Logo
>

Pemerintahan Baru Perlu Jaga Defisit Fiskal di Bawah 3 Persen

Ditulis oleh Syahrianto
Pemerintahan Baru Perlu Jaga Defisit Fiskal di Bawah 3 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan pemerintahan mendatang, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, untuk menjaga defisit fiskal tetap di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    Kepala Misi IMF untuk Indonesia, Maria Gonzalez, menyatakan bahwa defisit fiskal maksimal 3 persen dari PDB diperlukan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

    "Dalam jangka menengah, kredibilitas kebijakan Indonesia yang telah diperoleh dengan susah payah harus dipertahankan. Aturan fiskal Indonesia yang membatasi defisit pada 3 persen dari PDB tetap relevan untuk mendukung visi Indonesia Emas," ujar Gonzalez, dikutip Senin, 24 Juni 2024.

    Pencapaian tersebut bisa tercapai terutama apabila didukung dengan penguatan pendapatan negara serta belanja pembangunan yang berkualitas. Selain itu, risiko fiskal yang berkaitan dengan contingent liability juga perlu dikendalikan.

    "Peningkatan penargetan subsidi energi dan meningkatkan pendapatan akan menciptakan ruang bagi belanja yang lebih ramah pertumbuhan dalam jangka waktu dekat," katanya.

    Berkat konsistensi kebijakan dan konsolidasi fiskal pasca pandemi Covid-19, IMF menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu menekan defisit anggaran dan mencetak surplus keseimbangan primer pada tahun lalu.

    Turunnya defisit dan surplus keseimbangan primer akan mendukung pertumbuhan dan bauran kebijakan yang lebih seimbang sekaligus menjaga ruang kebijakan untuk merespons risiko-risiko negatif pada tahun 2024 dan 2025.

    "Indonesia perlu menghadapi dunia yang lebih rentan terhadap guncangan. Respons kebijakan yang tepat perlu disesuaikan dengan sifat dan durasi guncangan, dan didukung oleh peningkatan komunikasi," imbuh Gonzalez.

    Generasi Muda Dirugikan

    Anggaran negara yang kerap defisit kini menimbulkan kekhawatiran baru. Ketika pemerintah terus berupaya menutupi celah tersebut, generasi muda menjadi pihak yang harus siap menanggung beban tersebut di masa depan.

    Tahun 2025, pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan mencapai 3 persen. Defisit anggaran APBN 2025 yang diprediksi mencapai Rp600 triliun atau hampir 2,8 persen dari PDB ini sangat mengkhawatirkan.

    Peneliti yang juga founder Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (Puskaha) Yenti Nurhidayat, menyoroti defisit anggaran negara yang terus membengkak. Dia juga mengkritik pemerintah yang tak satu pandangan ihwal defisit ini.

    Dalam rapat Komisi XI DPR RI pada Rabu, 5 Juni 2024, ada perdebatan antara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, terkait defisit fiskal 2025.

    Suharso meminta defisit fiskal menjadi 1,5 sampai 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Sri Mulyani sebelumnya sudah menetapkan sebesar 2,24 hingga 2,28 persen. “Pemerintah seharusnya telah selesai membahas di tingkat internal dan satu suara ketika pembahasan dengan pihak eksternal,” kata Yenti kepada KabarBursa, Jumat, 21 Juni 2024.

    Defisit fiskal terjadi saat pengeluaran negara lebih besar daripada pemasukan. Biasanya, pemerintah menambah utang untuk menutup defisit ini. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, batas maksimal defisit anggaran adalah 3 persen dari PDB dan rasio utang maksimal 60 persen dari PDB. Batasan ini dibuat agar keuangan negara tetap aman dan terkendali.

    Tren Defisit Anggaran

    Seperti yang diketahui, pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Bangggar DPR RI) telah menyepakati untuk menurunkan target batas bawah defisit RAPBN 2025 dari 2,45 persen PDB menjadi 2,29 persen PDB.

    Dengan begitu, target defisit RAPBN 2025 disepakati berada pada kisaran 2,29 persen hingga 2,82 persen dari PDB. Angka ini akan menjadi panduan dalam penyusunan Nota Keuangan RAPBN 2025 yang akan dibacakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus 2024.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, mengatakan defisit fiskal yang tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) APBN 2025 tersebut adalah angka tertinggi dibandingkan dengan transisi kepemimpinan sebelumnya.

    “Karena ada preseden dari Presiden Ibu Mega ke SBY 0,8 (persen) dari SBY ke Jokowi 2,2 (persen) ini kok dari Jokowi ke Prabowo 2,4 (persen) bahkan 2,8 (persen). Desainnya itu kan tinggi sekali,” kata Dolfie di Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 10 Juni 2024 lalu.

    Anggota Badan Anggaran DPR RI ini mengingatkan, menjaga defisit anggaran seminimal mungkin akan memberi keleluasaan bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam menjalankan visi dan misinya. Dia juga menyoroti perkiraan defisit APBN 2025 yang hampir menyentuh batas 3 persen. Ini merupakan batas terakhir defisit APBN sesuai UU Keuangan Negara.

    Meskipun ada peluang untuk melakukan perubahan APBN, Dolfie mengimbuhkan, kementerian/lembaga harus tetap tunduk pada mekanisme tertentu. Ini berbeda jika pemerintahan baru memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri anggaran yang diperlukan.

    “Bagaimana kalau itu di program kementerian/lembaga? Itu ada peraturannya, perubahannya harus mengikuti mekanisme yang ada. Tidak sefleksibel jika pemerintahan sejak awal mendesain anggarannya sendiri,” kata dia. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.