung, pengguna motor di Indonesia disebut sangat memperhitungkan harga jual kembali sebuah kendaraan. Selain harga jualnya rendah karena masih dianggap baru dan belum teruji kualitasnya, menjual motor listrik bekas relatif lebih sulit ketimbang motor konvensional.
Segmentasi Motor Listrik
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengungkapkan bahwa pemerintah selaku pihak yang berupaya keras mengupayakan peralihan dari motor konvensional ke listrik harus tahu segmentasi usia terbesar pembeli motor listrik.
“Pembeli sepeda motor listrik diprakirakan berada di rentang 20-40 tahun, terutama dari kelompok sosial menengah ke atas yang menggunakannya untuk mobilitas perkotaan saja,” jelasnya.
Jumlah dari kelompok usia dan kelas sosial tersebut masih lebih kecil ketimbang masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurutnya, mentalitas budaya konsumen di Indonesia, terutama pembeli pertama low class cenderung memilih kendaraan murah dan memiliki likuiditas tinggi saat akan dijual kembali.
Kelompok ini juga mempertimbangkan biaya operasional jangka panjang. Mereka takut mengeluarkan uang besar tanpa mendapat kepastian terkait dengan daya tahan dan besaran biaya operasional, termasuk servis dan perawatan.
“Speda motor listrik, hanya hemat energi dalam jangka panjang, namun memiliki harga beli awal yang lebih tinggi, dan harga jual kembali yang belum jelas, lalu baterai yang bekas jika akan ganti harganya bisa mencapai 7-10 juta per buah, itu pun kalau ada stok di pasar. Hal ini menjadikannya kurang menarik bagi pembeli dengan mentalitas ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, jumlah kelompok middle low berpenghasilan Rp1,2-6 juta jumlahnya 69 persen dari seluruh penduduk di Indonesia. Pasar dari segmen inilah yang paling sulit dijangkau oleh produsen motor listrik di Indonesia.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan kecilnya minat masyarakat untuk memiliki sepeda motor listrik karena insentif pajak kendaraan bermotor yang diberikan pemerintah belum terserap dengan baik di pasar otomotif.
“Ada bantuan Rp7 juta untuk sepeda motor listrik baru tapi belum terserap maksimum,” kata Moeldoko beberapa waktu lalu.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko setijowarno, perlu adanya ekstra keras dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga masyarakat bisa menerima atau menggunakan sepeda motor listrik.
Menurut dia, untuk mengubah gaya hidup masyarakat, dari menggunakan motor konvensional ke listrik tidak semudah seperti yang dikatakan pemerintah. Ia mencontohkan, Tiongkok (China) yang membutuh waktu 80 tahun untuk beralih dari konvensional ke listrik.
“China saja yang sudah memaksa rakyatnya membutuhkan waktu selama itu. Apalagi kita, yang pejabatnya memaksakan agar dirinya saja yang makin kaya,” ungkapnya.(*)